Jumat, 25 Oktober 2013

Mencicipi Remah-Remah Fidelis


Mungkin Fidelis sedang ingin berendah hati ketika ia menamai kumpulan puisinya dengan “Remah-Remah Kehidupan”. Kalau diandaikan “remah-remah” adalah sesuatu yang terbuang, sisa, alias tidak berharga maka tidak demikian dengan kumpulan puisinya ini. Ketika membacanya saya merasakan kenikmatan yang lebih dari sekedar makan remah-remah roti.

Namun demikian, saya mencoba memahami makna remah-remah di sini seperti makan remah-remah sungguhan. Rasanya kita belum lupa enaknya menjumput remah-remah roti atau nasi dan memakannya ketika kita masih kecil. Entah kenapa yang sudah tercecer itu kok terasa begitu nikmat. Dalam konteks itulah saya mencoba memahami puisi-puisi Fidelis ini.

Kumpulan puisi “Remah-Remah Kehidupan” sendiri berisi 57 puisi yang terbagi dalam tiga bagian dan memiliki tema besar  sama: cinta.

Puisi-puisi cinta Fidelis khususnya di bagian pertama membuat saya mabuk kepayang. Bagaimana tidak, puisi-puisinya begitu manis dan mengalir romantis. Sulit saya ungkapkan, tetapi begitu membacanya, saya bisa merasakan kehalusan cinta dari puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini begitu menyentuh seolah-olah dituliskan khusus untuk saya yang sedang membacanya.

Yang membuat saya betah mengunyah puisi-puisi itu ialah karena mereka jauh dari kesan nge-gombal. Fidelis dengan sangat pas menggunakan kata-kata sehari-hari yang langsung terasa dan tertangkap. Fidelis mengisinya dengan kehalusan rasa dan ketulusan. Saya rasa kejeniusannya terletak pada kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang “biasa” menjadi dalam bermakna serta menjaga agar puisi cinta ini tidak jatuh pada barisan rayuan gombal semata. Perhatikan yang satu ini:

Ubud

Di tepi sungai Petanu
Kuselipkan setangkai puisi di rambutmu

Dan alam semesta hening terpukau
Karena indahmu

Remah-remah Fidelis ternyata tidak hanya manis dan romantis, tetapi juga humoris. Perhatikan cuplikan dari puisi “Aku Mencintaimu Sampai Terngantuk-ngantuk”:

Orang bilang setelah memiliki anak, cinta pasangan akan
Lebih besar kepada anak
Tapi bagiku Tidak!!!
Walaupun tubuhmu sekarang makin dihiasi lemak
Cintaku padamu bertambah banyak


Mungkin juga remah-remah Fidelis adalah keberserakan bentuk puisinya. Perhatikan bahwa ada puisi yang begitu pendeknya yang hanya berisi dua baris (“Oktober” atau “Kenangan Masa Kecil”), namun ada juga yang panjang, seolah-olah bercerita (“Kepada Batsyeba, Istriku” atau “Mati”, misalnya). Mengenai beberapa puisi yang panjang ini terkadang saya merasa sedang membaca sebuah cerpen atau cermin dan bukannya sebuah puisi.

Remah-remahnya Fidelis juga bermakna keberserakan arti cinta di dalamnya. Cinta tidak melulu milik dua insan yang sedang mabuk kepayang. Remah cinta itu menjangkau sampai kepada cinta dalam keluarga dan cinta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ambil contoh “Les Photos de Papa” yang begitu menyentuh, mengingatkan kita akan cinta seorang ayah. Puisi ini mewakili cinta dalam keluarga –orang tua pada anak dan sebaliknya-. Sementara puisi “Gadis Kecil di Lampu Merah” menyentil rasa cinta kita pada mereka yang terpinggirkan dan hanya jadi mainan politik para penguasa.
Dan walaupun tidak banyak, remah-remahnya Fidelis menyentuh juga hubungan intimnya dengan Tuhannya. Lihat saja di puisi “Terima Kasih, Tuhan” yang diletakkan di bagian paling akhir:

Terima Kasih, Tuhan

Tuhan, Semalam aku diam-diam membuka dompetMu,
Aku senang,
Ada fotoku di situ

Terima kasih, Tuhan…
I love You


Sayangnya jumlah antara  puisi-puisi cinta untuk keluarga atau masyarakat atau Tuhan tidak sebanyak puisi cinta untuk kekasih. Tetapi, mungkin di situlah maksudnya “remah-remah”. Apa asyiknya mencomoti remah-remah bila mereka teratur dan tersusun rapi? Semakin berserak mungkin semakin asyik kita memburunya.

Akhirnya, menikmati remah-remah puisi Fidelis sungguh membuat saya “kenyang”.  Terkadang saya berhenti dan mengulangi lagi membaca puisi yang sama. Saya ingin merasakan kembali sensasi dari kehalusan puisi tersebut. Bila dilihat dari efeknya terhadap saya sebagai pembaca, remah-remah Fidelis adalah setara dengan makan nasi padang dari RM “Pak Datuk”.  (db)


Pekanbaru, 30 Juli 2011
 

Agnes Bemoe, Penulis.










Jumat, 09 Agustus 2013

Resensi Kumpulan Cerita Tuan Ringo

Resensi Buku Tuan Ringo





Manusia senang membaca cerita. Apalagi jika cerita itu dekat dengan keseharian kita. Apalagi jika cerita tentang keluarga. Pada buku kumpulan cerpen Tuan Ringo karangan Fidelis R. Situmorang ini ada banyak cerita. Yang jika dilihat dari ragam temanya, bersumber dari kisah nyata. Misalnya dalam cerpen utama “Tuan Ringo”, Fidelis menceritakan latar belakang lahirnya keluarga besar klan Situmorang dengan gaya bertutur, plus konflik yang menyertainya.

Karena menyangkut identitas/nama salah satu keluarga besar dalam etnis Batak, buku ini mendapat sambutan dari pembacanya. Sebelum diterbitkan dalam sebuah buku, “Tuan Ringo” dan tulisan-tulisan lainnya sudah pernah diposting di salah satu blog milik media nasional, Kompasiana.com. Martua Sirait, salah satu yang meresponi cerpen tersebut bahkan membuat tulisan tersendiri mengenai silsilah marga Situmorang, sekaligus mengafirmasi ketepatan kisah/sejarah Tuan Ringo beserta keturunannya*). Meskipun ada sedikit bagian/kronologi yang kurang jelas, hal ini wajar saja saya kira.

Barangkali, bagus juga apabila silsilah keluarga besar kita dikemas dalam bentuk cerita seperti dalam “Tuan Ringo”. Semoga ini menarik minat generasi muda kita mencintai budaya dan memahami silsilah keluarganya.

Dalam cerpen “I Love You More” dipaparkan tentang tragedi anak muda yang mati di tangan seniornya kala mengikuti orientasi (OSPEK) di kampusnya. Si anak muda ini diberi nama Yusuf oleh kedua orangtuanya. Mungkin banyak pembaca yang terkecoh ketika membaca pembuka cerita ini (hal. 11). Kita membayangkan, gambaran Yusuf yang disampaikan oleh tokoh ayah adalah Yusuf yang tengah berdiri gagah dengan jas hitamnya. Ternyata tidak. Ia sedang berbaring di peti mati dengan jas hitam dan wajah tampannya. Meski ditambahkan kesan oleh sang ayah bahwa Yusuf itu seorang pemuda yang cerdas dan sopan dan pasti banyak gadis yang terpikat padanya. Penuturannya memang disampaikan dengan  gaya flashback.

Meski Yusuf adalah tokoh rekaan, namun cukup banyak Yusuf di dunia nyata yang mati karena kekerasan atas nama disiplin institusi pendidikan. Sayang disayangkan! Kita tidak pernah tahu, bisa saja kelak mereka yang mati sia-sia itu adalah para pengubah sejarah.

Cerita lain yang juga memuat romansa kehidupan keluarga adalah “April”. Ini bukan nama bulan pada penanggalan melainkan nama seorang gadis. Pada hari ulangtahunnya sang pacar bertanya, ‘mau hadiah apa?’ Si gadis menjawab, ‘aku pengen punya ibu Bang’ (hal. 24). Rupanya April adalah gadis yang sejak umur setahun ditinggal ibunya. Keterhilangan akan sosok ibu jadi tema utama dalam cerita ‘April’.

Kisah menyentuh lainnya ada pada cerpen “Mei”. Ini pun bukan nama bulan. Melainkan nama seorang anak yang lahir pada bulan Mei 1998. Lahirnya berbarengan dengan perstiwa kerusuhan dan pemerkosaan massal di Indonesia. Fidelis cukup baik dalam menyusun alur ceritanya. Sepasang suami-istri yang sangat menginginkan anak namun ketika anak itu masih janin, di perut yang sama juga tumbuh kista. Meski dokter menyarankan kandungan digugurkan karena membahayakan nyawa si ibu, janin tetap dipertahankan oleh karena cintanya pada sang anak. Tampaknya ada pertalian antara tekad si ibu dengan kasus perkosaan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Setidaknya dari kekuatan empati si penulis. Sehingga, beberapa pembaca cerita yang membaca dari blog Kompasiana.com mengira bahwa kisah ini adalah kisah betulan. ‘Bolehkah bapak memosting foto putri bapak?’ demikian komentar salah satu pembaca. ‘Maaf bu, ini hanya fiksi,’ jawab Fidelis.

Masih banyak cerita lainnya. Kisah bapak tua yang anaknya hilang di jalanan (“Di Mana Kau Nak” hal. 41), kisah ibu yang rindu kepada anaknya yang hilang diculik aparat (“Mimpi Jadi Jambu Air” hal. 71), kisah ‘ayah sayang anak’ yang mau berlelah-lelah mencari mobil mainan untuk anaknya (“Mobil-mobilan” hal. 77), hingga kisah yang menurut saya sungguh heboh; suami yang selingkuh dengan teman lelaki sekantornya (“Lembur” hal. 65) dan harus menahan perasaan bersalah kepada istrinya. Saya yakin, cerita-cerita semacam ini banyak terjadi di sekitar kita.

O ya, ada pula kisah-kisah yang ‘dekat’ dengan keseharian kita lainnya, yakni kisah yang diinspirasi dari bacaan Alkitab. Pertama, “Bolehkah Aku Memanggilmu dengan Kata Sayang (hal. 49) diambil dari kisah anak gadis Yefta yang menjadi ‘korban’ nazar sang ayah (Hakim-hakim 11). Kedua, “Aku tidaklah Penting, hanya Seorang Pelacur” (hal. 57) inspirasi dari kisah Rahab yang menyelamatkan dua pengintai Israel.

Meski sederhana dalam tema, namun kisah-kisah tersebut penuh makna, berisi kerinduan cinta, harapan, pengorbanan dan juga tragedi. Seakan mengajak kita untuk ‘segera memberikan pelukan paling hangat yang kita punya untuk orang-orang yang kita cintai’ (hal. x). Karenanya, mari jadikan buku ini sumber inspirasi untuk menghangatkan kasih dalam keluarga kita. ***



Erna Manurung, Pemerhati Sosial.

~Dimuat di majalah budaya Dalihan Na Tolu
edisi 75/Agustus 2013~


Agustus

Di senja matamu itu, Ayah,
aku bisa apa?

Sabtu, 27 Juli 2013

PEJATEN: Dekat di Hatimu




Apakah cinta namanya, jikalau mengingini seseorang yang telah memiliki orang lain?
Apakah cinta namanya, jikalau keindahannya hanya disimpan di hati saja?




PEJATEN: Dekat di Hatimu
Penerbit Sinar David, Juni 2013
126 hal+ X, 13 x 19 cm
ISBN: 987-602-98618-4-6