Kamis, 21 Maret 2024

Sekerat Catatan "Pulang"

Oleh: Martha Sinaga
                                                  

Allah memberi  talenta bertutur tentu hanya kepada manusia, tidak pada mahluk lain. Sesungguhnya  gaya bertutur lewat berbicara, berceramah, atau berkhotbah  merupakan tindakan penting, termasuk bertutur dalam karya tulis. Dan itu tak banyak dimiliki. Penulis muda Fidel R Situmorang memiliki talenta itu. Gaya bertuturnya kuat. Hal tersebut dapat dilihat antara lain pada sebuah artikelnya yang singkat di laman FB-nya beberapa waktu lalu.

Pada tulisannya itu, dia mengisahkan kepedihan, sekaligus ketegaran keluarga yang ditinggal pergi selamanya oleh salah satu anggota keluarga mereka. Ada duka yang dalam, namun tersirat  ada jalinan silaturahmi kuat di antara keluarga dan memiliki iman yang tebal. Sehingga, sepahit apapun kejadian yang menimpa tetap  berlapang lapang dada. Walau sebagai  manusia tak mempungkiri bahwa  ada hal-hal yang harus dilupakan, atau sengaja ingin dilupakan, namun ada juga yang sangat berkesan dan ingin selalu dikenang dan disimpan dalam dasar hati yang dalam, selamanya.

Satu hal yang pasti pribadi yang matang, akan memiliki pengendalian diri yang baik, dan  mampu menempatkan pengalaman hidup dalam wadah yang tidak salah, dan membagikan pengalaman itu melalui tulisan kepada pembacanya. Itu juga yang dilakukan oleh Fidel.

Ketika selesai membaca artikel tersebut maka kesan yang muncul adalah, Fidel berhasil menuju gawang dan mengegolkan komunikasi  melalui tulisannya itu. Sadar atau tidak namun tulisan yang didedahkan menyiratkan bahwa nilai kebersamaan yang saling mengisi di tengah kehidupan  keluarga, memperkuat “roh” keluarga untuk bergandengan tangan menembus sebuah solusi. Pesan moral itulah yang muncul.

Nah,  alur cerita yang senapas dengan naskah di atas dijumpai pada buku terbarunya yang diberi judul,  “Pulang". Buku yang  terdiri dari 106 halaman dan diterbitkan oleh Penerbit Sinar David 2014  dan merupakan buku kelima dari penulis muda ini.

Ide cerita mengangkat kearifan lokal atau mungkin malah merupakan kisah nyata di tengah  masyarakat  atau keluarga  Tapanuli.  Dalam lembaran buku diceritakan bagaimana orangtua menyiapkan makanan dengan menu ikan teri. Kebiasaan  ini memang dialami oleh banyak masyarakat Batak. Di alinea lain teronggok bait-bait lagu Batak. Molo masihol ho mu se di au/ingot ma, na di surgo I do au…dst… (hal 85)   - walau seting cerita berada di Jakarta dan sekitarnya.

Tak dipungkiri bahwa  alam  dan kehidupan sosial sekitar kita sering kali  memateraikan pikiran untuk menjadikan subyek cerita pada karya tulis. Tentu dengan  karakter subyek pilihan adalah kekuatan untuk meningkatkan kesan yang tak terlupakan kepada orang-orang yang membaca karya tulis tersebut.

Lepas dari itu, komunikasi tertulis itu berhasil tak semata dari banyaknya buku yang ditulis, namun berapa banyak dari komunikasi tertulis itu yang dimengerti oleh para pembacanya. Diakui bahwa gaya bertutur yang diterapkan Fidel dalam “Pulang”  mengajak pembaca untuk menyelesaikan lembaran demi lembaran.

Alur cerita  runtut,  mudah dimengerti. Antara lain, karena tidak banyak mengetengahkan nama tokoh.  Demikian juga untuk pemilihan diksi yang cenderung digunakan dipercakapan sehari-hari. Terkesan penulis melepaskan karangannya dari bahasa formal. Benang merah ceritanya pun jelas. Hanya saja akan lebih menggigit lagi jika konflik dalam alur cerita lebih ditonjolkan.

Sebuah kisah yang menyiratkan keutuhan jiwa keluarga yang saling mengisi- saling memberi.  Pribadi anggota keluarga terbentuk tangguh dari rangkaian pengalaman hidup yang luar biasa. Di samping, hubungan vertikal dan horizontal yang digambarkan oleh penulis sangatlah kental. Semisal mari kita simak, “Jangan lagi ada tangis, kata pendeta saat menutup kotbahnya. Tapi kulihat butir-butir air tak berhenti menetes dari kedua mata Patar. Dengan matanya yang basah, ia terus memandangi wajah ayahnya sampai peti jenazah ditutup. (hal 85)

Lagi, Ayah juga yang mengajariku membuat pesawat terbang dari kertas. “Nanti kalau kamu jadi pilot, kamu akan bisa terbang seperti burung-burung di udara,” kata ayah sambil menerbangkan pesawat kertas dengan tangannya. Kenangan batin jelas dirasakan dari tutur larik-larik kalimat. Pesan moral, agar kesenjangan komunikasi di antara keluarga tidak terjadi dipilih Fidel sebagai dasar dari apa yang ingin dituturkannya. 

Memang, cerita yang simpel tidak sesimpel maknanya - tentu saja jika isi yang  akhirnya dimengerti oleh pembaca sama dengan tujuan yang ingin disampaikan oleh penulisnya. Kreativitas membuat kita mampu menciptakan suatu karya. Semoga dalam perjalanan hari akan bermunculan penulis-penulis muda yang memiliki kecerdasan hati dan pikiran, sehingga menghasilkan buku yang tak semata “best seller” namun "best book".




Kamis, 25 Februari 2021

Di Muka Gereja

Ada penyair masuk gereja

Setelah bertahun-tahun hanya lewat

Tumben, kata seorang teman

Si penyair nyengir kuda


Pasti mau minta sesuatu sama Tuhan, 

kata temannya

Si penyair mengangguk 

Lalu masuk ke dalam hening


Minta apa tadi sama Tuhan? 

tanya temannya, setelah selesai ibadah

Minta kesembuhan, jawab si penyair

Kau sakit? 

si penyair mengangguk

kenapa tak ke dokter? 

Sudah. Tapi dokter sepertinya terlalu sibuk

Sibuk apa? 

Sibuk menyembuhkan orang-orang


Kau sendiri, minta apa pada Tuhan? 

Si penyair balik bertanya

Temannya nyengir, garuk-garuk kepala

Si penyair ikut nyengir

lalu berkata: Jadilah kepadamu menurut imanmu

Temannya mengagguk, mengucap kata amin

Si penyair lalu pamit


Langit suram

Di warung di muka gereja, dua orang anak kecil sedang asik makan coklat sambil bernyanyi:

Ku 'kan berdiri di tengah badai

Dengan kekuatan yang Kau berikan

Sampai kapan pun

Ku 'kan bertahan....


Teman si penyair termenung 

Mengingat mimpi yang tak kunjung nyata

Padahal ia rajin ke gereja dan berdoa

Teh botol satu, Bu, pintanya kepada pemilik warung

Ia tenangkan gelisah hatinya dengan teh dingin

Manis seperti kasih Tuhan, 

katanya kepada ibu warung

Ibu warung tertawa


Hujan rintik-rintik 

Anak-anak kecil yang tadi bernyanyi di muka warung

berlarian masuk ke halaman gereja

Teman si penyair masih duduk termenung

Mengingat mimpi yang tak juga nyata

Mungkin enak hidup seperti si penyair

ucapnya dalam hati

Datang kepada Tuhan hanya di saat butuh


Gak pulang bareng si penyair? 

tanya ibu warung 

Enggak, Bu. Si penyair buru-buru

Tumben dia masuk gereja?

Dia lagi sakit, Bu

Oh... Dia datang ke tempat yang benar

Tempat orang sakit adalah rumah sakit, kata teman si penyair 

Tapi rumah sakit terlalu sibuk, 

sahut ibu warung

Sibuk apa? 

Sibuk menyembuhkan orang-orang 


Hujan rintik-rintik

Teman si penyair memandangi langit kelabu

Apa Tuhan tak pernah sibuk? 

Dia selalu punya waktu, jawab ibu warung

Kita yang selalu ingin buru-buru 

Teman si penyair terdiam

Mengingat mimpinya 

yang tak kunjung nyata