Senin, 10 Juli 2017

Pejaten

tersesat aku
di alis manis itu
keindahan yang sabar menunggu
di dekat rindu matamu

tersesat aku
di alis manis itu
yang membawaku masuk menuju
ke sejuta mimpi di matamu

Minggu, 09 Juli 2017

Ririn

Namanya Ririn. Kulitnya putih bersih. Rambutnya yang hitam kemilau jatuh indah tergerai di bahunya. Mengenakan kacamata, cantik sekali. Dia adalah warga baru di lingkungan tempat tinggal kami. Pertama kali melihatnya, saya langsung menyukainya.

Dia bersekolah di SMA 14 Cililitan, saya di SMA 42 Halim. Itu artinya jika berangkat ke sekolah, ia berjalan menuju ke arah barat, saya  ke arah sebaliknya, ke timur. Tetapi, karena saya ingin bisa dekat dengannya, saya kemudian berjalan menuju ke arah barat mengikutinya.

Pagi hari, saya mandi lebih serius, menyisir rambut lebih serius dan tentunya tidak lupa memakai bedak MBK. Juga dengan serius. Kemudian, pada waktu jam berangkat sekolah, saya menunggunya di jalan depan rumah. Begitu ia terlihat, saya segera mengejarnya dan berjalan di sampingnya. Dia kaget melihat saya. Saya juga jadi kaget melihat wajahnya yang kaget melihat wajah saya.

Dia kemudian mempercepat langkahnya. Saya juga ikut ‘over gigi’, menyamakan kecepatanya berjalan. Lalu saya menyapanya dan bersikap sok kenal sok dekat. Dia diam. Lantas saya berbicara sendiri tidak karuan menahan debar jantung saya karena salah tingkah. Saya bicara terus, yang penting terlihat orang, kami sudah seperti teman yang sudah akrab.

Setelah sekitar 15 menit perjalanan, sesampai di jembatan Mayasari, dia kemudian menyeberang jalan, karena letak sekolahnya memang berada di seberang jalan.

“Sampai besok ya…” kata saya kepadanya. Dia tak menjawab. Saya meneruskan berjalan kaki menuju terminal Cililitan dan kemudian menumpang Trans Halim menuju sekolah. Hari itu saya terlambat masuk ke sekolah.

Keesokan harinya, diiringi kicauan suara burung nan merdu, saya kembali menunggunya di jalan depan rumah. Dia tidak lagi kaget melihat wajah saya seperti kemarin. Tetapi wajahnya nampak sebal, tetap diam dan tetap cantik. Saya masih tetap sok akrab menyapanya dan mengajaknya berbincang-bincang kecil. Dia masih tetap diam.

Di Jembatan Mayasari, kami kembali berpisah. Dia menyeberang jalan dan saya berjalan lurus menuju terminal Cililitan.

“Sampai besok ya…” kata saya. Dia tak menjawab. Hari itu saya terlambat lagi sampai di sekolah.

Keesokan harinya lagi, seperti biasa, saya kembali menantikannya di jalan depan rumah. Agak lama juga sosok cantiknya tak muncul. Setelah sepuluh menit lagi menunggu, dia akhirnya terlihat juga. Tetapi tidak sendiri, dia dibonceng naik motor oleh Ayahnya. Gaswat! Berseragam loreng pula! Saya sembunyi di balik pohon. Burung-burung yang tadinya asyik berkicau berhamburan mencari pohon lain. Saya lihat dia sempat menengok ke arah tempat saya biasa menantikannya. Ah, Ririn, cantik sekali caramu memandang. Rambutnya melambai dimainkan angin.

Hari itu saya tidak berjalan ke arah barat tapi ke timur dan tidak terlambat tiba di sekolah. Tetapi, hari itu otak saya agak lambat menangkap pelajaran.

Malam harinya saya menulis satu surat cinta untuknya. Di atas kertas warna biru muda bergambar hati dan tentu saja wangi. Beberapa kertas yang manis jadi korban dan masuk ke keranjang sampah, sampai akhirnya saya merasa bahwa isi surat saya benar-banar mantap. Tak lupa saya selipkan sebagian syair lagu Iwan Fals yang sering membuat saya teringat dirinya.

Buat apa kau diam saja
Bicaralah agar aku semakin tahu
Warna dirimu duhai permata

Kau mimpiku aku tak bohong
Seperti yang kau kira seperti yang selalu kau duga
Pintaku kau percayalah
Usah ragu

Lalu saya cium surat itu sebelum masuk ke dalam amplop. Kemudian saya titipkan surat cinta untuknya itu kepada kerabatnya yang kebetulan adalah tetangga kami.

Hari demi hari surat cinta saya tak mendapatkan jawaban. Minggu demi minggu hati saya gelisah menantikan jawaban darinya. Sebulan dua bulan saya tetap setia menantikan jawabannya. Akhirnya sampai si cantik Ririn sudah pindah rumah lagi karena harus mengikuti Ayahnya yang bekerja sebagai abdi negara.

Sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun, saya tak pernah menerima jawaban dari Ririn. Saya jadi curiga, jangan-jangan surat saya tak pernah sampai ke tangan pujaan hati saya itu. Jangan-jangan kerabatnya itu juga naksir Ririn.

Rin… rindu yang memenuhi dadaku malam ini, berhasilkah menjatuhkan sehelai saja bulu matamu?

Minggu, 02 Juli 2017

Juli

"Pasti sakit sekali rasanya ya..." katanya memandang gores-gores luka pada batang pohon yang tengah kutuliskan kata cinta untuknya.

"Apa cinta juga bisa melukai?" tanyanya lembut. Aku diam menyembunyikan keterkejutanku mendengar pertanyaannya.

"Love you too, dear... Love you more..." ucapnya lembut sambil mencium pipiku setelah membaca goresan yang membentuk kalimat I love you, Juli  pada batang pohon itu.

"Menurutmu, apa cinta bisa melukai?" balik aku bertanya kepadanya.

"Aku tidak tahu... Aku tidak mau..." jawabnya.

"Aku juga..."

"Tapi seandainya ternyata cinta bisa melukai? tanyaku lagi kepadanya

"Aku tidak tahu..." jawabnya pelan, lalu memeluk erat tubuhku.

Pelan kucium keningnya. Dan kami pun terdiam, hanyut dalam hangat pelukan penuh cinta sambil memandang luka pada pohon yang perlahan mulai mengering, yang ia sendiri tak tahu mengapa harus menerimanya.