Jumat, 09 Agustus 2013

Resensi Kumpulan Cerita Tuan Ringo

Resensi Buku Tuan Ringo





Manusia senang membaca cerita. Apalagi jika cerita itu dekat dengan keseharian kita. Apalagi jika cerita tentang keluarga. Pada buku kumpulan cerpen Tuan Ringo karangan Fidelis R. Situmorang ini ada banyak cerita. Yang jika dilihat dari ragam temanya, bersumber dari kisah nyata. Misalnya dalam cerpen utama “Tuan Ringo”, Fidelis menceritakan latar belakang lahirnya keluarga besar klan Situmorang dengan gaya bertutur, plus konflik yang menyertainya.

Karena menyangkut identitas/nama salah satu keluarga besar dalam etnis Batak, buku ini mendapat sambutan dari pembacanya. Sebelum diterbitkan dalam sebuah buku, “Tuan Ringo” dan tulisan-tulisan lainnya sudah pernah diposting di salah satu blog milik media nasional, Kompasiana.com. Martua Sirait, salah satu yang meresponi cerpen tersebut bahkan membuat tulisan tersendiri mengenai silsilah marga Situmorang, sekaligus mengafirmasi ketepatan kisah/sejarah Tuan Ringo beserta keturunannya*). Meskipun ada sedikit bagian/kronologi yang kurang jelas, hal ini wajar saja saya kira.

Barangkali, bagus juga apabila silsilah keluarga besar kita dikemas dalam bentuk cerita seperti dalam “Tuan Ringo”. Semoga ini menarik minat generasi muda kita mencintai budaya dan memahami silsilah keluarganya.

Dalam cerpen “I Love You More” dipaparkan tentang tragedi anak muda yang mati di tangan seniornya kala mengikuti orientasi (OSPEK) di kampusnya. Si anak muda ini diberi nama Yusuf oleh kedua orangtuanya. Mungkin banyak pembaca yang terkecoh ketika membaca pembuka cerita ini (hal. 11). Kita membayangkan, gambaran Yusuf yang disampaikan oleh tokoh ayah adalah Yusuf yang tengah berdiri gagah dengan jas hitamnya. Ternyata tidak. Ia sedang berbaring di peti mati dengan jas hitam dan wajah tampannya. Meski ditambahkan kesan oleh sang ayah bahwa Yusuf itu seorang pemuda yang cerdas dan sopan dan pasti banyak gadis yang terpikat padanya. Penuturannya memang disampaikan dengan  gaya flashback.

Meski Yusuf adalah tokoh rekaan, namun cukup banyak Yusuf di dunia nyata yang mati karena kekerasan atas nama disiplin institusi pendidikan. Sayang disayangkan! Kita tidak pernah tahu, bisa saja kelak mereka yang mati sia-sia itu adalah para pengubah sejarah.

Cerita lain yang juga memuat romansa kehidupan keluarga adalah “April”. Ini bukan nama bulan pada penanggalan melainkan nama seorang gadis. Pada hari ulangtahunnya sang pacar bertanya, ‘mau hadiah apa?’ Si gadis menjawab, ‘aku pengen punya ibu Bang’ (hal. 24). Rupanya April adalah gadis yang sejak umur setahun ditinggal ibunya. Keterhilangan akan sosok ibu jadi tema utama dalam cerita ‘April’.

Kisah menyentuh lainnya ada pada cerpen “Mei”. Ini pun bukan nama bulan. Melainkan nama seorang anak yang lahir pada bulan Mei 1998. Lahirnya berbarengan dengan perstiwa kerusuhan dan pemerkosaan massal di Indonesia. Fidelis cukup baik dalam menyusun alur ceritanya. Sepasang suami-istri yang sangat menginginkan anak namun ketika anak itu masih janin, di perut yang sama juga tumbuh kista. Meski dokter menyarankan kandungan digugurkan karena membahayakan nyawa si ibu, janin tetap dipertahankan oleh karena cintanya pada sang anak. Tampaknya ada pertalian antara tekad si ibu dengan kasus perkosaan etnis Tionghoa pada kerusuhan Mei 1998. Setidaknya dari kekuatan empati si penulis. Sehingga, beberapa pembaca cerita yang membaca dari blog Kompasiana.com mengira bahwa kisah ini adalah kisah betulan. ‘Bolehkah bapak memosting foto putri bapak?’ demikian komentar salah satu pembaca. ‘Maaf bu, ini hanya fiksi,’ jawab Fidelis.

Masih banyak cerita lainnya. Kisah bapak tua yang anaknya hilang di jalanan (“Di Mana Kau Nak” hal. 41), kisah ibu yang rindu kepada anaknya yang hilang diculik aparat (“Mimpi Jadi Jambu Air” hal. 71), kisah ‘ayah sayang anak’ yang mau berlelah-lelah mencari mobil mainan untuk anaknya (“Mobil-mobilan” hal. 77), hingga kisah yang menurut saya sungguh heboh; suami yang selingkuh dengan teman lelaki sekantornya (“Lembur” hal. 65) dan harus menahan perasaan bersalah kepada istrinya. Saya yakin, cerita-cerita semacam ini banyak terjadi di sekitar kita.

O ya, ada pula kisah-kisah yang ‘dekat’ dengan keseharian kita lainnya, yakni kisah yang diinspirasi dari bacaan Alkitab. Pertama, “Bolehkah Aku Memanggilmu dengan Kata Sayang (hal. 49) diambil dari kisah anak gadis Yefta yang menjadi ‘korban’ nazar sang ayah (Hakim-hakim 11). Kedua, “Aku tidaklah Penting, hanya Seorang Pelacur” (hal. 57) inspirasi dari kisah Rahab yang menyelamatkan dua pengintai Israel.

Meski sederhana dalam tema, namun kisah-kisah tersebut penuh makna, berisi kerinduan cinta, harapan, pengorbanan dan juga tragedi. Seakan mengajak kita untuk ‘segera memberikan pelukan paling hangat yang kita punya untuk orang-orang yang kita cintai’ (hal. x). Karenanya, mari jadikan buku ini sumber inspirasi untuk menghangatkan kasih dalam keluarga kita. ***



Erna Manurung, Pemerhati Sosial.

~Dimuat di majalah budaya Dalihan Na Tolu
edisi 75/Agustus 2013~


Agustus

Di senja matamu itu, Ayah,
aku bisa apa?