Sabtu, 17 Desember 2011

Nyala!

Untuk Sondang Hutagalung


Ketika lagu Indonesia Raya tak lagi menyentuh hati anak-anaknya
Ketika para pemimpin tak lagi mengerti bahasa rakyatnya
Ketika ramai saudara-saudara sebangsa melihat ketidak-adilan sebagai hal yang biasa

Seorang pemuda berdiri tegak di depan Istana
Mengusap air matanya
Lalu menyulut tubuhnya

Nyala!
Dia berbicara melalui api
Di matanya, di tangannya, di kakinya, di hatinya

Nyala!
Lidah api berkibar laksana bendera kebangsaan

Nyala!
Menjadi suluh di suramnya langit merdeka

Lalu jatuh ke pelukan tanah tercinta dan menyala abadi di hati para kekasih tanah air

"Harus dengan cara inikah baru mereka akan mengerti?" tanya angin berhenti berhembus
Daun-daun tertunduk haru tak mampu menjawab

Untuk Indonesia!
Nyala!

Bagimu Negeri, jiwa raga kami...
Lantun sepasang sepatu untuk wisuda pemberian Kakak tercinta

Jumat, 09 Desember 2011

Desember

Aku selalu tak bisa menahan diri tersenyum-senyum sendiri setiap melewati kantor pegadaian di ujung jalan itu. Terbayang kembali cemberut di wajahmu karena aku enggan menemanimu masuk kedalamnya. Aku memilih menunggu di warung kopi seberang jalan, karena merasa malu jika sekiranya ada orang yang kukenal melihatku masuk ke dalam kantor itu.

Sebelumnya aku selalu merasa mampu untuk mencukupi segala kebutuhan kita dengan kekuatanku sendiri, sampai akhirnya hari itu aku menyerah dan kita sepakat menitipkan semua perhiasanmu beserta cincin pernikahan kita untuk beberapa waktu lamanya di sana, supaya kita bisa menutupi biaya perobatan dan membawa Deasy, putri kita pulang dari rumah sakit.

Lalu sisanya masih bisa untuk membelikan hadiah ulang tahunnya yang ke-2 sekaligus baju natalnya. Oh iya, waktu itu kau belikan juga buku gambar beserta alat tulisnya untuk putri cantik kita.

"Pintar...!" katamu setiap Deasy membuat coretan di bukunya gambarnya. "Bagus... Bagus banget, sayang...!" katamu lagi memujinya. Lalu kulihat gambar yang dibuat Deasy. Semua coretan itu memiliki pola yang sama.

"Ini lebih tepat disebut tandatangan daripada sebuah gambar!" kataku sambil tertawa. Lalu kau menyambut tawaku dengan cubitan di lengan, supaya aku tidak meneruskan ucapanku. Kemudian gambar-gambar yang menyerupai tanda tangan itu kau letakkan di kaki pohon Natal bersama kartu-kartu ucapan Natal yang kita terima. Dan kita bertiga menghabiskan malam Natal tahun itu di depan televisi.

Hari-hari berikutnya Deasy mulai bosan dengan buku gambarnya. Ia mulai bereksperimen dengan menandatangani setiap tempat yang ia mau. Lantai, dinding, seprai, gorden, juga wajah cantikmu tak luput dari tanda tangannya sewaktu kau tertidur. Oh iya, wajahku juga.

Dan baru saja selesai bulan Desember, seluruh dinding rumah kita sudah penuh dengan tanda tangannya. "Luar biasa..." katamu sambil memandang seluruh tembok rumah kita. "Ia menuruni bakat Ayahnya yang penulis, suka sekali membubuhkan tanda tangan."


Tak terasa sudah Desember lagi, sayang. Seperti biasa, ia datang bersama gerimis yang mendesah manis menciumi ranting-ranting dan dedaunan. Mal-mal berdandan cantik dan memutar lagu-lagu Natal lebih awal dari Gereja-gereja. Menyenangkan juga ya, merayakan natal di mal, seperti waktu itu, menyaksikan Deasy tertawa bahagia bermain ice skeating  di Taman Anggrek dengan topi sinterklasnya. Tak terasa ia telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Secantik dirimu.


Sayang, Natal ini mungkin Deasy tak lagi merayakannya bersamaku. Dia harus mengikuti suaminya yang sedang ditugaskan oleh Negara ke wilayah Maluku. Ya, mungkin dia hanya akan menghubungiku lewat telepon untuk mengucapkan selamat Natal. Pasti aku akan selalu merindukan mata indahnya yang diwarisinya darimu.

Tentu saja kau juga bahagia melihat kebahagiaan putrimu, bukan? Oh ya, sayang, tentu enak sekali di surga sana ya? Pohon Natalnya pasti besar sekali ya? Ngomong-ngomong, apakah petugas pegadaian yang dulu melayanimu ada juga bersamamu di sana?


Sayang, kadang kala hujan yang dibawa Desember terasa lebih sendu dari kata-kata rindu yang ditulis para penyair. Tentu saja bukan karena sebentar lagi Natal maka aku merindukanmu, tapi memang setiap hari aku merindukanmu. Dan kenangan tentang dirimulah yang selalu membuatku bahagia.


Desember ini aku sama bahagianya seperti saat-saat ada bersama kamu. Tidak benar jika ada orang yang bilang bahwa aku kesepian dan tidak bahagia. Seperti kata Bonhoeffer, kebahagiaan itu bukan bergantung pada keadaan di sekitar kita, melainkan bergantung pada apa yang sedang terjadi dalam diri kita. Dan aku bahagia mengingatmu dan Deasy sekarang. Lagi pula aku tidak akan kesepian, karena aku akan merayakan Natal bersama televisi.

Rabu, 07 Desember 2011

Buku Kumpulan Cerita Tuan Ringo



 

DARI PENERBIT

Keluarga. Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata tersebut? Wajah orang-orang tercinta yang selalu setia memberikan pelukan hangat? Ataukah wajah dari orang-orang yang sering membuat Anda kecewa dan terluka?

Apakah kata keluarga hanyalah satu kata dari rangkaian huruf yang terlalu sering kita baca hingga berlalu begitu saja? Atau kata itu adalah satu kata yang begitu sangat berarti dalam kehidupan kita?

Buku kumpulan cerpen karya Fidelis R. Situmorang yang sekarang berada di tangan Anda ini berisi cerita-cerita yang akan membawa kita ke dalam kisah-kisah penuh makna yang di dalamnya berisi kerinduan, cinta, harapan, pengorbanan dan juga tragedi.

Selesai membaca buku ini, kita pasti tidak sabar untuk segera memberikan pelukan paling hangat yang kita punya untuk orang-orang yang kita cintai.

Sebuah buku yang patut anda miliki dan baca bersama dengan keluarga tercinta.



Judul : Tuan Ringo,
Pengarang : Fidelis R. Situmorang,
Penerbit : Sinar David, Jakarta. ( X + 84 halaman)

ISBN : 978-602-98618-1-5

Bagi teman-teman yang berminat memiliki buku ini, bisa mendapatkannya di TB. Gramedia dan toko-toko buku kesayangan.

Minggu, 16 Oktober 2011

Apakah Kau akan Mencintaiku Selamanya, Seperti pada Hari Pertama Kau Jatuh Cinta Kepadaku?

Hari ini adalah ulang tahun ke-7 pernikahan kami. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, kami merayakannya hanya berdua saja. Mengunjungi kembali tempat di mana aku pertama kali mengucapkan kata cinta kepadanya dan menikmati lagi suara air laut yang membelai mesra pasir-pasir dan bebatuan di pantai. Ombak itu masih tetap sama lembutnya seperti 7 tahun kemarin.

Puas memanjakan diri kami berdua di tempat penuh kenangan, lalu kami akhiri acara perayaan di rumah dengan memutar kembali rekaman video acara adat pernikahan kami. Dan tampaklah wajah orang- orang yang mengasihi kami turut berbahagia dalam video itu.

Manja ia menyandarkan kepalanya di bahuku sambil bertanya pelan, "Apakah kau akan mencintaiku selamanya seperti pada hari pertama kau jatuh cinta kepadaku?"

"Tentu saja, sayang..." Jawabku sambil mencium keningnya.

"Sekalipun pada tahun-tahun berikutnya nanti aku belum juga bisa memberikanmu buah hati?"

Aku kembali mencium keningnya tanpa menjawab pertanyaannya.

"Apakah kau akan tetap mencintaiku, seandainya pada akhirnya nanti aku tidak akan pernah bisa memberikanmu buah hati?" Kembali ia bertanya.

Sekali lagi aku diam. Pertanyaannya membuka segala kecemasan yang selalu kusembunyikan darinya. Lalu kurapatkan tubuhnya masuk ke dalam pelukanku.

"Jantungmu bedebar cepat sekali..." Katanya pelan. "Apakah kau sama takutnya seperti apa yang kurasakan saat ini? Takut pada rasa sepi yang akan mendatangiku jika hal itu benar-benar terjadi?"

"Tak akan pernah ada kata sepi dalam hidupku, selama ada dirimu di sampingku..." Kataku kepadanya dengan hati yang perih. Kupeluk tubuhnya semakin erat ketika airmatanya jatuh menyaksikan rekaman di video yang menayangkan bagian pada saat aku menerima ulos hela dari orang tuanya yang diselimutkan ke tubuh kami berdua di acara pernikahan itu. Terdengar lagu yang mengiringi pemberian ulos itu,

Mengkel ma dainang
Sai unang tangis ho inang martuk tukian
Ingot martangiang
Asa horas hamu nalaho nang na tinggal*


"Kalau aku tak pernah bisa memiliki mereka, itu berarti hanya dirimulah yang selalu menjadi milikku selamanya..." Lalu kupeluk tubuhnya erat. Erat sekali, seperti pada hari itu, pada hari di mana pertama kali kuucapkan kata cinta kepadanya.






* Bait terakhir lagu Batak, Borhat ma da Inang Karya S. D. Sitompul.

Terjemahan bebasnya:

Tertawalah putriku, sayang,
Jangan biarkan segala resah membuatmu menangis
Ingatlah berdoa
Agar langkahmu bahagia sebagaimana kami pun bahagia melepasmu pergi.

Minggu, 04 September 2011

Pulang (Buku Remah-Remah Kehidupan)

"Wah, lo baca buku puisi, Bro?" tanyaku menggodanya, ketika melihat satu buku puisi di kamarnya. "Emang puisi ada gunanya?"

Temanku hanya menatapku sebentar, kemudian mengambil gitarnya, memainkan intro Still got the blues, Garry more dengan penuh perasaan tanpa menjawab pertanyaanku.

Sedikit menyesal aku karena menggodanya dengan pertanyaan itu, kuambil buku puisi yang tergeletak di meja bacanya. "Remah-Remah Kehidupan," judulnya. Halaman demi halaman mengajakku berkenalan dengan pribadi-pribadi anonim yang ada di dalamnya.

Melihat aku asyik membaca bukunya, temanku menghampiriku dan memberikan secangkir kopi. "Sudah dapat jawaban dari pertanyaanmu tadi?" tanya temanku sambil menghirup kopinya.

"Apaan? Still got the blues, maksud lo?" tanyaku sambil meledeknya lagi.

Dia tersenyum sebentar. "Dalam hidup ini, ada kalanya kita berjalan sangat jauh tanpa arah yang jelas, sampai akhirnya kita lupa jalan pulang. Nah, puisi, dapat menuntun kita untuk kembali pulang."

Gila temanku ini! Serius banget orangnya. "Pulang kemana?" kembali aku menggodanya.

"Pulang kembali ke hati kita," jawabnya sambil tersenyum.

Aku balas tersenyum dan menganggukkan kepala pura-pura mengerti penjelasannya. Sabar sekali temanku ini menghadapi pertanyaanku yang menggodanya. Senang melihatnya tersenyum ketika membicarakan puisi.

Dia bangkit dan menyalakan televisi. Berita sore mengabarkan tiga orang ibu muda tertangkap mencuri susu formula di sebuah mini market.

Mungkin malam ini ketiga ibu muda itu tidak pulang kembali ke rumah untuk membuatkan susu bagi anak-anaknya.

Sedih membayangkan wajah anak-anak itu menantikan ibunya pulang.

 "Gua balik ah, Bro... Gua pinjem buku puisi lo ya..." kataku kepada temanku yang serius menonton berita di televisi.

"Jangan, Bro..." jawabnya cepat, "buku yang dipinjamkan biasanya ga bakalan pulang lagi. Mendingan lo cari aja deh di toko buku."



 Judul : Remah Remah Kehidupan, Penulis : Fidelis R. Situmorang, Penerbit : Sinar David, (92 halaman) ISBN : 987-602-98618-0-8




Jumat, 27 Mei 2011

Tuan Ringo



 

DARI PENERBIT

Keluarga. Apa yang terbayang di benak Anda ketika mendengar kata tersebut? Wajah orang-orang tercinta yang selalu setia memberikan pelukan hangat? Ataukah wajah dari orang-orang yang sering membuat Anda kecewa dan terluka?

Apakah kata keluarga hanyalah satu kata dari rangkaian huruf yang terlalu sering kita baca hingga berlalu begitu saja? Atau kata itu adalah satu kata yang begitu sangat berarti dalam kehidupan kita?

Buku kumpulan cerpen karya Fidelis R. Situmorang yang sekarang berada di tangan Anda ini berisi cerita-cerita yang akan membawa kita ke dalam kisah-kisah penuh makna yang di dalamnya berisi kerinduan, cinta, harapan, pengorbanan dan juga tragedi.

Selesai membaca buku ini, kita pasti tidak sabar untuk segera memberikan pelukan paling hangat yang kita punya untuk orang-orang yang kita cintai.

Sebuah buku yang patut anda miliki dan baca bersama dengan keluarga tercinta.



Judul : Tuan Ringo,
Pengarang : Fidelis R. Situmorang,
Penerbit : Sinar David, Jakarta. ( X + 84 halaman)

ISBN : 978-602-98618-1-5


Bagi teman-teman yang berminat memiliki buku ini, bisa mendapatkannya di TB. Gramedia dan toko-toko buku kesayangan.





Minggu, 27 Februari 2011

Mobil-mobilan


Setelah hampir dua jam berkeliling pasar mainanan anak-anak ini, akhirnya kutemukan juga mainan yang cocok untuk anakku. Mobil-mobilan. Berbahan plastik dan berwarna terang.

"Tolong kopi satu, Bang, " kataku kepada pemilik warung, tempatku mengistirahatkan kaki setelah terasa pegal berkeliling pasar.

Mobil mainan berwarna terang itu keletakkan disampingku sambil membayangkan tubuh mungil anakku mengendarainya. Pasti dia akan senang sekali nanti.

"Baru beli, Pak? Bagus mobil-mobilannya, Pak..." Kata pemilik warung sambil mengantarkan kopi untukku

"Iya, bagus..." Jawabku, "Baru sekarang bisa kebeli, Bang..." lanjutku sambil menuangkan kopi ke piring alas gelas supaya panasnya cepat berkurang.

"Berapa tahun anaknya, Pak?"

"Satu setengah tahun, " jawabku sambil membuka dompet dan memperlihatkan foto anakku

"Cakep ya, Pak. udah bisa ngapain aja?" tanyanya lagi sambil memandangi foto anakku

"Udah bisa lari... Kemarin saya lihat dia ngejar-ngejar ayam tetangga..."

"Ha ha ha..." Kami tertawa bersamaan

"Enak ya, Punya anak..." katanya pelan

"Anaknya umur berapa, Bang?" Aku balik bertanya pada pemilik warung

"Saya belum punya... Belum dikasih Tuhan." jawabnya pelan.

"Oh... Sudah berapa lama menikah?" tanyaku lagi

"Enam Tahun, Pak. Kayaknya sepi nggak punya anak, ya. Jadi malas pulang. Saya udah periksa ke dokter, ke orang pinter juga, Tapi belum ada hasilnya. Kadang-kadang malu kalo ketemu teman lama atau saudara, sering diledekin! Katanya burung saya nggak tokcer..." katanya tersenyum pahit.

"Kalau nonton berita, saya sering dengar ada bayi dibuang sama orang tuanya, sampai ada yang mati kedinginan gitu... Pengen banget saya ketemu satu, biar saya aja yang urus... Tapi kok, saya nggak pernah ketemu ya?" lanjutnya.

Kami terdiam sejenak. "Sabar ya, Bang, Mudah-mudahan tahun ini dapet anak dari Tuhan.." Kataku menghiburnya


"Makasih, Pak," katanya. Kemudian dia bangkit memindahkan kardus-kardus minuman yang mulai terkena air hujan yang mulai datang dengan gerimisnya


Sebentar kemudian warung kopinya sudah dipenuhi oleh orang-orang yang meyelamatkan diri dari hujan. Di antara derasnya hujan, terlihat anak-anak kecil berebutan menawarkan jasa payungnya kepada orang-orang yang berteduh di dalam warung. Beberapa tersenyum senang mendapatkan orang-orang yang mau memakai jasa mereka, sebagian anak anak lainnya segera mencari calon penyewa jasa mereka yang kebetulan berteduh di depan-depan toko mainan.


Bertepatan dengan habisnya kopiku, hujan mulai reda. Anak-anak pengojek payung dengan pakaian yang masih basah berkumpul di pinggiran warung, menghitung pendapatan mereka. Beberapa anak terlihat menggigil kedinginan. Kemudian mereka menukarkan koin-koin mereka kepada pemilik warung. "Untuk uang kembalian," kata pemilik warung kepadaku tanpa ditanya.


Akhirnya hujan benar-benar berhenti. "Ini uang kopinya, Bang. Makasih ya, Bang... Semoga Tahun ini diberikan anak oleh Tuhan ya..." kataku menghiburnya sekali lagi.


"Iya, Makasih ya, Pak... Semoga anaknya seneng punya mobil-mobilan baru," jawabnya.


Sambil berjalan menuju halte, sudah terbayang tingkah lucu anakku mengendarai mobi-mobilan ini.Tak sabar rasanya supaya cepat sampai di rumah.


Di dalam bus yang mengantarku pulang, terdengar pengamen menyanyikan lagu Iwan Fals : 

Cepatlah besar matahariku
Menangis yang keras janganlah ragu
Tinjulah congkaknya dunia, buah hatiku
Doa kami di nadimu


Nak, ayah pulang. Ayah bawakan mobil-mobilan. Jangan ngejar-ngejar ayam tetangga lagi ya...

Jumat, 04 Februari 2011

Februari

Begitu anggun cara kupu-kupu itu menari dengan kedua sayapnya.
Dedaunan terpesona, bunga-bunga bermekaran menyaksikannya.

"Aku percaya pada love at the first sight.
Itulah yang membawaku sampai kepadamu.
Dan tak akan ada yang bisa memisahkan kita,"
katamu waktu itu dengan manja.

Lalu kupu-kupu terbang menghilang berganti hujan

Februari dilamun hujan
Aku dilamun sepi
Kau ada di mana kini?

“Dia ada di hatimu,” kata gerimis di kaca jendela menghiburku.
“Ya, tentu saja hanya ada dia di sana,” sahut hujan di mataku.

Minggu, 30 Januari 2011

Salemba

Di tempat ini biasanya aku bermain bola basket bersama teman-teman
tapi sekarang telah berubah menjadi tempat parkir
Sepertinya masih terdengar suara bola basket yang memantul di lantainya
Sekolahku telah hilang. Tidak ada jejaknya sama sekali. Berganti menjadi universitas yang terlihat mewah seperti mall.

Kususuri trotoar yang sering kulalui dulu bersama teman-teman
Pelan-pelan mencoba menyatukan pecahan-pecahan kenangan di sini
Putih abu-abu. Sungguh masa yang menyenangkan.
Saat itu aku jatuh cinta pada kakak kelasku.
Tukang mie ayam dan tukang gorengan menjadi saksi  cinta kami waktu itu

Hari terasa sangat panas. Mungkin karena lebih banyak gedung daripada pepohonan di sini
"Berikan aku hujan." Pintaku kepada Tuhan.
Tiba-tiba terdengar merdu suara seruling
Seorang lelaki tua telihat sedang memainkannya diantara mobil-mobil yang berhenti di lampu merah
beberapa pengendara melambaikan tangan, beberapa lainnya memberikan koin berwarna perak dan emas dari balik kaca mobil.

Saat lampu pengatur jalan berubah hijau, kulihat lelaki tua itu menghampiri seorang wanita tua yang sedang duduk di trotoar.
Menyerahkan keping-kepingan uang yang diterimanya tadi kepada perempuan itu, kemudian membetulkan payung yang dipakai istrinya untuk berlindung dari panas matahari.

Ketika lampu kembali merah, lelaki tua itu terlihat gagah berjalan diantara kendaraan yang berhenti di lampu merah.
Lalu terdengar kembali alunan merdu suara serulingnya.
Mungkinkah ini yang disebut cinta yang selamanya, seperti yang pernah dibicarakan oleh teman-temanku pencinta film korea?
Lalu kepada Tuhan kembali aku berseru,
"Tuhan aku nggak jadi minta hujan...
Aku minta seruling seperti kepunyaannya aja."
Dan hujan tidak jadi turun, matahari tidak lagi menyengat.

Diantara merdu suara seruling lelaki tua itu, terdengar nyanyian dari dua orang mahasiswa yang berjalan pulang, "Ut Omnes unum sint, itulah amsal kita..."

Jumat, 14 Januari 2011

Mencari Masa Kecil

Seorang teman terlihat begitu senang saat bertemu denganku

"Ayo, temani aku." Ajaknya dengan penuh semangat

"Kemana?" tanyaku

"Mencari masa kecilku!" Jawabnya cepat

"Masa kecil? Ada apa dengannya?" Tanyaku heran

"Aku ingin memintanya mengembalikan kegembiraanku bermain hujan dulu." Katanya dengan mata berbinar-binar.

Senin, 10 Januari 2011

Rapat Umum

Dengan semangat yang menyala-nyala, seorang pembicara menjabarkan segala penyebab berbagai penderitaan rakyat. Semua dijalaskan satu per satu, mulai dari Sabang sampai ke Merauke.

Dari perilaku para wakil rakyat yang katanya memiliki lidah bercabang, sampai pada kebijakan tidak becus dari pemerintah yang hanya menguntungkan para tauke.

"Kita harus bangkit melawan!" teriaknya dengan berapi-api.

Tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar interupsi. "Maaf, Pak, warungnya sudah mau tutup."

Lalu satu-satunya pendengar di situ berdiri. "Saya teh manis satu sama pisang goreng dua." Katanya kepada ibu pemilik warung sambil mengeluarkan beberapa lembar  uang ribuan.

"Saya kopi satu, sama rokok separoh," kata si pembicara yang tiba-tiba kehilangan semangatnya. "Besok ya, Mak... Sewa lagi sepi, nih..." lanjut si pembicara dengan suara lemas.

Warung ditutup, dan rapat umum pun berakhir

Kamis, 06 Januari 2011

Januari

Hujan. Januari memang selalu datang membawa hujan. Rinainya melantunkan harmoni saat menyentuh dedaunan, tanah, dan atap rumah.

Duduk di beranda rumah, seorang lelaki tua menikmati kopi dan rokok kreteknya. Kabut kecil dari mulut dan kedua lubang hidungnya seperti membentuk lambaian tangan dari orang-orang yang dicintainya

"Pak, berhenti merokok, dong... Itu kan nggak bagus bagi kesehatan Bapak..." Begitu kata putrinya kemarin.

"Iya, Nak, besok Bapak berhenti merokok. Ah, kau semakin mirip saja dengan ibumu..." Jawabnya lembut.

Sambil menikmati hangatnya kopi, ia meresapi sisa-sisa kehangatan yang tertinggal saat merayakan tahun baru bersama anak-anak dan cucu-cucunya kemarin.

Memeluk cucu baginya seperti mengembalikan masa mudanya. Masa-masa dimana ia bersama dengan istrinya tercinta, memanjakan anak-anaknya yang sekarang telah menjadi orang tua dari malaikat-malaikat mungil itu. Ia seperti mendapatkan kembali keceriaan anak-anaknya dulu di rumah masa kecil mereka. Sungguh dia tidak ingin kehilangan saat-saat itu.

Dan sebagaimana kehidupan telah mengajarinya, di mana ada pertemuan selalu akan ada perpisahan, siang tadi, anak-anak dan cucu-cucu harus kembali pulang ke kota. Mereka memilik dunianya sendiri. Dan kota mempunyai kesibukannya sendiri. Ia mengantar mereka yang dicintainya sampai ke persimpangan jalan besar. Satu persatu mendapatkan pelukan yang hangat dan kuat darinya.

"Dadaaa, Opunggg...!!!" Teriak cucu-cucunya sambil melambaikan tangan. Dibalasnya lambaian tangan para malaikat kecilnya dengan sepenuh senyuman.


Kopi hangat sudah habis, begitu juga rokok kreteknya. Malam datang membawa sepi, ia masuk ke dalam rumah, memandang photo istrinya, lalu bernyanyi :

Na sonang do hita nadua
Saleleng ahu rap dohot ho
Nang ro di na sari matua
Sai tong ingotonhu do ho

Mungkin Januari memang sengaja datang membawa hujan untuk menemaninya bernyanyi.

Hupeop sude denggan ni basam
Huboto tu ahu do roham
Nang ro di na sari matua
Sai tong ingotonhu do ho






***Catatan : Terjemahan lagu Na sonang do hita nadua :

Bahagianya kita berdua
Selama aku ada bersama dirimu
Hingga tiba pada masa tua

Yang kuingat hanyalah dirimu

Kurasakan semua keindahan cintamu
Ku tahu hatimu hanya untukku

Hingga tiba pada masa tua 
Yang kuingat hanyalah dirimu




Minggu, 02 Januari 2011

Pada Langit Januari

Baru saja selesai ribuan kembang api berpesta di langit malam,
Sebuah pesan di ponselku berkata : "Happy new year! Miss you so much."

Dan sepi langit malam yang telah ditinggal pergi oleh eloknya keramaian kembang api, perlahan mulai membentuk garis-garis wajahmu.

Seketika jantung ini berdetak tak menentu.
Ah, please... Jangan bawa aku kembali pada kesedihan masa lalu.

Serupa pedihkukah rindu yang kau rasakan?
Bertanya jantungku pada wajahmu di langit malam itu

Perlahan garis-garis yang membentuk wajahmu memudar
Lalu langit Januari menurunkan embun serupa air mata yang mengalir membasahi pipi dedaunan.