Kamis, 25 Februari 2021

Di Muka Gereja

Ada penyair masuk gereja

Setelah bertahun-tahun hanya lewat

Tumben, kata seorang teman

Si penyair nyengir kuda


Pasti mau minta sesuatu sama Tuhan, 

kata temannya

Si penyair mengangguk 

Lalu masuk ke dalam hening


Minta apa tadi sama Tuhan? 

tanya temannya, setelah selesai ibadah

Minta kesembuhan, jawab si penyair

Kau sakit? 

si penyair mengangguk

kenapa tak ke dokter? 

Sudah. Tapi dokter sepertinya terlalu sibuk

Sibuk apa? 

Sibuk menyembuhkan orang-orang


Kau sendiri, minta apa pada Tuhan? 

Si penyair balik bertanya

Temannya nyengir, garuk-garuk kepala

Si penyair ikut nyengir

lalu berkata: Jadilah kepadamu menurut imanmu

Temannya mengagguk, mengucap kata amin

Si penyair lalu pamit


Langit suram

Di warung di muka gereja, dua orang anak kecil sedang asik makan coklat sambil bernyanyi:

Ku 'kan berdiri di tengah badai

Dengan kekuatan yang Kau berikan

Sampai kapan pun

Ku 'kan bertahan....


Teman si penyair termenung 

Mengingat mimpi yang tak kunjung nyata

Padahal ia rajin ke gereja dan berdoa

Teh botol satu, Bu, pintanya kepada pemilik warung

Ia tenangkan gelisah hatinya dengan teh dingin

Manis seperti kasih Tuhan, 

katanya kepada ibu warung

Ibu warung tertawa


Hujan rintik-rintik 

Anak-anak kecil yang tadi bernyanyi di muka warung

berlarian masuk ke halaman gereja

Teman si penyair masih duduk termenung

Mengingat mimpi yang tak juga nyata

Mungkin enak hidup seperti si penyair

ucapnya dalam hati

Datang kepada Tuhan hanya di saat butuh


Gak pulang bareng si penyair? 

tanya ibu warung 

Enggak, Bu. Si penyair buru-buru

Tumben dia masuk gereja?

Dia lagi sakit, Bu

Oh... Dia datang ke tempat yang benar

Tempat orang sakit adalah rumah sakit, kata teman si penyair 

Tapi rumah sakit terlalu sibuk, 

sahut ibu warung

Sibuk apa? 

Sibuk menyembuhkan orang-orang 


Hujan rintik-rintik

Teman si penyair memandangi langit kelabu

Apa Tuhan tak pernah sibuk? 

Dia selalu punya waktu, jawab ibu warung

Kita yang selalu ingin buru-buru 

Teman si penyair terdiam

Mengingat mimpinya 

yang tak kunjung nyata

Jumat, 02 Agustus 2019

seperti ada suaramu

angin berembus pelan
seperti ada suaramu
di antara resah angin
sehelai daun jatuh di kakiku

Rambutnya udah kepanjangan, tuh!
Aku nyengir memberi alasan
Telat mulu jemputnya sih?
Aku nyengir mencari alasan
Merokok melulu sih...
Aku diam. Lalu nyengir
Dibilangin malah nyengir! katamu cemberut
Cerewet, kataku dalam hati
Lalu kuajak kau berjalan-jalan memutari taman. Apa kau tahu bagaimana rasanya jadi pohon? tanyaku
Kau tertawa lalu memukulku pelan. Ada-ada aja kamu, katamu di antara derai tawa. Kurangin merokoknya ya, katamu lagi
Kepalaku jadi pusing. Bukannya mesra-mesraan, tapi malah sering ribut. Untuk hal-hal yang tak penting.
Aku penasaran, bagaimana rasanya jadi pohon, kataku lagi
Dasar sinting! katamu kembali tertawa

angin berembus pelan
seperti ada suaramu
di antara desah angin
Sehelai daun jatuh lagi di kakiku

*****

Bagaimana? Kamu sudah tahu bagaimana kira-kira rasanya jadi pohon?

Aku menggeleng pelan, tersenyum menatap matamu

Lihat! katamu, menunjuk ke arah sehelai daun yang melayang jatuh. Bagaimana itu rasanya ya? katamu lagi

Kita berdua terdiam seperti terkena sihir daun jatuh

Angin berembus pelan, menyeret daun yang baru saja jatuh di aspal

Hmm...

Kau mengelus-elus lembut kepalaku dan menatap kedua mataku

Kenapa? tanyaku

Enggak apa-apa, jawabmu tersenyum. Kupikir kamu sudah tahu bagaimana rasanya jadi pohon, katamu sambil melepaskan tanganmu dari kepalaku

Aku tertawa, lalu menarik pelan tanganmu, meletakkan kembali ke atas kepalaku. Kupandu jari jemarimu yang halus itu mengelus-elus kepalaku

Dasar pohon manja! katamu setengah tertawa

Kalau kamu, apa kamu pernah ingin jadi sesuatu yang lain? tanyaku kepadamu

Kau mengangguk

Ingin jadi apa?

Aku ingin menjadi matamu

Ahahaha... Kenapa?

Supaya aku bisa melihat apa yang kamu lihat

Uhuk uhuk uhuk

Tuh kan batuk-batuk lagi. Makanya jangan merokok terus!.Kaulepaskan tanganmu dari kepalaku

Sinar mentari senja mendadak jadi terasa panas

Lalu kita berdua hanya terdiam memandangi daun-daun jatuh

Aku tak ingin jadi pohon, kataku memecah kesunyian

Supaya aku tak bisa menjadi matamu?

Sunyi kembali menyergap

Rokok rokok rokok, tiba-tiba terdengar suara pedagang rokok asongan memecah kesunyian

Sialan, kataku dalam hati. Enggak, Pak, kataku melambaikan tangan ke pedagang rokok

Suasana menjadi hening kembali

Tiba-tiba kau tertawa. Aku bingung, tetapi juga ikut tertawa. Aku selalu senang mendengar tawamu yang berderai-derai itu

*****

bodoh kan?
lagi-lagi aku datang ke sini
duduk di tempat yang sama
hanya melihat daun-daun jatuh

Hidup ini sekedar mampir lihat-lihat, katamu waktu itu. Apa yang kita lakukan hanya untuk melihat-lihat. Kita ke taman, ke gunung, ke kota orang, keliling dunia...  berbaris dalam antrean, menyiapkan segala hal, menyisihkan waktu dan uang, akhirnya hanya untuk melihat-lihat.
Hmm
Begitu kan?
Hmm
Apa arti hmm-mu itu?
Aku menyimak, jawabku cepat
Hmm
Sekarang kamu yang hmm
Ketularan kamu

bodoh kan?
lagi-lagi aku datang ke sini
duduk di tempat yang sama
padahal tak ada dirimu di sini

Ingat waktu ke sea world kemarin? tanyamu waktu itu
Aku mengangguk
Kita ngapain? Cuma lihat-lihat ikan 'kan?
Iya, jawabku
Dan kamu terlambat menjemputku
Mulai lagi deh, kataku dalam hati
Kenapa sih kamu selalu telat setiap kita janjian?
Macet, jawabku seperti biasanya
Kenapa macet terus sih? Memang ada apa di jalan? Kamu lihat-lihat apa? Liatin cewek ya?
Kutatap wajahnya. Alisnya, matanya, hidungnya, mulutnya. Entah kenapa
mulutnya jadi terlihat seperti mulut ikan. Tak berhenti bergerak
Kok malah lihatin bibirku?
Pengen kucium, jawabku pelan
Supaya aku diam?

bodoh kan?
lagi-lagi aku datang ke sini
duduk di tempat yang sama
tertawa sendiri
mengingat tengkar-tengkar kecil kita

Sehelai daun jatuh di pundakmu. Kuraih dan kutunjukkan padamu
Mana yang lebih sedih? tanyaku waktu itu
Daun yang terlepas dari pohonnya, atau pohon yang melepaskan daunnya?
Bibirmu terlihat manis menahan tawa
Mana aku tahu, jawabmu. Kan kamu yang ingin jadi pohon?
Aku tertawa, merasa bodoh sendiri
Kalau menurut kamu? Kau balik bertanya
Aku juga tak tahu, jawabku
Kulepaskan daun itu. Jatuh untuk kedua kalinya. Ke tanah

bodoh kan?
lagi-lagi aku datang ke sini
duduk di tempat yang sama
melihat daun-daun jatuh
padahal tak ada dirimu di sini

Mana lebih sedih, tanyaku kepada sehelai daun jatuh. Dirimu atau pohon itu?
Mana lebih sedih, kata daun itu balik bertanya kepadaku, dirimu atau kekasihmu itu, saat kalian saling melepaskan?

bodoh kan?
lagi-lagi aku datang ke sini
duduk di tempat yang sama
bertanya kepada sehelai daun jatuh

angin berembus pelan
seperti ada suaramu
di antara resah angin