Senin, 20 Oktober 2014

PULANG; Ada yang Pergi ada yang Kembali

Resensi Buku
 
“I’m nearer to God,” ucap lirih seorang jurnalis kawakan sebelum ia berpulang kepada Sang Khalik. Penyakit kanker paru-paru telah merengggut nyawanya beberapa waktu lalu.
 
Dalam ziarah panjang kehidupan, akhirnya kita akan merindukan pulang. Entah untuk sejenak atau sedikit lebih lama. Kadang-kadang sangat lama, dan banyak yang pulang untuk tidak kembali.
 
Tema ‘Pulang” banyak diangkat oleh para penulis karya sastra. Salah satu diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Fidelis R. Situmorang (FRS) dalam novel pendek terbarunya. Saya sebut novel pendek, karena buku ini hanya berisi 106 halaman, bukan (minimal) 200 halaman sebagaimana lazimnya sebuah novel.
 
Dalam PULANG, ia mengangkat kisah-kisah kehidupan yang dekat dengan keseharian. Ada cerita tentang istri yang menanggung rindu pulang saat dirawat di rumah sakit, ada pula kisah anak lelaki yang tak mau pulang-pulang karena marah pada ayahnya, dan ada ibu tua yang setelah berjuang untuk tetap hidup akhirnya menyerah pada takdir untuk pulang ke keabadian.
 
Fidelis memberi ruang yang luas kepada pembaca untuk menentukan sendiri makna dari masing-masing cerita. Ia menyusun membuat kumpulan ceritanya dalam struktur yang khas, mirip dengan ‘novel-novel’ sebelumnya. Ada tokoh utama, selebihnya tokoh-tokoh pendamping. Yang menarik, tokoh-tokoh pendamping itu bercerita sendiri mengenai kehidupannya dalam porsi yang maksimal. Jadi, FRS menulis bukan hanya mewakili tokoh utama yaitu Nathan, juga tokoh-tokoh lain seperti Martha istrinya, Patar dan ayahnya, bahkan adik iparnya (Ruben). Semuanya ditulis memakai kata ganti orang pertama tunggal (Aku).
 
Kita harus membaca sampai selesai baru memahami bahwa cerita dengan judul “Rahasia” misanya, ditulis mewakili tokoh Ruben. Ia tidak mengikuti pola mainstream, dimana nama tokoh ditulis di awal tulisan.
 
***
 
Kisah PULANG diawali dengan lamunan Martha saat diopname di RS. Martha sedang menjalani biopsi untuk melihat apakah jaringan yang tumbuh di payudaranya berbahaya atau tidak. Dalam penantian yang mendebarkan itu –Martha harus menunggu hasil laboratorium yang menentukan nasib penyakitnya— ia mengenang rumah masa kecil dan adiknya yang telah tiada (hal. 1-3).
 
Penyakit, apapun itu, tampaknya selalu mengundang rasa takut akan sebuah peristiwa yang bernama kematian. Apalagi saat mengetahui pasien teman sekamarnya menderita penyakit parah yang mengancam nyawa. FRS  menetralisir keadaan itu dengan menghadirkan Nathan yang menghibur istrinya (hal. 6).
 
Kisah-kisah berikutnya dijalin oleh FRS melalui cerita dari Ruben semasa hidupnya (Rahasia), keharmonisan keluarga Nathan dan masa lalu keluarga ayahya (Kakek), kisah cinta romantis antara Nathan dan Martha, hingga pergumulan sahabatnya Patar, yang masih enggan pulang ke rumah ayahnya. Setting cerita yang dihadirkan semuanya bernuansa keluarga. Bisa jadi, tema keluarga adalah ‘trade mark’ FRS dalam menuangkan berbagai cerita.
 
***
 
Pulang mungkin hanyalah perjalanan akhir. Ibu tua itu akhirnya berpulang. Ayah Patar juga demikian (hal 83). Yang satu tak kuat menahan komplikai penyakit yang dideritanya, yang satu tak sanggup menahan rindu dan rasa bersalah karena mengabaikan anak. Nathan juga pulang, setidaknya dari perjalanan mendaki gunung Ciremai yang memberinya pelajaran berharga tentang kehidupan. Namun yang melegakan, penyakit Martha ternyata tidak berbahaya. Ia bisa pulang ke rumah. Namun ia memberikan empatinya kepada sesama penyandang kanker dengan memotong pendek rambutnya.
 
Meski benang merah buku ini cukup jelas, namun di beberapa bagian FRS menyelipkan satu-dua tulisan yang saya pikir tadinya hanya tempelan belaka. Misalnya ulasan tentang riwayat hidup Amir Syarifuddin di halaman 86. Atau kisah perjuangan HR Rasuna Said di halaman 54. Rupanya, itu semacam pengantar untuk membawa pembaca melihat kisah buku doa yang dipakai oleh keluarga sang ibu tua. Tampaknya ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi penulis terhadap kedua tokoh/pejuang tersebut.
 
Dalam PULANG, FRS menyusun kumpulan cerita yang bisa berdiri sendiri maupun bersambungan (saling terhubung). Barangkali tidak mudah membuat cerita dengan struktur demikian. Dibutuhkan kejelian dan persiapan yang matang.
 
Kita patut mengapresiasi terbitnya buku ini. PULANG bisa menyegarkan hati yang haus akan kehangatan keluarga. Hanya saja, ada satu bagian yang menurut saya tidak terlalu relevan dengan tema besar PULANG, yaitu pada cerita “Sepasang Mata” (hal. 95). Apabila bagian ini dilepaskan, tidak akan berpengaruh terhadap konsistensi keseluruhan cerita.
 
Sampulnya cukup unik dengan kesan tiga dimensi. Menurut saya gambarnya cukup mewakili tema kesedihan (sisi kelam di bagian dalam) dan tema kebahagiaan (sisi terang di bagian luar). Apresiasi dari saya untuk Ran Vanray yang merancang gambar sampulnya. 
 
(Erna Manurung, Pendidik, Pemerhati Sosial)
 
Dimuat di Tabloid Solafide Edisi IV/2014

Kamis, 28 Agustus 2014

BUTIR-BUTIR HUJAN




















Sepertinya hujan memiliki sengat di setiap butirnya. Menusuk bagian terdalam di keheningan, lalu saya terdiam.


Saya mencoba mengenali apa saja yang membuat saya tiba-tiba terdiam dibenam hujan. Memunguti dan mengikatnya rintik demi rintik, lalu memasukkannya ke dalam halaman-halaman buku ini.

Kalau ada yang bertanya kepada saya, seperti apa bentuk sengat pada hujan, saya tak bisa menjawabnya. Tapi kalau boleh mengira-ngira, mungkin sengatnya itu seperti sehelai bulu mata di pipi yang jatuh oleh rindu.
 
Dan, kepada Anda semualah, Para Pembaca yang Budiman, Butir-Butir Hujan ini saya persembahkan.


Judul Buku: BUTIR-BUTIR HUJAN
Pengarang: Fidelis R. Situmorang
Cover: Dameria Damayanti
Penerbit Sinar David, Jakarta
Cetakan I Agustus 2014






Selasa, 24 Juni 2014

Mencari Makna Pulang


Sunu Purnama



Seorang teman dengan baik hati mengirimi saya sebuah buku novel berjudul "Pulang" buah karya Fidelis R. Situmorang. Pertama lihat desain cover depannya yang unik, yaitu sebagian sudut pintu rumah yang sedikit terbuka. Seperti menengok ke dalam sebuah misteri atau kegelapan yang tak terjelaskan.




Tanpa Pembuka maupun Pengantar

Pertama kali membuka buku novel ini saya mendapati sebuah sapaan langsung dari penulisnya, meskipun tidak pernah bertatap muka secara langsung,

"Dear Sunu Purnama,
Semoga selalu dipenuhi kebahagiaan.
Salam."

Sejenak, ya hanya sejenak saya merasakan ada senyum tersungging di bibir saya, ada luapan rasa senang, bercampur gembira serta berakhir bahagia, begitu saja. Untuk bahagia ternyata memang begitu sederhana ya teman!?

Kembali ke isi novelnya, saya pikir ada kata pengantar, sekapur sirih, ataupun sejenisnya, namun ternyata tidak ada. Kita langsung dibawa masuk ke dalam jalan cerita novel yang imajinatif, seperti kalau kita membaca Ernest Hemingway, Sidney Sheldon, meskipun terlihat sederhana namun seperti hidup dalam alam pikir pembaca. Saya seperti ditarik ke dunia lain, dunia warna-warni yang indah dan menawan, meskipun seringkali juga menawarkan getir disana.


Melihat Lewat Sisi Aku

Lewat judul-judul yang kelihatannya terpisah dan sepertinya berdiri sendiri-sendiri, Bang Fidelis berhasil merangkai sebuah tema kehidupan yang reflektif, tentang arti dan makna "Pulang".

Dengan tokoh sentralnya Nathan dan Martha, penulis mengembangkannya dengan sebuah saling keterkaitan yang kadang kala mengejutkan sekali, yang dijalin dengan bahasanya yang "mbois".

Menggunakan alur maju-mundur memang sering membingungkan dan perpindahan tokohnya dengan menggunakan bahasa "aku" seringkali membuat saya menjadi manusia yang sepertinya mempunyai kepribadian ganda. Namun setelah makin dalam membaca menjadi semakin jelas dan gamblang adanya sudut pandang-sudut pandang antar tokoh yang ada.


Sisipan Cerita Sejarah

Yang juga menarik membaca novel ini adalah kepintaran penulis untuk menyisipkan cerita sejarah. Meskipun agak sedikit lucu juga (menurut saya) namun paling tidak kita dapat mengenal tokoh sejarah itu dimana sang tokoh dipakai namanya sebagai nama sebuah jalan (misalnya). Ada dua tokoh sejarah yang biografi singkatnya muncul di sini yaitu (Hajjah Rangkayo) Rasuna Said dan Amir Syariffudin.


Ajakan Memaknai Pulang

Membaca buku " Pulang " yang diterbitkan oleh Sinar David ini, pembaca akan diajak untuk sejenak merenung tentang makna hidup, makna kepulangan.

Bagaimana Martha setelah menjalani operasi kanker payudara bertemu dengan ibu tua yang terbaring sebagai teman satu kamar yang menderita sakit komplikasi, yang harus pulang ke rumah Bapa di Surga sehari setelah Martha beranjak dari Rumah Sakit untuk pulang ke rumahnya.

Atau juga cerita tentang teman Nathan, bernama Patar, yang jarang pulang ke rumah orang tua setelah 3 tahun menikah untuk merayakan Natal dan Tahun Baru sebagai kebiasaan sebuah keluarga besar. Dan kemudian "dipaksa" pulang setelah ada kabar tentang ayahnya, yang dibencinya itu meninggal secara mendadak.

Membaca novel "Pulang" ini kita diajak untuk berkaca dan membaca hidup kita sendiri. Sebuah karya yang bagi saya menarik sekali untuk diselami seperti apa yang dikatakan oleh Romo Magnis (yang juga hanya mengutip dari kata-kata Socrates, Sang Filisof ) yang kata-katanya dikutip dalam cerita ini: "Hidup yang tidak direnungkan adalah hidup yang tidak layak dijalani."

Akhir kata, terima kasih kepada Bang Fidelis yang telah memperkaya kasanah kepustakaan Indonesia dengan novel-novelnya. Terus berkarya dan berkarya bagi perkembangan dan kemajuan dunia sastra Indonesia. Dan selamat membaca bagi para pecinta sastra dimanapun anda berada.

Salam Sastra.

Bukit Pelangi, Sabtu, 5 April 2014
Rahayu.

Ayah yang Mengantungi Batu

Jurnal Sastratuhan Hudan


fidelis r. situmorang Ayah yang Mengantungi Batu 13 Februari 2014 pukul 20:26


Sebuah bahasa seketika berubah saat ia membawakan kata "nak", sebagai penjelas, yang disapanya. Keadaan langsung kita bisa bayangkan dan "batu" itu yang membuat kata "nak" jadi terasa pahit. Pasti posisi seseorang, yang mengapung sebagai bahasa yang "pasrah" - ia tak marah, yang mungkin saja saat kemarahan itu salah diucapkan, bukan simpati yang datang malah pembacanya antipati. Dalam kesadaran kita, terasa bahwa diri kita pembaca tak disuguhi renungan dari hidup di luar yang telah amat berat.

Posisi bahasa ini, yang kita rasakan dari nada bahasa yang sedang bekerja lewat kata-nya, yang membuat rasa pahit itu kini hadir penuh kasih bagi pembacanya. Kita langsung berada, masuk ke dalam bahasa. Seolah-olah dia itu kita, seakan-akan nasib itu ikut kita rasakan. tepat pula kata "saku" dibawa masuk, bukan kata "kantung", yang menandakan, mungkin, orang yang tengah berjalan jauh.

Tapi saku, itu adalah saku di celana, dan waktu memang mengatakan bahasa ini, adalah perjalanan seorang ayah sehari-hari. apa anehnya ayah pergi dari dalam rumah, keluar rumah mencari untuk keluarganya. Pulang ke rumah lagi. Puisi tak begitu: ia tak mendetilkan kapan ia pergi dan kapan ia pulang. Kita pembacalah yang membayangkannya sendiri.

Tapi bahwa puisi mengumpan, lewat bahasanya yang terang, jelas dan sederhana, mengalirkan emosi dari kepayahan hidup ini. Bahasa ini membina, dengan sempurna, dirinya. Ia sebut "jalan", ia sebut "main-bermain", dan semua itu terhubung kepada kata "nak", "saku", serta "uang". Kita mula-mula mungkin merasa haru pada anak itu, lalu ikut merasakan pahit dan getirnya sang ayah yang sedang mengisahkan, hidupnya lewat puisi.

Begitulah bahasa itu, ia menghidupi dirinya lewat pembinaan isi. Bahwa ada nada yang kita rasakan dari isi. dan semua itu, melibatkan kata sebagai penyokong utamanya. Fidelis R. Situmorang, pembuat bahasa ini, memakaikan kata apa adanya saja. Ia tak berpretensi berindah-indah dengan merekayasa kata, tapi mengalirkan saja kata apa adanya. Tapi mengapa kata di sana, atau bahasa di puisi ini, jadi mempesona?

Dari sebuah rasa haru melihat hidup, mungkin saja kini keluar meletus kemarahan, yang diundangkan oleh bahasa, kepada keadaan, struktur yang membuat sang ayah bisa begitu. Nah kita telah dikawasan efek bahasa, kemarahan yang diletupkan oleh banyak orang kepada penguasa, kini dihimpun dalam bahasa dan apa yang terhimpun, tak suatu pun membawa tanda dari gerak manusia marah. Jadi keadaan itu, tertransendirkan sendiri justru oleh manusia yang bercerita sederhana saja atas hidupnya.


Ayah yang Mengantungi Batu
13 Februari 2014 pukul 20:26

tak ada uang dalam sakuku, nak
ini cuma batu-batu
kupunguti dari jalan
supaya kantongku tak kosong-kosong amat
ambilah barang satu atau dua
mungkin bisa kau pakai untuk bermain

kau tahu aku sangat menyayangimu, nak
tapi hari ini hanya batu-batu yang kudapatkan
Barangkali bisa kubuat jadi mobil-mobilan atau untukmu bermain dampu
ambilah barang satu atau dua 
semoga bisa kau pakai bermain

nak, ayah pulang mana senyummu?
berikan pada ayah barang satu atau dua

Batu di Saku Ayah

Jurnal Sastratuhan Hudan



fidelis r. situmorang
Ayah yang Mengantungi Batu
13 Februari 2014 pukul 20:26

tak ada uang dalam sakuku, nak
ini cuma batu-batu
kupunguti dari jalan
supaya kantongku tak kosong-kosong amat
ambilah barang satu atau dua
mungkin bisa kau pakai untuk bermain

kau tahu aku sangat menyayangimu, nak
tapi hari ini hanya batu-batu yang kudapatkan
Barangkali bisa kubuat jadi mobil-mobilan atau untukmu bermain dampu
ambilah barang satu atau dua
semoga bisa kau pakai bermain



Batu di saku ayah, terbetik begitu saja saat membaca puisi fidelis r. situmorang, bahasa yang membawakan perasaan romantik atas hidup. apakah puisi mesti berbahasa samar sehingga kita pembaca seakan menebak-nebak apa yang ada di balik dinding hidup? segalanya adalah relatif: puisi samar sama berharganya dengan puisi terang. atau baiklah kita katakan: masa depan itu, seakan puisi yang wajahnya remang-remang.

orang boleh menyentuhnya dengan memainkan bentuk keremangan pula, seperti saat kita menyentuhnya dengan kejelasan, bisa juga berharga, apa yang jelas itu. tapi bahasa yang terang segera mengantarkan kita ke balik isinya: keremangan hidup yang bernama nasib itu. jadi terbukti bahwa bukan soal samar atau terangnya ucapan dalam puisi, tapi bagaimana ia sebagai sebuah bentuk bahasa, sampai kepada kita pembaca puisi.

Telah lama kita tahu bahwa bahasa itu juga adalah bagian dari nasib. kehadirannya penuh misteri: kapan kita menulis itu atau mengapa kita menulis ini. upaya, itu bagian dari misteri bahasa. upaya yang mengandung banyak wajahnya, seperti upaya politik yang sedang kita hidupi saat ini, atau yang sedang menghidupi kita sebagai sebuah komunitas manusia yang disebut bangsa. apakah kita di masa depan, kelak akan mengalami nasib seperti puisi batu di saku ayah fidelis r situmorang? bahwa masing masing kita menjadi ayah atau ibu yang mengantungi batu di sakunya.

Orang boleh menebak-nebak lewat jiwa dan pikirannya, tapi nasib itu belum sampai. puisi fidelis ini bisa menjadi cara kita merenungi hidup bersama di/ke masa depan. bahwa di masa depan orang akan terus juga menggantungkan harapan kepada manusia yang akan menghela tiap hari hidup kita ini.

Kita menyebut mereka sebagai pemimpin dan memang, mereka yang akan memimpin hidup kita, agar terhindar dari gejala bahasa yang menjadi isyarat, sebuah tanda, yang dilepas oleh penyair - : agar hidup kita tak mengantungi batu, atau agar, seperti cerita lama yang pernah kita dengar: ibu tak menanak batu semata sebuah gerak pilu, agar anaknya diam, tak lagi menangis oleh ada kegiatannya, walau hanya gerak dari menanak batu.


Minggu, 01 Juni 2014

BESAME MUCHO, RIRI

Judul Buku : PEJATEN: Dekat di Hatimu
Penulis : Fidelis R. Situmorang
Cover  : Audy
Penerbit : Penerbit Sinar David
Genre : Novel
Jumlah Halaman : 124 halaman
Tahun Terbit : 1 Juni 2013







Bésame, bésame mucho
Como si fuera esta noche
La última vez


Bésame, bésame mucho
Que tengo miedo a perderte
Perderte después


Saya sudah suka lagu itu sejak pertama kali saya dengar dinyanyikan oleh Trio Los Panchos di tahun 70-an sampai dinyanyikan ulang oleh Andrea Bochelli di tahun 2000-an. Awalnya saya tidak mengerti, mengapa saya suka lagu itu. Lama-lama baru saya sadari, irama yang sangat membuai, mendayu-dayu tanpa kecengengan itu membuat saya menikmatinya.

Lalu, apa hubungannya dengan novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu”? Sangat dekat. Awalnya saya juga kurang mengerti alur cerita novel ini. Namun, terus terang saya langsung menikmati gaya penceritaannya. Akhirnya, saya malah jatuh hati dengan karya ke-empat dari penulis Fidelis R. Situmorang ini. Jika “Besame Mucho” membuai telinga saya, maka novel ini merangsek masuk ke hati saya lewat kata-katanya.

Seperti juga “Besame Mucho” tema novel “PEJATEN: Dekat di Hatimu” sebenarnya sangat umum. Cinta. Rain dan Riri saling mencintai. Sayang, keduanya tidak bisa saling memiliki. Pergulatan Rain dan Riri inilah yang diurai dalam duapuluh sembilan bab di novel ini. Penulis yang kurang terampil bisa dengan mudahnya terjebak pada klise semata. Untunglah itu tidak terjadi pada novel ini.

Puisi berjudul “Embun” di bagian awal langsung menghentak pembaca dengan kata-kata yang kuat dan dalam.

Embun luruh satu-satu
Di lelap mimpi daun-daun
Di suara hempasan taksi menutup pintu
Di temaram sinar lampu-lampu jalan yang diam melamun
Cinta macam apa yang seperti ini?
Yang tak bisa memiliki dirimu?
Yang mengendap-endap dan menyelinap seperti serangga malam?
Lalu berpisah saat embun-embun mulai jatuh?


Saya tercekat membacanya. Saya tak bisa menguraikan alasan logis mengapa. Di lain pihak saya juga tidak ingin imajinasi saya terganggu oleh logika. Saya hanya ingin menikmati. Itu saja. Seperti awalnya saya menikmati “Besame Mucho” tanpa tahu mengapa.

Cerita-cerita selanjutnya mengalir indah sekali, begitu merangsang imajinasi sekaligus begitu membumi. FRS sangat konsisten dengan kemampuannya mengolah kata. Dari kata-kata sederhana tercipta atmosfer yang lembut dan menyentuh. Lima buku FRS yang sudah saya baca, semuanya menawarkan konsistensi kualitas penulisan. Ini membuat saya tidak bosan membaca ulang buku FRS, bahkan menunggu-nunggu buku selanjutnya.

FRS juga sangat konsisten dengan gayanya: romantis, humoris, dan humanis. Jarang sekali saya menemukan penulis yang bisa meramu ketiga sisi ini dengan apik dan pas. Cerita “Mau Jadi Pemain Bola” adalah contohnya. Cerita ini lengkap memotret kemampuan FRS mengangkat sisi romantis sekaligus humanis, tanpa ada kesan salah satu hanya sebagai pelengkap bagi yang lain. Pembaca merasakan ketulusan FRS dalam bercerita. Ini penting, karena beberapa cerita romantis atau humanis tidak jarang jatuh pada cerita cengeng dan memuakkan.  Ketrampilan FRS inilah yang membuat saya betah menelusuri kisah cinta Rain dan Riri dari halaman pertama sampai halaman penghabisan.

Hanya saja, harus saya akui bahwa ada beberapa bagiannya yang membuat saya kurang mengerti. Kelegaan Pendeta Guntur setelah membaca surat putus dari Riri membuat saya bingung. Bukan, bukan karena posisinya sebagai pendeta. Sebagai seorang biasa pun hal ini tetap membingungkan saya. Okelah Riri diam-diam menjalin hubungan dengan Rain. Namun toh akhirnya ia mengakui dan menentukan pilihan.

Terus terang, pengungkapan bahwa Pendeta Guntur ternyata juga diam-diam menjalin hubungan dengan gadis lain dan bahkan menganggap itu adalah “doa yang terjawab” membuat saya terguncang.

Hal lain yang kurang saya mengerti adalah cover. Cover menampilkan seorang gadis manis tersenyum ceria sedang duduk di antara dua kursi. Kesan yang saya tangkap, novel ini akan berisi semacam chick-lit. Padahal isinya tidak persis seperti itu. Namun demikian, saya yakin, ini lebih karena kekurang pengatahuan saya tentang seni grafis.

Di luar itu semua, “PEJATEN: Dekat di Hatimu” adalah novel yang luar biasa nikmat. Membuat kita ingin dekat dengan orang yang kita kasihi. Sama seperti lagu “Besame Mucho” yang sangat dekat di hati saya.



Quiero tenerte muy cerca
Mirarme en tus ojos
Verte junto a mi
Piensa que tal ves mañana
Yo ya estaré lejos
Muy lejos de ti


***

Pekanbaru, 7 April 2014

Agnes Bemoe



Dimuat di Tabloid Solafide Edisi 03 Mei 2014

Resensi yang sama bisa dibaca di: http://www.agnesbemoe.blogspot.com/2014/04/book-through-my-eyes-btme-besame-mucho.html

Minggu, 16 Maret 2014

PULANG

Ayah juga yang mengajariku membuat pesawat terbang dari kertas. 

"Nanti kalau kamu jadi pilot, kamu akan bisa terbang seperti burung-burung di udara," kata ayah sambil menerbangkan pesawat kertas dengan tangannya. Tapi sejak duduk di SMP aku sudah bercita-cita jadi duta besar. Pesawat kertas yang diterbangkan ayah dengan tangannya melayang tinggi dan tersangkut di atas pohon jambu di halaman depan rumah. Ayah tertawa.

"Hidup memang tak selalu seperti yang kita inginkan," katanya, lalu membuatkan lagi beberapa pesawat kertas untukku.

 

PULANG

Fidelis R. Situmorang
Cover: Ray Vanray
vi + 110 hlm, 13 x 19 cm
Penerbit Sinar David, 2014
ISBN: 978-602-98618-5-3



Foto Buku: Tari Siregar 

Rabu, 19 Februari 2014

Hujan Jatuh di Halaman

pagi datang membawa dingin
dadaku terasa sesak
entah karena terlalu banyak merokok
atau karena kangen kamu

hujan jatuh di halaman


***


"Bagus banget! Kamu beli di mana?"

"Di Lembang. Kemarin main ke sana sama temen-temen."

"Kok nggak ngajak-ngajak?" katamu tersenyum menggodaku, lalu menggerakkan kedua tanganmu ke arah belakang kepalamu, melepaskan penjepit rambut yang tengah kau kenakan dan menggantinya dengan penjepit rambut pemberianku.

"Itu mendadak. Aku juga diajak," jawabku bingung, tak menyangka menerima pertanyaan seperti itu darimu.

Kau tersenyum lagi, lalu membalikkan tubuhmu, memperlihatkan penjepit rambut yang tersemat di indah harum rambutmu.

"Bagus nggak?"

"Bagus!" jawabku senang melihat sesuatu yang berasal dariku terpajang indah di dirimu.

Kau membalikkan lagi tubuhmu menghadap ke arahku. "Terima kasih ya..." ucapmu senang.

Aku mengangguk.


Kupandangi lagi benda itu. Penjepit rambut yang telah lama tergeletak di atas meja, di dekat tumpukan buku, di antara cangkir kopi dan asbak rokok. Entah karena tertinggal atau memang sengaja kau tinggalkan.

Hujan semakin deras jatuh di halaman.


***


"Kamu tuh terlalu banyak merokok. Lihat tuh, kuku sama jari-jari kamu aja kelihatan sampe kuning gitu. Gigi kamu juga jadi kelihatan item."

"Iya..."

"Iya iya melulu..."

"Abis aku harus bilang apa dong?"

"Tau ahh..."

Kau memasang wajah perang, tapi tetap saja cantik.

"Jangan suka marah. Nanti cepet tua," kataku.

"Biarin!"

Marahmu itu ya, ternyata bisa juga menumbuhkan rindu.

"Mau kopi?" tanyamu saat marahmu reda.

"Mau mau..." sambutku cepat.

"Bikin sendiri!"

"Yahhh..." sahutku lemas

Kau tertawa lepas lalu membuatkan secangkir kopi untukku.

"Enak kopinya?"

"Enak banget!" jawabku.

"Kurangi merokoknya ya..." katamu lagi, kembali mengajak perang. Tapi dengan usapan lembut jemarimu di kepalaku.


Ternyata ya, kau bukan cuma pintar bikin kopi, tapi pintar juga bikin rindu.


Kunyalakan rokok sambil memandangi hujan yang tak berhenti berjatuhan di halaman.

Dadaku makin sesak.


***


Hujan jatuh di halaman
Avenged Sevenfold melantunkan lagu rindu di cd player
Kureguk kopi yang mulai terasa dingin
Ajaib, ada harum rambutmu di cangkir kopi

Di halaman, hujan sepertinya enggan berhenti
Menjatuhkan rindu, menjatuhkan kenangan
Suara di setiap jatuhnya itu, rintih hujankah atau rintih hatiku?
Entahlah

Kumatikan rokok di asbak
Dada ini tak lagi sesak
Sudah hancur dipecahkan rindu