tag:blogger.com,1999:blog-22452578499418042952024-03-13T10:00:25.310-07:00Repihan HidupFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.comBlogger100125tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-27781527532330509972021-02-25T10:17:00.000-08:002021-02-25T10:17:56.427-08:00Di Muka Gereja<p>Ada penyair masuk gereja</p><p>Setelah bertahun-tahun hanya lewat</p><p>Tumben, kata seorang teman</p><p>Si penyair nyengir kuda</p><p><br /></p><p>Pasti mau minta sesuatu sama Tuhan, </p><p>kata temannya</p><p>Si penyair mengangguk </p><p>Lalu masuk ke dalam hening</p><p><br /></p><p>Minta apa tadi sama Tuhan? </p><p>tanya temannya, setelah selesai ibadah</p><p>Minta kesembuhan, jawab si penyair</p><p>Kau sakit? </p><p>si penyair mengangguk</p><p>kenapa tak ke dokter? </p><p>Sudah. Tapi dokter sepertinya terlalu sibuk</p><p>Sibuk apa? </p><p>Sibuk menyembuhkan orang-orang</p><p><br /></p><p>Kau sendiri, minta apa pada Tuhan? </p><p>Si penyair balik bertanya</p><p>Temannya nyengir, garuk-garuk kepala</p><p>Si penyair ikut nyengir</p><p>lalu berkata: Jadilah kepadamu menurut imanmu</p><p>Temannya mengagguk, mengucap kata amin</p><p>Si penyair lalu pamit</p><p><br /></p><p>Langit suram</p><p>Di warung di muka gereja, dua orang anak kecil sedang asik makan coklat sambil bernyanyi:</p><p>Ku 'kan berdiri di tengah badai</p><p>Dengan kekuatan yang Kau berikan</p><p>Sampai kapan pun</p><p>Ku 'kan bertahan....</p><p><br /></p><p>Teman si penyair termenung </p><p>Mengingat mimpi yang tak kunjung nyata</p><p>Padahal ia rajin ke gereja dan berdoa</p><p>Teh botol satu, Bu, pintanya kepada pemilik warung</p><p>Ia tenangkan gelisah hatinya dengan teh dingin</p><p>Manis seperti kasih Tuhan, </p><p>katanya kepada ibu warung</p><p>Ibu warung tertawa</p><p><br /></p><p>Hujan rintik-rintik </p><p>Anak-anak kecil yang tadi bernyanyi di muka warung</p><p>berlarian masuk ke halaman gereja</p><p>Teman si penyair masih duduk termenung</p><p>Mengingat mimpi yang tak juga nyata</p><p>Mungkin enak hidup seperti si penyair</p><p>ucapnya dalam hati</p><p>Datang kepada Tuhan hanya di saat butuh</p><p><br /></p><p>Gak pulang bareng si penyair? </p><p>tanya ibu warung </p><p>Enggak, Bu. Si penyair buru-buru</p><p>Tumben dia masuk gereja?</p><p>Dia lagi sakit, Bu</p><p>Oh... Dia datang ke tempat yang benar</p><p>Tempat orang sakit adalah rumah sakit, kata teman si penyair </p><p>Tapi rumah sakit terlalu sibuk, </p><p>sahut ibu warung</p><p>Sibuk apa? </p><p>Sibuk menyembuhkan orang-orang </p><p><br /></p><p>Hujan rintik-rintik</p><p>Teman si penyair memandangi langit kelabu</p><p>Apa Tuhan tak pernah sibuk? </p><p>Dia selalu punya waktu, jawab ibu warung</p><p>Kita yang selalu ingin buru-buru </p><p>Teman si penyair terdiam</p><p>Mengingat mimpinya </p><p>yang tak kunjung nyata</p>Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-15752947973715590962019-08-02T12:22:00.000-07:002019-08-02T12:22:14.844-07:00seperti ada suaramuangin berembus pelan<br />
seperti ada suaramu<br />
di antara resah angin<br />
sehelai daun jatuh di kakiku<br />
<br />
Rambutnya udah kepanjangan, tuh!<br />
Aku nyengir memberi alasan<br />
Telat mulu jemputnya sih?<br />
Aku nyengir mencari alasan<br />
Merokok melulu sih...<br />
Aku diam. Lalu nyengir<br />
Dibilangin malah nyengir! katamu cemberut<br />
Cerewet, kataku dalam hati<br />
Lalu kuajak kau berjalan-jalan memutari taman. Apa kau tahu bagaimana rasanya jadi pohon? tanyaku<br />
Kau tertawa lalu memukulku pelan. Ada-ada aja kamu, katamu di antara derai tawa. Kurangin merokoknya ya, katamu lagi<br />
Kepalaku jadi pusing. Bukannya mesra-mesraan, tapi malah sering ribut. Untuk hal-hal yang tak penting.<br />
Aku penasaran, bagaimana rasanya jadi pohon, kataku lagi<br />
Dasar sinting! katamu kembali tertawa<br />
<br />
angin berembus pelan<br />
seperti ada suaramu<br />
di antara desah angin<br />
Sehelai daun jatuh lagi di kakiku<br />
<br />
*****<br />
<br />
Bagaimana? Kamu sudah tahu bagaimana kira-kira rasanya jadi pohon?<br />
<br />
Aku menggeleng pelan, tersenyum menatap matamu<br />
<br />
Lihat! katamu, menunjuk ke arah sehelai daun yang melayang jatuh. Bagaimana itu rasanya ya? katamu lagi<br />
<br />
Kita berdua terdiam seperti terkena sihir daun jatuh<br />
<br />
Angin berembus pelan, menyeret daun yang baru saja jatuh di aspal<br />
<br />
Hmm...<br />
<br />
Kau mengelus-elus lembut kepalaku dan menatap kedua mataku<br />
<br />
Kenapa? tanyaku<br />
<br />
Enggak apa-apa, jawabmu tersenyum. Kupikir kamu sudah tahu bagaimana rasanya jadi pohon, katamu sambil melepaskan tanganmu dari kepalaku<br />
<br />
Aku tertawa, lalu menarik pelan tanganmu, meletakkan kembali ke atas kepalaku. Kupandu jari jemarimu yang halus itu mengelus-elus kepalaku<br />
<br />
Dasar pohon manja! katamu setengah tertawa<br />
<br />
Kalau kamu, apa kamu pernah ingin jadi sesuatu yang lain? tanyaku kepadamu<br />
<br />
Kau mengangguk<br />
<br />
Ingin jadi apa?<br />
<br />
Aku ingin menjadi matamu<br />
<br />
Ahahaha... Kenapa?<br />
<br />
Supaya aku bisa melihat apa yang kamu lihat<br />
<br />
Uhuk uhuk uhuk<br />
<br />
Tuh kan batuk-batuk lagi. Makanya jangan merokok terus!.Kaulepaskan tanganmu dari kepalaku<br />
<br />
Sinar mentari senja mendadak jadi terasa panas<br />
<br />
Lalu kita berdua hanya terdiam memandangi daun-daun jatuh<br />
<br />
Aku tak ingin jadi pohon, kataku memecah kesunyian<br />
<br />
Supaya aku tak bisa menjadi matamu?<br />
<br />
Sunyi kembali menyergap<br />
<br />
Rokok rokok rokok, tiba-tiba terdengar suara pedagang rokok asongan memecah kesunyian<br />
<br />
Sialan, kataku dalam hati. Enggak, Pak, kataku melambaikan tangan ke pedagang rokok<br />
<br />
Suasana menjadi hening kembali<br />
<br />
Tiba-tiba kau tertawa. Aku bingung, tetapi juga ikut tertawa. Aku selalu senang mendengar tawamu yang berderai-derai itu<br />
<br />
*****<br />
<br />
bodoh kan?<br />
lagi-lagi aku datang ke sini<br />
duduk di tempat yang sama<br />
hanya melihat daun-daun jatuh<br />
<br />
Hidup ini sekedar mampir lihat-lihat, katamu waktu itu. Apa yang kita lakukan hanya untuk melihat-lihat. Kita ke taman, ke gunung, ke kota orang, keliling dunia... berbaris dalam antrean, menyiapkan segala hal, menyisihkan waktu dan uang, akhirnya hanya untuk melihat-lihat.<br />
Hmm<br />
Begitu kan?<br />
Hmm<br />
Apa arti hmm-mu itu?<br />
Aku menyimak, jawabku cepat<br />
Hmm<br />
Sekarang kamu yang hmm<br />
Ketularan kamu<br />
<br />
bodoh kan?<br />
lagi-lagi aku datang ke sini<br />
duduk di tempat yang sama<br />
padahal tak ada dirimu di sini<br />
<br />
Ingat waktu ke sea world kemarin? tanyamu waktu itu<br />
Aku mengangguk<br />
Kita ngapain? Cuma lihat-lihat ikan 'kan?<br />
Iya, jawabku<br />
Dan kamu terlambat menjemputku<br />
Mulai lagi deh, kataku dalam hati<br />
Kenapa sih kamu selalu telat setiap kita janjian?<br />
Macet, jawabku seperti biasanya<br />
Kenapa macet terus sih? Memang ada apa di jalan? Kamu lihat-lihat apa? Liatin cewek ya?<br />
Kutatap wajahnya. Alisnya, matanya, hidungnya, mulutnya. Entah kenapa<br />
mulutnya jadi terlihat seperti mulut ikan. Tak berhenti bergerak<br />
Kok malah lihatin bibirku?<br />
Pengen kucium, jawabku pelan<br />
Supaya aku diam?<br />
<br />
bodoh kan?<br />
lagi-lagi aku datang ke sini<br />
duduk di tempat yang sama<br />
tertawa sendiri<br />
mengingat tengkar-tengkar kecil kita<br />
<br />
Sehelai daun jatuh di pundakmu. Kuraih dan kutunjukkan padamu<br />
Mana yang lebih sedih? tanyaku waktu itu<br />
Daun yang terlepas dari pohonnya, atau pohon yang melepaskan daunnya?<br />
Bibirmu terlihat manis menahan tawa<br />
Mana aku tahu, jawabmu. Kan kamu yang ingin jadi pohon?<br />
Aku tertawa, merasa bodoh sendiri<br />
Kalau menurut kamu? Kau balik bertanya<br />
Aku juga tak tahu, jawabku<br />
Kulepaskan daun itu. Jatuh untuk kedua kalinya. Ke tanah<br />
<br />
bodoh kan?<br />
lagi-lagi aku datang ke sini<br />
duduk di tempat yang sama<br />
melihat daun-daun jatuh<br />
padahal tak ada dirimu di sini<br />
<br />
Mana lebih sedih, tanyaku kepada sehelai daun jatuh. Dirimu atau pohon itu?<br />
Mana lebih sedih, kata daun itu balik bertanya kepadaku, dirimu atau kekasihmu itu, saat kalian saling melepaskan?<br />
<br />
bodoh kan?<br />
lagi-lagi aku datang ke sini<br />
duduk di tempat yang sama<br />
bertanya kepada sehelai daun jatuh<br />
<br />
angin berembus pelan<br />
seperti ada suaramu<br />
di antara resah anginFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-62612190620223014002019-07-30T04:26:00.001-07:002019-07-30T04:26:56.644-07:00Kuda Lumping Baca Puisiada kuda lumping baca puisi<br />
kata-katanya tajam seperti beling<br />
penonton kecewa<br />
mereka tak ingin puisi<br />
mereka hanya ingin lihat<br />
kuda lumping makan beling<br />
<br />
ayo makan beling! teriak seorang penonton<br />
iya. ayo makan beling! sahut yang lain<br />
<br />
tapi si kuda lumping tetap baca puisi<br />
penonton mulai dongkol<br />
kuda lumping dilempari sendal dan botol<br />
kuda lumping ngeles sambil senyum-senyum<br />
penonton gusar<br />
melihat kuda lumping jaman now<br />
bukannya makan beling<br />
malah baca puisi<br />
<br />
ayo kita bubar! teriak seorang penonton<br />
iya. ayo kita bubar! teriak yang lain<br />
kuda lumping tak peduli<br />
ia tetap baca puisi<br />
penonton bubar sambil bersungut-sungut<br />
seorang penonton mendekat ke kuda lumping<br />
sambil nyengir kuda, ia pungut sendal yang tadi dilemparnya<br />
memakainya, lalu buru-buru pergi<br />
<br />
di sebuah warung dekat lapangan<br />
seorang penyair sedang asik ngopi sambil makan beling<br />
ibu pemilik warung pingsan<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-70446727071322294822018-11-19T11:02:00.000-08:002018-11-19T11:02:15.462-08:00Tersesat dan Berlupa Usai mengajar, saya tersesat di PGC. Makin tersesat setelah keliling-keliling, lihat ini itu. Di salah satu sudut lantai 3 saya melihat sebuah toko besar. Saya heran, biasanya di PGC toko-toko yang besar adalah tempat-tempat makan keluarga. Saya berjalan mendekat ke arah toko. Seorang pramuniaga menyapa saya ramah. Saya tersenyum, menganggukkan kepala.<br />
<br />
Tulisan "Selma" yang terpampang di muka toko memberi imajinasi tentang perempuan cantik dari Timur Tengah. Ingatan saya sampai kepada Selma Karamy dalam buku Sayap- Sayap Patah, Khalil Gibran. Perempuan yang pernah memenuhi hati Gibran dengan segala cinta.<br />
<br />
Saya berkeliling melihat produk-produk yang dipajang. Pramuniaga yang tadi menyapa saya di pintu masuk, menghampiri saya dan menjelaskan setiap detil dari produk yang saya sentuh.<br />
<br />
Kok barang-barangnya mirip barang Informa dan Ace Hardware, Mas? tanya saya.<br />
<br />
Iya, Pak. Kita dengan Informa sama, Pak.<br />
<br />
Dengan Ace Hardware juga?<br />
<br />
Iya, Pak.<br />
<br />
Oh, Kawan Lama ya...<br />
<br />
Dia mengangguk.<br />
<br />
Jual tools juga?<br />
<br />
Saat ini belum, Pak, jawabnya.<br />
<br />
Ditemaninya berkeliling, kemudian saya membeli beberapa barang yang tidak saya benar-benar butuhkan Ahahaha... Maksud saya, tadinya saya tak tahu bahwa saya perlu barang itu, tapi kemudian pramuniaga yang ramah itu berhasil membuat saya mengenal nilai lebih produk-produk yang ditawarkan dan membuat saya kemudian menyukai dan membelinya. Kadang kita membeli bukan karena benar-benar butuh, kan? Tetapi ada banyak alasan lain mengapa kemudian kita memutuskan untuk membeli sesuatu.<br />
<br />
Waktunya ngopi! kata saya dalam hati, setelah selesai membayar di kasir. Saya turun ke lantai dasar mencari kedai kopi. Saya lupa menanyakan nama pramuniaga keren itu. Besok-besok saya akan kembali lagi dan menanyakan namanya, lalu mengucapkan terima kasih dengan menyebutkan namanya. Orang bijak pernah berkata, suara yang paling indah didengar adalah bunyi suara ketika nama kita disebut. Setiap keramahan memang selalu saja mampu mengajak kita kembali.<br />
<br />
<br />
Mentari terbenam di balik gedung tinggi. Kopi panas tersaji di hadapan saya. Saya buka showcase cooler kedai kopi, mencari air mineral sambil menunggu kopi bisa dinikmati. Ketika saya menutup showcase cooler, saya baru ngeh bahwa di bagian kanan depan kedai kopi ada booth es krim Campina. Ada suatu perasaan hangat yang tiba-tiba melesat keluar. Kenangan masa kecil melompat-lompat di udara. Mulut saya secara otomatis menyanyikan satu lirik lagu. Add something nice... Add a special moment to everyday.<br />
<br />
Ah, Masa Kecil... kata saya dalam hati lalu berjalan ke arah booth es krim Campina dan memesan satu cup rasa coklat, membeli kenangan masa kecil. Lalu saya duduk dan merayakan masa kecil seorang diri. <br />
<br />
Add a special moment right now. Add something nice, add a special moment to everyday...<br />
<br />
Saya menikmati es krim seperti seorang anak kecil. Seperti apa yang ditulis Hartojo Andangdjaja dalam sebuah puisi:<br />
<br />
Apa salahnya, sesekali kita berlupa<br />
sesekali kita kembali jadi bocah manja<br />
tidak tahu bencana yang bakal tiba<br />
tidak sempat berpikir tentang dosa<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-55166255432991409562018-06-03T00:20:00.000-07:002018-06-03T00:20:05.506-07:00Tak Ada Hujan di Bulan JuniTak ada hujan di Bulan Juni. Cuma daun-daun jatuh. Aku ingin mencium bibirmu, kataku. Jangan, katamu. Aku diam. Kau juga diam.<br />
<br />
Aku benci bibirku yang selalu menginginkan bibirmu. Apa memang begitu bibir orang yang sedang jatuh cinta? Tapi kenapa bibirmu tak menginginkan bibirku?<br />
<br />
Langit Juni bersinar terang dipenuhi bintang. Angin berhembus pelan di sela-sela harum rambutmu. Jari-jariku masuk menyelinap ke jemarimu. Kucium pipimu.<br />
<br />
Tak ada hujan di Bulan Juni, hanya daun-daun jatuh ditiup angin. Kauremas lembut jemariku, dan kulihat matamu terpejam.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-75077343167607439762018-01-09T05:29:00.000-08:002018-01-09T05:29:27.482-08:00Presiden Datang dan PergiPresiden datang dan pergi silih berganti. Paling lama dua periode. Demikian juga gubernur. Tetapi anak-anak harus tetap sekolah. Tagihan-tagihan harus tetap dibayar, kebutuhan hidup harus tetap terpenuhi.<br />
<br />
Pergantian kekuasaan sebagaimana telah diatur oleh konstitusi, seharusnya bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya, bukan malah membuat rakyat terpecah-belah, membuat rakyat saling menyimpan benci karena perbedaan. Apalagi anak-anak harus tetap sekolah, tagihan-tagihan harus tetap dibayar, kebutuhan hidup harus tetap terpenuhi.<br />
<br />
Setiap warga negara berhak jadi pemimpin. Ingatlah, bahwa apa yang menjadikan Douwes Dekker, Shihab, Tan, De Fretes, Panjaitan, Robert, Hasan, Lalu, Made, Udin, Otong Indonesia adalah konstitusi. Sekelompok orang tak menjadi lebih Indonesia dari yang lainnya karena sukunya, karena agamanya, karena pakaiannya. Semuanya setara. Sama! Dan anak-anak harus tetap sekolah, tagihan-tagihan harus tetap dibayar, kebutuhan hidup harus tetap terpenuhi.<br />
<br />
Pemimpin-pemimpin datang dan pergi silih berganti, tetapi Indonesia harus tetap ada. Dan selama Indonesia ada, anak-anak harus tetap sekolah, tagihan-tagihan harus tetap dibayar, kebutuhan hidup harus tetap terpenuhi.<br />
<br />
<br />
Lo lagi ngapain, Bro? tanya saya heran melihat seorang teman yang sedang bersemangat bicara sendiri di pinggir empang.<br />
<br />
Eh, elo, Bray, katanya sambil nyengir. Ini, Bray... Gua lagi latihan ngemeng. Kayaknya enak jadi politikus. Apa-apa aja disediain sama negara. Orang-orang pada hormat sama kita.<br />
<br />
Oh gitu. Dari tadi elo latihannya?<br />
<br />
Lumayanlah, ada satu jam lebih. Haus juga jadinya nih. Ngopi kita?<br />
<br />
Yuuuk, sahut saya. Eh, kalo elo nanti udah jadi, jangan lupa gua ya, Bro...<br />
<br />
Tenang aja, Bray. Temen itu selamanya temen. Nanti elo yang pertama gua kasih proyek.<br />
<br />
Asiiiiikkkk... Bener ya? Gua pegang omongan lo!<br />
<br />
Kapan sih gua bohong sama elo? jawabnya.<br />
<br />
Kemaren! sahut saya cepat.<br />
<br />
Dia garuk-garuk kepala lalu tertawa. Saya ikut tertawa melihat wajahnya yang lucu. Dia lalu merangkul saya. Tapi nanti kalo gua udah jadi, gua gak bakalan bohong lagi deh sama elo, katanya. Dasar pembohong, kata saya dalam hati. Kami berdua tertawa, berangkulan menuju warung kopi, tempat rakyat jelata menghibur diri.<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-80251737863077841902017-12-24T21:36:00.000-08:002017-12-24T21:36:12.313-08:00Sepatu Lelaki itu merasa geli sendiri memandangi sepatu kesayangannya yang terlihat seperti sedang tersenyum.<br />
<br />
"Malam Natal akan tiba dalam beberapa jam lagi. Tidak baik sepatu ini nanti senyum-senyum sendiri di dalam gereja. Apa lagi kalau sampai mangap. Tidak boleh!" katanya dalam hati.<br />
<br />
Juru selamat sepatu adalah tukang reparasi sepatu. Segera ia berangkat dengan misi penyelamatan.<br />
<br />
"Wah, banyak pasiennya ya, Pak?" sapanya kepada bapak tua tukang sol sepatu sambil menyerahkan sepatunya.<br />
<br />
"Lumayan, Mas... Rejeki mah ada aja."<br />
<br />
"Tolong yang rapi ya, Pak, saya mau pakai untuk natalan."<br />
<br />
Bapak tua tukang sol sepatu itu menganggukkan kepala sambil memperhatikan senyum pada sepatu yang kini ada di tangannya.<br />
<br />
"Tak ada yang lebih tabah daripada sepatu," kata Bapak tua itu sambil menjahit sepatu yang berserah penuh kepadanya.<br />
<br />
"Lho... Itu mirip sajaknya Sapardi... Bapak suka puisi juga?"<br />
<br />
"Iya, Mas. Kadang-kadang saya juga bikin puisi. Tapi mana ada yang mau mendengar atau membaca puisi tukang sol sepatu seperti saya."<br />
<br />
"Kirim ke koran aja, Pak..."<br />
<br />
"Malu ah, Mas... Nanti dikira orang saya ini penyair. Padahal cuma tukang sol sepatu."<br />
<br />
Lelaki pemilik sepatu hanya tersenyum mendengar jawaban bapak tua itu.<br />
<br />
"Beres!" kata bapak tua itu setelah menyelesaikan tugasnya. "Semoga awet ya... Oh, iya, selamat Natal ya, Mas..."<br />
<br />
"Terima kasih. Bapak Natalan juga?"<br />
<br />
"Nggak, Mas. Saya agnostik."<br />
<br />
"Busyet..." kata Si Pemilik sepatu dalam hati sambil tersenyum. Kali ini sambil menggaruk kepalanya.<br />
<br />
"Semoga Natalannya meriah ya, Mas Penyair," kata bapak tua itu sekali lagi<br />
<br />
"Makasih ya, Pak... Tapi saya bukan penyair, lho... Saya penginjil."<br />
<br />
"Iya, saya kira juga begitu. Tampak jelas dari bentuk sepatunya."<br />
<br />
"Hahaha..." Si pemilik sepatu hanya tertawa sambil memandangi hak sepatunya yang telah menipis pada sisi luarnya.<br />
<br />
Mengucapkan terima kasih sekali lagi, lelaki itu mohon diri kepada bapak tua tukang sol sepatu.<br />
<br />
Malam Natal tiba dengan segala kelembutannya serupa wajah bayi. Bintang-bintang berkerlap-kerlip gembira dalam rangkaian indah menyerupai gambar sepasang sepatu.<br />
<br />
Lelaki itu memasuki gereja dengan senyum riang. Seperti senyum seorang anak kecil yang bahagia mendapatkan sepatu baru di Hari Natal.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-13419170756917769982017-12-21T15:43:00.000-08:002017-12-21T15:43:17.530-08:00Untuk BastianBastian sayang, sudah lama sekali aku ingin menulis satu puisi untukmu, tapi selalu saja aku gagal menuliskannya.<br />
<br />
Lebih dari setahun sejak kehadiranmu ke dunia ini, belum juga terangkai kata-kata terbaik untuk dirimu. Ternyata menulis puisi itu bukanlah hal gampang seperti yang sering dikatakan tukik-tukik itu. Hahaha…<br />
<br />
Kutulis catatan ini, Bastian, setelah baru saja kau tertidur di pundakku. Ketika badanmu hangat karena gigimu akan bertambah lagi.<br />
<br />
Kepalamu yang mungil kaubenamkan di pundakku, seakan ingin meletakkan semua rasa sakitmu di situ. Air mata dan liurmu menyatu, membentuk sungai kecil yang mengalir di punggungku, mengadu kepada daging dari mana kau berasal. Kunyanyikan lagu Madekdek ma Gambiri da Bastian untukmu.<br />
<br />
Bastian, minggu terakhir di bulan Juni itu, tangisan pertamamu begitu kuat menembus dinding dan kaca-kaca ruang persalinan. Jam sembilan malam waktu itu. Aku tertawa mendengar tangisanmu yang keras itu. Kau pasti keras kepala, pikirku. Hahaha… apakah tangisan pertama seorang bayi bisa memberi kesan tentang sifatnya kelak? Aku tak tahu. Tapi, Bastian, pikiran orang dewasa memang suka sekali menilai sesuatu dari kesan pertama.<br />
<br />
Tubuhmu yang begitu mungil kemudian dibawa oleh perawat ke dekap susu ibumu. Wajah Ibuku, opung borumu, terlihat bahagia menyambut kehadiranmu.<br />
<br />
Aku mempersiapkan nama Rain untuk dirimu. Tapi di hari engkau lahir di bulan Juni itu tak ada hujan. Hanya ada daun-daun jatuh dipetik angin. Nama itu tak jadi untukmu.<br />
<br />
Lalu setelah kau dan ibumu dipindahkan ke kamar perawatan, kuletakkan ponselku di dekatmu. Mp3 di ponsel menyanyikan musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni, walau pun tak ada hujan di bulan Juni itu. Harapanku kau tabah, arif dan bijak seperti puisi itu. Bukankah begitu hidup harus dihadapi supaya kita mengerti arti kata suka dan duka?<br />
<br />
Dan Bastian, ibukulah, opung borumulah, yang kemudian memberimu nama yang sekarang melekat di dirimu. Keren ya, nama yang sama dengan seorang seorang dokter dan etnolog Jerman, Adolf Bastian, yang mempopulerkan nama Indonesia ke seluruh dunia lewat laporan perjalanan dan penelitiannya. Ibuku senang, karena namamu senada dengan namanya. Basaria-Bastian.<br />
<br />
Bastian, anakku sayang, hari ini, 22 Desember, adalah hari lahir opung borumu. Bertepatan dengan Hari Ibu yang dirayakan di negeri kita ini. Terasa sekali bahwa hari ibu itu menjadi miliknya, dan menjadi milik kami anak-anaknya.<br />
<br />
Kau tahu, Bastian, di setiap Hari Ibu, banyak sekali ucapan dan tulisan tentang kebaikan-kebaikan seorang ibu disampaikan. Kebaikan yang salah satunya kusaksikan pada ibuku, pada opung borumu; bagaimana tangannya yang begitu cekatan memandikanmu, membersihkan dirimu dan memakaikanmu popok setelah kita pulang dari rumah bersalin.<br />
<br />
Apa yang ia perbuat kepada diriku dulu seperti terulang kembali; bernyanyi memberikan kenyamanan, memberi kehangatan dalam dekapan dan membersihkan tokai bapakmu ini, itu juga yang dilakukannya untukmu. Bagaimana seorang anak bisa membalas kebaikan seorang ibu kalau begitu?<br />
<br />
Bastian, dalam sebuah percakapan, seorang teman berkata kepadaku, bahwa ia sangat menyukai puisi-puisiku tentang ibu. Tetapi kemudian dia berkata bahwa dia tak tahu rasanya punya ibu.<br />
<br />
Aku terkejut mendengar perkataannya. Agak lama aku seperti orang bisu, tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapannya. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menghentikan percakapan kami. Mungkin itu kesedihan, tetapi kesedihan yang saat itu belum begitu kumengerti.<br />
<br />
Bastian sayang, biasanya setiap tanggal 22 Desember, aku selalu mencium kepala dan kedua pipi opung borumu dan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Tak ada perayaan besar, hanya ngobrol-ngobrol kecil antara ibu dan anak lelakinya, sambil minum Coca cola atau Sprite. Tak ada lilin dan tak ada bunga untuknya.<br />
<br />
Bastian, seperti kebanyakan anak kepada orangtuanya, aku punya mimpi memberangkatkan ibuku ke tanah terjanji, melihat tempat di mana Kristus lahir. Ke Betlehem, lalu Yerusalem, Sungai Yordan, dan tempat-tempat penuh makna lainnya yang tertulis di dalam alkitab.<br />
<br />
Tapi ternyata tahun ini mimpi itu harus pupus. Opung borumu sudah tak ada lagi bersama dengan kita. Di saat terakhirnya di rumah sakit, aku meminta kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepada opung borumu. Tetapi Tuhan memberikan yang lain. Dia menunjukkan kuasaNya. Bukan kehendak kita yang jadi, tetapi kehendakNyalah yang jadi. Opung borumu harus pergi sebelum semua itu terwujud. Kadang aku merasa bahwa sebagai seorang anak, aku terlalu lambat mewujudkannya.<br />
<br />
Dan begitulah, Bastian, opung borumu, perempuan yang selalu kucium kepalanya itu tak sempat menjejakkan kakinya di tempat di mana Kristus dilahirkan, tapi ia berjumpa langsung denganNya. Bertemu muka dengan muka.<br />
<br />
Opung borumu pergi menyisakan kesedihan untukku. Aku bersedih bukan karena tak tahu kemana opung borumu pergi. Tetapi karena aku tak bisa lagi ngobrol ini itu dengannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil bersamanya seperti “lagi ngapain?”, “banyak yang beli buku?”, atau “udah makan belom?”, sekarang terasa begitu berarti. sebuah lagu penghiburan kemudian menguatkanku, bahwa suka dan duka dipakaiNya untuk kebaikanku.<br />
<br />
Bastian, hari ini aku baru tersadar, bahwa aku tak pernah memberikan bunga kepadanya. Juga di setiap hari ulang tahunnya. Tetapi sekarang aku selalu membawakan bunga untuknya, setiap aku berkunjung ke kediamannya yang baru, setiap kali aku kangen ngobrol-ngobrol dengannya. Olehnya kini aku tahu, Bastian, bahwa apa yang gagal diucapkan lewat kata bisa disampaikan lewat bunga.<br />
<br />
Dan Bastian, sekarang aku juga mulai mengerti apa yang dikatakan temanku itu tentang tak memiliki ibu. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya tak punya ibu. Sepi sekali rasanya… Benar-benar sepi.<br />
<br />
Cepatlah besar anakku sayang. Jadilah lelaki yang lembut. Jangan keras kepala sebagaimana aku sering dikatakan orang-orang terbaik di dekatku. Nikmatilah waktu-waktu yang indah dan berharga bersama ibumu. Semoga cepat hilang rasa sakit yang menyertai bartambahnya gigimu.<br />
<br />
Selamat tidur, Bastian, semoga di hari yang lain aku bisa menuliskan satu puisi yang bagus untukmu. I love you.<br />
<br />
<br />
<br />
December 22, 2015 at 9:59pm<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-4386437757293264142017-12-20T10:19:00.000-08:002017-12-20T10:22:52.992-08:00Doa"The first duty of love is to listen." - Paul Tillich.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Seorang perempuan cantik berjalan mendekat ke arah di mana saya duduk. Matanya sipit seperti mata saya. Senyumnya manis seperti senyum saya. Lalu dia duduk di sebelah saya. Harum parfumnya yang manis mengepung saya. Pintu Bus kota kembali ditutup dan melanjutkan perjalanan. Suasana tiba-tiba terasa hening. Suatu kehening yang harum.<br />
<br />
Perempuan cantik ini sepertinya pendiam, sama seperti saya yang juga pendiam. Dalam hening yang harum, saya berdoa kepada Tuhan supaya saya dijadikannya orang yang pandai bicara.<br />
<br />
*****<br />
<br />
Setelah sekian waktu hening, saya memberanikan diri menoleh ke arah wajahnya. Saya ingin mengajaknya bicara, mencoba berkenalan, ingin tahu namanya. Dia menoleh ke arah saya dan memberikan satu senyuman manis. Saya balas senyumnya, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut saya.<br />
<br />
Dia menundukkan kepala, membuka tas yang ada di pangkuannya, lalu mengeluarkan kotak berwarna hitam yang berisi banyak gantungan kunci dan gelang-gelang tangan yang terbuat dari benang.<br />
<br />
Kembali ia memberikan senyumnya yang manis itu sembari menyodorkan kotak hitam itu kepada saya. Saya bingung dan menatap wajahnya. Dia kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala, menunjuk ke arah kotak itu dengan wajahnya.<br />
<br />
Di bagian depan kotak terdapat kertas laminating yang bertuliskan: "Saya bisu dan tuli. Ini buah karya saya. Belilah beberapa dan bayarlah seikhlasnya. Terima kasih."<br />
<br />
Saya kembali menatap wajahnya. Dan lagi-lagi dia memberikan senyumnya kepada saya. Saya mengangguk. Lalu saya ambil dua buah gantungan kunci dan memberikan selembar uang kepadanya.<br />
<br />
"Dua," kata saya kepadanya tanpa mengeluarkan suara, memberikan simbol victory dengan jari-jari saya ke arahnya. Dia mengangguk.<br />
<br />
Saat saya memasukkan gantungan kunci itu ke saku saya, ia menyentuh lembut bahu saya dan memberikan dua buah gelang cantik kepada saya. Dia tersenyum menganggukkan kepala, supaya saya mau menerima kedua gelang itu.<br />
<br />
Saya terima gelang itu sembari menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Ucapan yang juga tanpa suara. Dia tersenyum senang.<br />
<br />
Lalu dia bangkit berdiri. Mengucapkan sesuatu yang tak bisa saya dengar sambil telapak tangannya bergerak dari sisi pipi kanannya mengayun ke arah depan wajahnya, ke arah saya, seperti sedang mengucapkan terima kasih, saya kira. Saya menganggukkan kepala.<br />
<br />
Dia kemudian membalikkan tubuhnya, berjalan menuju pintu keluar, berbaris dengan beberapa penumpang yang juga ingin turun, meninggalkan saya dengan harumnya yang manis itu. Saya pandangi ujung rambutnya yang jatuh indah di punggungnya, sampai kemudian hilang di keramaian.<br />
<br />
Pintu bis kembali ditutup dan melanjukan perjalanan. Hening kembali datang menyerbu. Tuhanku, kata saya kepadaNya, jadikankah juga aku ini seorang yang pandai mendengar.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-4444084445960091152017-12-04T00:24:00.000-08:002017-12-04T00:24:46.773-08:00Terima KasihNamanya siapa? tanya seorang guru menghampiri saya. Fidelis, Bu, kata saya membungkuk meraih tangannya. Wajahnya yang tua memandangi wajah saya. Ya, ampun, Fidelis, kamu berubah banget. Saya membalasnya dengan senyuman. Mungkin yang diingatnya adalah Fidelis yang mungil dan manis di SMP dulu. Main ke rumah ya, katanya. Iya, Bu, kata saya.<br />
<br />
Percakapan kami terhenti oleh instruksi dari panitia yang meminta setiap yang hadir melambaikan tangan pada drone yang akan mengabadikan kami. Kami melambai ke atas, berteriak seperti anak kecil. Puisi GM seketika hadir di benak saya. Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.<br />
<br />
Selesai drone mengabadikan kami, kembali ia menawari untuk main ke rumahnya. Saya mengangguk. Masih di Ceger kan, Bu? tanya Oma, seorang teman di samping saya. Masih, jawabnya. Siap, Bu, kata teman saya, nanti kita main ke sana. Bu guru kami tersenyum, lalu kembali ke tempat yang disediakan panitia untuk para guru.<br />
<br />
Gua lupa, Ma, kata saya kepada Oma. Namanya bu siapa ya? tanya saya. Bu Rosmawinil, jawabnya. Oh iya, kata saya. Namanya terasa dekat, sesuatu yang akrab di telinga saya, tapi saya lupa.<br />
<br />
Ngajar apa dulu? tanya saya. Dia berpikir sejenak. Ngajar bahasa inggris kayaknya, jawabnya. Bahasa inggris bukannya Bu Mira? tanya saya lagi. Oma berusaha mengingat-ingat lagi. Matematika, kali ya? katanya. Saya nyengir. Saya berusaha keras untuk mengingatnya. Dan saya masih tetap tidak ingat.<br />
<br />
27 tahun memang bukanlah waktu yang singkat. Ingatan telah tertimbun oleh banyak hal dan peristiwa. Saya pandangi wajah teman-teman saya. Wajah dan tubuh mereka berubah. Beberapa teman perempuan kini mengenakan jilbab. Tubuhnya mekar. Teman-teman lelaki juga demikian. Banyak yang perutnya berubah seperti galon Aqua. beberapa masih dapat saya kenali, sebagian lagi lupa-lupa ingat. Sebagian lagi benar-benar lupa. Kita memang tak selalu bisa mengandalkan ingatan ya?<br />
<br />
Du, elo masih inget guru-guru kita itu? tanya saya kepada Edward teman saya. Sebagian, jawabnya. Guru-guru kita masih ada gak yang inget sama elo? tanya saya lagi. Kagak! jawabnya. Tawa kami lantas berderai-derai.<br />
<br />
Kemudian kami masuk pada acara pemberian bunga dan kenang-kenangan kepada para guru. Guru-guru kami berdiri di bagian ruangan yang dijadikan panggung. Kami, para murid berbaris, maju satu per satu menyalami para guru.<br />
<br />
Neneng, seorang teman kami, membacakan puisi dan menyanyikan lagu ungkapan terima kasih kepada para guru. Saya membungkuk meraih tangan guru-guru saya, mengucapkan kata-kata terima kasih. Tiba di hadapan Bu Rosmawinil, saya tak dapat menahan diri untuk tidak memeluknya. Saya mendekapnya erat seperti memeluk ibu saya sendiri. Saya menangis sugugukan di pundaknya. Air mata saya jatuh di jilbabnya. Saya biarkan perasaan saya mengalir. Untuk hal-hal yang sempat terlupakan, untuk hal-hal yang belum mampu lagi saya ingat, dan untuk apa yang telah didedikasikannya bagi kami.<br />
<br />
Terima kasih, Bu, telah hadir dan memberi di hidup kami.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-90357753681926060532017-11-11T03:40:00.000-08:002017-11-11T03:40:23.837-08:00TakdirIbuku tak suka buku<br />
Bukuku yang bertumpuk-tumpuk<br />
Diserahkannya kepada tukang loak yang rajin lewat di depan rumah<br />
Bikin banyak nyamuk aja, katanya<br />
Karena ibu, akhirnya aku jadi mengerti<br />
Bahwa nyamuk bersarang di buku-buku<br />
<br />
Aku tak suka nyamuk, tapi aku suka buku<br />
Jadi sisa bukuku kuberi kelambu<br />
Supaya tak jadi sarang nyamuk<br />
Tapi sejak buku-bukuku kuberi kelambu<br />
Nyamuk-nyamuk malah bersarang di telingaku<br />
Aku jadi susah tidur<br />
<br />
Mereka sangat ribut<br />
Suka sekali ngobrol<br />
Tentang SDD dan Jokpin<br />
Tentang Saut Situmorang dan Gunawan Muhamad<br />
Aku jadi pusing tak bisa tidur<br />
Sementara buku-buku bisa tidur tenang<br />
<br />
Akhirnya aku pindah tidur<br />
Masuk ke dalam kelambu<br />
Tidur memeluk buku-buku<br />
Ibuku heran melihatku tidur memeluk buku<br />
<br />
Ibu memanggil orang pintar<br />
Dikiranya aku punya kelainan<br />
Aku heran, wajahku disembur air<br />
Supaya sembuh, kata orang pintar itu<br />
Lalu menyembur wajahku sekali lagi<br />
Sambil ia komat kamit<br />
Ibu lalu memberinya uang<br />
Uang dari tukang loak yang membeli bukuku<br />
Orang pintar itu tersenyum<br />
<br />
Ibu memandangku iba<br />
Mengusap-usap dan mencium kepalaku<br />
Cepat sembuh ya, Nak, katanya<br />
Aku bingung merasa tak sedang sakit<br />
tapi aku mengangguk<br />
Ibu membuatkan aku susu<br />
Minumlah selagi hangat, kata ibu lembut<br />
Sekali lagi aku mengangguk<br />
Lalu ibu membawa keluar semua sisa buku di kamar dan menggantinya dengan satu kitab suci. Bacalah ini. Ia akan menyelamatkan hidupmu, kata ibu<br />
Kulihat seekor nyamuk terbang menyelamatkan diri, menjauh dari ibu<br />
<br />
Aku heran, kenapa masih ada nyamuk padahal buku-bukuku sudah kuberi kelambu<br />
Mungkin dia nyamuk yang kutu buku sehingga ia menjadi cerdas dan menemukan cara menembus kelambu, pikirku<br />
Tubuhku mendadak lemas<br />
Seperti orang yang sedang jatuh sakit<br />
Kubaringkan tubuhku dan masuk ke dalam selimut<br />
Samar-samar kudengar percakapan ibu dengan pengepul barang bekas<br />
Buku-bukuku akhirnya ditukar dengan gelas<br />
<br />
Kupandangi gelas kosong bekas susu<br />
Entah kenapa aku jadi merasa sangat sedih<br />
Membayangkan buku-bukuku<br />
Menerima takdirnya<br />
Menjadi lembar-lembar kertas pembungkus ikan dan gorengan<br />
RIP, buku, kataku memejamkan mata<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-74474805370083662882017-10-14T22:48:00.001-07:002017-10-14T22:48:41.726-07:00Aku Ingin (Versi tukang parkir di Pasar Kramat Jati yang jatuh hati kepada penjual kue cucur yang cantik banget)<br />
<br />
aku ingin mencintaimu gak tanggung-tanggung<br />
dengan rasa manis yang paling didamba<br />
tepung kepada minyak yang menjadikannya cucur<br />
<br />
aku ingin mencintaimu gak tanggung-tanggung<br />
dengan rindu yang tak pernah putus<br />
cincin kepada jari manis yang menjadikannya berartiFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-44521562035890050282017-10-01T17:57:00.000-07:002017-10-01T17:57:03.083-07:00October Kiss “Udah mulai hujan ya…”<br />
<br />
“Iya…”<br />
<br />
“Kenapa ya, hujan sepertinya selalu bisa mengaduk-aduk perasaan kita?”<br />
<br />
“Iya, aku juga sering mikir gitu. Sepertinya ia membawa kepedihan sekaligus keindahan…”<br />
<br />
“Mungkin karena dia juga datang membawa dingin, maka kita menciptakan sesuatu yang hangat di pikiran kita, di hati kita.”<br />
<br />
“Mungkin…”<br />
<br />
<br />
<br />
Kami berdua terdiam. Lalu tiba-tiba…<br />
<br />
“Muuaaaccchhhh…”<br />
<br />
“Eh, kamu tuh ya, cium aku nggak permisi dulu,” kataku memegang bibirku.<br />
<br />
“Biarinnn… mau marah? Nih, aku tambahin lagi. Muaaahhhh… Muaaahhhh… Muaaahhhhhh….”<br />
<br />
“Hahaha… Bandel yaaa…”<br />
<br />
“Tapi kamu suka kaaannnn…?”<br />
<br />
“Iyaa…”<br />
<br />
“Hahaha… Emang maunya… eh, aku harus kerja lagi nih. Musim hujan gini, kamu jaga kesehatan ya, sayang…”<br />
<br />
“Iya, cantik. Kamu juga ya…”<br />
<br />
“Iya… I love you…”<br />
<br />
“Love you too…”<br />
<br />
“Bye…”<br />
<br />
“Bye too…”<br />
<br />
Dia menutup teleponnya.<br />
<br />
<br />
<br />
Langit hijau mencurahkan hujan ke atap dan jendela kaca gedung-gedung tinggi, halte bis kota, dan pepohonan di tepi trotoar jalan.<br />
<br />
Angin bermain-main dengan butiran air, membentuk ombak-ombak kecil di udara.<br />
<br />
Kurapatkan kancing jaketku. Ya, mungkin karena hujan membawa dingin, maka kita menciptakan sesuatu yang hangat di pikiran kita, di hati kita.<br />
<br />
Perlahan-lahan langit berubah merah jambu, seperti warna bibirmu.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-36174384120017594522017-09-29T10:36:00.002-07:002017-09-29T10:36:45.153-07:00Usai Aku tahu bahwa tak selamanya senja membawa jingga, karena terkadang ia juga datang bersama hujan.<br />
<br />
"Wah, sorenya keren! Oranye!" kataku sambil memandang kaki langit. "Iya, jingga. Aku suka senja seperti ini. Terutama ada kamu di dekatku," katamu melepaskan senyuman manis.<br />
<br />
Ya, kau memang lebih suka menggunakan kata-kata yang terdengar puitis di setiap pertemuan kita. Oranye kau katakan jingga, sore kau sebut senja.<br />
<br />
Kau begitu mahir merangkai kata-kata indah di setiap hari-hari kita. Bahkan ketika aku tak dapat lagi menemukan kata-kata di akhir September itu, kau masih bisa menghadirkannya dengan terang.<br />
<br />
"Usai," katamu dengan bibir bergetar. Lalu terdengar suara langkah kakimu menjauh dan menghilang. Aku diam, berharap jingga senja mampu menahan langkahmu pergi.<br />
<br />
Mungkin benar kata para pemujamu, bahwa jantungmu tak hanya mengalirkan darah tapi juga puisi.<br />
<br />
Ya, penyair sepertimu memang mampu membangkitkan banyak cinta. Kau memiliki banyak 'kan? Bukan cuma aku? Seharusnya kata usai jangan pernah ada dalam kamus bahasa, supaya kau tak pernah menemukannya dan aku tak pernah mendengarnya.<br />
<br />
Aku tahu bahwa tak selamanya senja membawa jingga, karena ia juga terkadang datang bersama hujan.<br />
<br />
Dan kuakhiri September tanpa kamu. Juga tanpa jingga yang sangat kau sukai. Hanya aku dan senja, yang datang bersama hujan.<br />
<div>
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-87592598223406503172017-09-22T21:44:00.000-07:002017-09-22T21:44:49.512-07:00HerbethWaktu berjatuhan seperti daun-daun. Sudah lebih dari sebulan adik saya pergi. Saya kangen adik saya, kengen melihat dia dan ingin ngobrol-ngobrol dengannya.<br />
<br />
"Beli kembangnya, Pak," kata saya kepada penjual kembang di depan gerbang komplek kediamannya yang baru.<br />
<br />
"Sekalian air mawarnya, Mas?" tanya penjual kembang.<br />
<br />
"Nggak usah, Pak," kata saya. Saya hanya ingin menaburkan kembang dan bicara-bicara sedikit dengan adik saya. Penjual kembang itu memberikan sekantung kelopak bunga kepada saya.<br />
<br />
Ya, saya hanya ingin menaburkan kembang, lalu bicara-bicara sedikit dengan adik saya. Mungkin tak baik menurut agama, tapi saya sedang kangen adik saya.<br />
<br />
Saya masuki komplek makam dengan perih kehilangan yang kembali menyergap, yang membuat kedua mata saya tiba-tiba jadi basah di setiap ayunan langkah yang membawa saya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.<br />
<br />
Bebarapa anak berseragam sekolah tampak sedang duduk-duduk santai, merokok di bawah pohon rindang di dekat satu makam yang berkeramik bersih. Angin berembus pelan. Sehelai daun jatuh di dekat mereka.<br />
<br />
Langkah saya terhenti di depan makam adik saya yang masih berupa gundukan tanah. Saya teringat ketika pertama kali berdiri di depan makam itu, saat peti tempat adik saya tertidur abadi akan diturunkan ke dalam ruang peristirahatannya yang terakhir. Ayah saya ikut memegang tali tambang yang menahan bagian bawah peti itu, menurunkannya pelan-pelan sampai ke dasar peristirahatan terakhir adik saya.<br />
<br />
Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Ayah saya yang baik itu, yang pada waktu-waktu lalu memegang tali dan kain gendongan, membuat ayunan bayi, supaya anaknya tersayang nyaman dalam lelap tidurnya di setiap malam, sore hari itu kembali memegang tali untuk mengantarkan adik saya, anaknya tersayang, tertidur. Tidur yang selamanya.<br />
<br />
"Nggak usah, Pak," kata petugas pemakaman dan saudara-saudara kami meminta tali tambang itu dari tangan ayah, melihat tubuhnya limbung.<br />
<br />
"Tidak apa-apa," kata ayah saya membetulkan posisi berdirinya. "Saya ingin mengantarkan anak saya," kata ayah saya lagi. Ia menangis, lalu mengulur tali tambang di tangannya perlahan sambil memandangi peti di mana adik saya berada itu sampai ke dasar makam.<br />
<br />
<br />
Saya kangen adik saya dan sedang ingin berdua saja. Jadi saya datang seorang diri menjenguknya. Saya duduk di sebelah kiri makamnya. Membaca namanya, tanggal lahir dan tanggal kepergiannya di nisan salib itu. Adikku sayang, kata saya dalam hati, lalu menaburkan kelopak-kelopak bunga ke atas gundukan tanah yang kini menyelimuti tidur tenangnya.<br />
<br />
"Kemarin sakit banget ya, No," kata saya sambil menaburkan kembang. Kelopak-kelopak bunga jatuh, begitu juga air dari kedua mata saya.<br />
<br />
"Nggak ada yang sakit, cuma lemes doang," jawab adik saya itu, ketika ayah menanyakan bagian mana tubuhnya yang sakit. Makannya juga lahap waktu itu. Ia masih sempat memisahkan dan merapikan makanan-makanan kecil yang disukainya. Lalu ketika ayah saya ingin membantunya ke kamar mandi, ia menolak. "Bisa kok," katanya lalu melangkah ke kamar mandi.<br />
<br />
Saya taburkan lagi kelopak-kelopak bunga di atas makamnya.<br />
<br />
"Gua baru bikin buku lagi," kata saya, kembali menaburkan kembang. Ucapan dari mulut saya terhenti lagi, digantikan air yang keluar dari mata saya, mendahului kata-kata saya untuknya. "Sayang, lo nggak sempet liat ya..."<br />
<br />
Saya sering melihatnya menulis dan menggambar di sebuah buku kosong. Puisi dan gambar-gambar orang. Tulisannya bagus. Kadang ia menulis dalam bahasa inggris. Saya ingin sekali dia menerbitkan tulisan-tulisannya yang selalu tercecer itu.<br />
<br />
Di salah satu hari ulang tahunnya, saya pernah menghadiahkan satu buku untuknya. Buku kecil berwarna merah berjudul Mafia Manager. Buku bisnis dan kepemimpinan yang tidak dipenuhi dengan istilah-istilah yang rumit. Enak dibaca. Setiap laki-laki pasti suka membacanya, karena buku itu ditulis berdasarkan pengalaman seorang tokoh mafia. Dan suatu tulisan tentang kejantanan dan trik-trik menyelesaikan masalah ala mafia selalu menarik minat setiap lelaki. Adikku pasti suka, pikir saya ketika membeli buku itu untuknya. Saya tulis satu ucapan selamat ulang tahun untuknya di halaman depan buku itu. Beberapa hari ini saya cari buku itu, tapi belum juga ketemu.<br />
<br />
Saya lihat lagi namanya di nisan salib itu. Saya usap pelan namanya, seakan sedang mengusap kepalanya, mengusap pundaknya. Tak ada satu kata pun yang bisa terucap. Saya biarkan air mata saya saja yang bicara. Saya merasa seperti orang cengeng, tapi biar saja, saya sedang kangen adik saya.<br />
"Kangen gua lo ya, No?" tanya saya terisak.<br />
<br />
Dulu, saya sering jengkel dan memarahinya karena ia sering tanpa memberi tahu terlebih dahulu, memakai pakaian dan barang-barang kesukaan saya yang memang satu ukuran dengannya. Ketika saya ingin mengenakan pakaian atau sendal atau sepatu yang cocok dan sudah saya siapkan untuk dipakai keluar, ternyata sudah tidak ada di tempatnya, melainkan berada di tempat pakaian kotor. Dia tertawa ketika saya marah. Tentu saja saya tambah jengkel. Dan dia pergi meninggalkan saya.<br />
Tetapi, dia tahu bahwa saya tak bisa terlalu lama marah kepadanya. Lalu ia menawari saya nasi goreng.<br />
<br />
Dia memang pintar memasak nasi goreng. Dia adalah andalan kami di rumah ketika ingin menikmati nasi goreng sambil nonton televisi. Lucu sekali rasanya waktu pertama kali memakan nasi goreng buatannya.<br />
"Asinnn..." kata saya. Dia tertawa.<br />
<br />
Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Tak akan pernah kembali. Saya sering tak terlalu memperhatikan waktu, sebagaimana juga tak memperhatikan daun-daun jatuh, yang berpisah dari rantingnya. Perpisahan datang seperti pencuri. Datang tanpa disangka-sangka. Saya baca lagi namanya pada salib putih di atas makamnya. Hati saya remuk. Mimpi-mimpi saya tentang dan bersamanya musnah sudah. Mimpi saya membaca buku karangannya dan bangga melihatnya berdiri membaca puisi atau mengantarkan sebuah kotbah di atas mimbar harus berhenti sampai di sini.<br />
<br />
"Cepet banget lo pergi..." kata saya perih.<br />
<br />
Mentari jatuh perlahan di barat. Saya taburkan lagi kelopak-kelopak bunga terakhir yang berada di tangan saya ke tubuh makamnya. Terbayang kembali saat-saat bersama dirinya.<br />
<br />
Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Waktu yang tak akan pernah kembali, waktu yang merekam begitu banyak kenangan.<br />
<br />
"Gua pulang ya, No..." kata saya pamit, mengusap salib putih yang bertuliskan namanya.<br />
<br />
Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Tawamu kekal dalam ingatan.<br />
<br />
<br />Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-1278145703513504822017-08-30T17:12:00.001-07:002017-08-30T17:12:24.429-07:00Sejuta Doa:untuk David<br />
<br />
Kucium pelan pipinya di lelap tidurnya<br />
Menanam sejuta doa di kepalanya,<br />
di sela setiap helai rambutnya yang seharum bubuk susu.<br />
<br />
"Yang terbaik, selalulah yang terbaik," bisikku mengusap kepalanya.<br />
<br />
"Dan di setiap musim yang silih berganti menumbuhkan hujan dan mematangkan matahari, semoga langkah kakimu semakin kuat."Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-17950474084653537822017-07-10T08:21:00.000-07:002017-07-10T08:21:06.522-07:00Pejaten tersesat aku<br />
di alis manis itu<br />
keindahan yang sabar menunggu<br />
di dekat rindu matamu<br />
<br />
tersesat aku<br />
di alis manis itu<br />
yang membawaku masuk menuju<br />
ke sejuta mimpi di matamuFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-26241866136334243242017-07-09T09:42:00.000-07:002017-07-09T09:42:03.464-07:00RirinNamanya Ririn. Kulitnya putih bersih. Rambutnya yang hitam kemilau jatuh indah tergerai di bahunya. Mengenakan kacamata, cantik sekali. Dia adalah warga baru di lingkungan tempat tinggal kami. Pertama kali melihatnya, saya langsung menyukainya.<br />
<br />
Dia bersekolah di SMA 14 Cililitan, saya di SMA 42 Halim. Itu artinya jika berangkat ke sekolah, ia berjalan menuju ke arah barat, saya ke arah sebaliknya, ke timur. Tetapi, karena saya ingin bisa dekat dengannya, saya kemudian berjalan menuju ke arah barat mengikutinya.<br />
<br />
Pagi hari, saya mandi lebih serius, menyisir rambut lebih serius dan tentunya tidak lupa memakai bedak MBK. Juga dengan serius. Kemudian, pada waktu jam berangkat sekolah, saya menunggunya di jalan depan rumah. Begitu ia terlihat, saya segera mengejarnya dan berjalan di sampingnya. Dia kaget melihat saya. Saya juga jadi kaget melihat wajahnya yang kaget melihat wajah saya.<br />
<br />
Dia kemudian mempercepat langkahnya. Saya juga ikut ‘over gigi’, menyamakan kecepatanya berjalan. Lalu saya menyapanya dan bersikap sok kenal sok dekat. Dia diam. Lantas saya berbicara sendiri tidak karuan menahan debar jantung saya karena salah tingkah. Saya bicara terus, yang penting terlihat orang, kami sudah seperti teman yang sudah akrab.<br />
<br />
Setelah sekitar 15 menit perjalanan, sesampai di jembatan Mayasari, dia kemudian menyeberang jalan, karena letak sekolahnya memang berada di seberang jalan.<br />
<br />
“Sampai besok ya…” kata saya kepadanya. Dia tak menjawab. Saya meneruskan berjalan kaki menuju terminal Cililitan dan kemudian menumpang Trans Halim menuju sekolah. Hari itu saya terlambat masuk ke sekolah.<br />
<br />
Keesokan harinya, diiringi kicauan suara burung nan merdu, saya kembali menunggunya di jalan depan rumah. Dia tidak lagi kaget melihat wajah saya seperti kemarin. Tetapi wajahnya nampak sebal, tetap diam dan tetap cantik. Saya masih tetap sok akrab menyapanya dan mengajaknya berbincang-bincang kecil. Dia masih tetap diam.<br />
<br />
Di Jembatan Mayasari, kami kembali berpisah. Dia menyeberang jalan dan saya berjalan lurus menuju terminal Cililitan.<br />
<br />
“Sampai besok ya…” kata saya. Dia tak menjawab. Hari itu saya terlambat lagi sampai di sekolah.<br />
<br />
Keesokan harinya lagi, seperti biasa, saya kembali menantikannya di jalan depan rumah. Agak lama juga sosok cantiknya tak muncul. Setelah sepuluh menit lagi menunggu, dia akhirnya terlihat juga. Tetapi tidak sendiri, dia dibonceng naik motor oleh Ayahnya. Gaswat! Berseragam loreng pula! Saya sembunyi di balik pohon. Burung-burung yang tadinya asyik berkicau berhamburan mencari pohon lain. Saya lihat dia sempat menengok ke arah tempat saya biasa menantikannya. Ah, Ririn, cantik sekali caramu memandang. Rambutnya melambai dimainkan angin.<br />
<br />
Hari itu saya tidak berjalan ke arah barat tapi ke timur dan tidak terlambat tiba di sekolah. Tetapi, hari itu otak saya agak lambat menangkap pelajaran.<br />
<br />
Malam harinya saya menulis satu surat cinta untuknya. Di atas kertas warna biru muda bergambar hati dan tentu saja wangi. Beberapa kertas yang manis jadi korban dan masuk ke keranjang sampah, sampai akhirnya saya merasa bahwa isi surat saya benar-banar mantap. Tak lupa saya selipkan sebagian syair lagu Iwan Fals yang sering membuat saya teringat dirinya.<br />
<br />
Buat apa kau diam saja<br />
Bicaralah agar aku semakin tahu<br />
Warna dirimu duhai permata<br />
<br />
Kau mimpiku aku tak bohong<br />
Seperti yang kau kira seperti yang selalu kau duga<br />
Pintaku kau percayalah<br />
Usah ragu<br />
<br />
Lalu saya cium surat itu sebelum masuk ke dalam amplop. Kemudian saya titipkan surat cinta untuknya itu kepada kerabatnya yang kebetulan adalah tetangga kami.<br />
<br />
Hari demi hari surat cinta saya tak mendapatkan jawaban. Minggu demi minggu hati saya gelisah menantikan jawaban darinya. Sebulan dua bulan saya tetap setia menantikan jawabannya. Akhirnya sampai si cantik Ririn sudah pindah rumah lagi karena harus mengikuti Ayahnya yang bekerja sebagai abdi negara.<br />
<br />
Sekarang sudah lebih dari sepuluh tahun, saya tak pernah menerima jawaban dari Ririn. Saya jadi curiga, jangan-jangan surat saya tak pernah sampai ke tangan pujaan hati saya itu. Jangan-jangan kerabatnya itu juga naksir Ririn.<br />
<br />
Rin… rindu yang memenuhi dadaku malam ini, berhasilkah menjatuhkan sehelai saja bulu matamu?Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-31851687853974827582017-07-02T07:14:00.002-07:002017-07-02T07:14:45.506-07:00Juli"Pasti sakit sekali rasanya ya..." katanya memandang gores-gores luka pada batang pohon yang tengah kutuliskan kata cinta untuknya.<br />
<br />
"Apa cinta juga bisa melukai?" tanyanya lembut. Aku diam menyembunyikan keterkejutanku mendengar pertanyaannya.<br />
<br />
"Love you too, dear... Love you more..." ucapnya lembut sambil mencium pipiku setelah membaca goresan yang membentuk kalimat I love you, Juli pada batang pohon itu.<br />
<br />
"Menurutmu, apa cinta bisa melukai?" balik aku bertanya kepadanya.<br />
<br />
"Aku tidak tahu... Aku tidak mau..." jawabnya.<br />
<br />
"Aku juga..."<br />
<br />
"Tapi seandainya ternyata cinta bisa melukai? tanyaku lagi kepadanya<br />
<br />
"Aku tidak tahu..." jawabnya pelan, lalu memeluk erat tubuhku.<br />
<br />
Pelan kucium keningnya. Dan kami pun terdiam, hanyut dalam hangat pelukan penuh cinta sambil memandang luka pada pohon yang perlahan mulai mengering, yang ia sendiri tak tahu mengapa harus menerimanya.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-30356205961906148602017-06-26T06:09:00.001-07:002021-05-12T06:41:36.785-07:00Malam LebaranMalam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan. Tak juga ada di atas PGC. Langit hitam. Mungkin dia sedang sembunyi di balik langit. Atau mungkin sedang asyik bersinar di sajak Sitor Situmorang.<br />
<br />
Pukul 10 malam. Di lampu merah Cililitan saya terhenti. Tampak lampu-lampu di lantai atas PGC sudah padam. Tak ada bulan di atas PGC.<br />
<br />
Jalanan macet. Pedagang kaki lima dan orang-orang tumpah ke jalan. Para pedagang berteriak-teriak memanggil pembeli. Murah dan obral menjadi mantra. Orang-orang merubung para pedagang, melihat-lihat dan memilih barang yang ditawarkan.<br />
<br />
Lampu merah berganti hijau. Saya lanjutkan perjalanan yang tersendat-sendat oleh ramainya orang. Di pertigaan jalan menuju rumah, di dekat kuburan, jalan mulai lengang. Anak-anak dan remaja berkumpul di pinggir-pinggir jalan, di dekat mulut gang, membunyikan beduk dan drum, melantunkan takbir. Malam yang indah, malam kemenangan. Saya lambaikan tangan kepada orang-orang yang saya kenal. Mereka balas melambaikan tangan.<br />
<br />
Tiba di rumah, saya nyalakan televisi. Saya biarkan televisi bicara sendiri sementara saya membuat kopi.<br />
<br />
Malam Lebaran. Televisi bicara sendiri dan saya dengan pikiran saya sendiri. Saya nikmati kopi pelan-pelan. Di atas meja, buku kumpulan cerpen Umar Kayam memanggil-manggil minta dibaca. Lebaran di Karet, di Karet...<br />
<br />
Malam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan, tak juga ada di atas pohon alpukat di depan rumah. Mungkin dia sedang asyik bersinar di sajak Sitor Situmorang. Televisi masih bicara sendiri dan saya menikmati Malam Lebaran di sekumpulan cerpen.<br />
<br />
Is, seorang ayah di dalam cerpen, akan berlebaran seorang diri. Anak-anaknya merayakan di luar negeri. Mengucapkan Selamat Lebaran lewat kartu pos. Rani, istri tercinta, sudah tiada. Monumennya ada di Jeruk Purut walau pun Rani inginkan Karet, seperti bunyi sajak Chairil Anwar: Di Karet, di Karet tempat kita yang akan datang...<br />
<br />
Malam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan, tak juga ada di atas pohon alpukat. Mungkin sedang asyik bersinar di sajaknya Sitor Situmorang. Televisi masih bicara sendiri dan saya tertidur di dalam sebuah cerpen.<br />
<br />
Esoknya, di Hari Lebaran, saya ucapkan Selamat Lebaran kepada Is. Lalu kami berpisah. Dengan mobil dinas Toyota tua, ia pergi berlebaran ke Karet, ke tempat Rani ingin dimakamkan, dan saya pergi menengok Ibu. Ke TPU Kebon Pala.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-11569834970620282822017-06-18T00:37:00.000-07:002017-06-18T00:37:00.426-07:00Juni"Hari ini bukuku laku tiga, lumayan bisa buat beli pisang untuk anakku," kata temanku penyair. "Tuhan itu baik ya..." sambungnya lagi.<br />
<br />
Aku menganggukkan kepala mengamini ucapannya dalam hati.<br />
<br />
"Apa kau akan terus menggantungkan hidupmu sebagai penyair?" tanyaku kepadanya.<br />
<br />
Dia diam menarik nafas. "Ini hujannya Sapardi ya?" ucapnya, tak menjawab pertanyaanku, tapi malah mengajak mataku memandang pada hujan.<br />
<br />
Hujan yang tipis dan manis, yang berjatuhan lembut di pohon-pohon pisang di hadapan kami, membentuk sungai-sungai kecil yang merambat di daun-daun, batang, hingga ke akarnya.<br />
<br />
Hujan yang lembut tapi sepertinya keras kepala karena sudah hampir seharian tak juga mau berhenti.<br />
<br />
Sekali lagi aku mengangguk. Dia tersenyum menjawab anggukkanku. Lalu kami berdua terdiam memandangi hujan, membiarkan apa yang tak terucapkan diserap akar pohon pisang itu.Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-83936334477806635372017-06-16T02:25:00.002-07:002017-06-16T02:25:48.172-07:00Ikhtiar<br />
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Temaram senja</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Entah kenapa terlihat sendu</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Ramai jalan dipenuhi bunga</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Inginkan hari esok yang lebih baik</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Marah, menangis, patah</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Anak manusia meletakkan kepala di ubin</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
<br /></div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Kerja telah dijalani</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Apa yang terbaik sudah ditanam</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Ikhtiar</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Hidup melayani sesama</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
<br /></div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Ada luka yang ikut tumbuh</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Hati semoga tetaplah lembut</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Olehnya kita tetap kukuh</div>
<div dir="auto" style="font-family: sans-serif; font-size: 13.696px;">
Karena mulialah hidup yang bersedia melayani</div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-52725444689848636972017-06-14T07:41:00.000-07:002017-10-03T11:53:07.631-07:00<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4ZTj4BXSxHC36q7vkH4OskzP7e4zYi1H3hvViK6sNnQy1rCToKm_N-9QNWpY0Hbd6bxkrQ9XMYw4TKulsZGHM7dyON9qp4a3L93NaB9ZhMttryCTtVyFVbvjBoxUvcfGzZubp_qFe_CCc/s1600/Waktu+Berjatuhan+Seperti+Daun-Daun++KUNING_1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1050" height="400" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4ZTj4BXSxHC36q7vkH4OskzP7e4zYi1H3hvViK6sNnQy1rCToKm_N-9QNWpY0Hbd6bxkrQ9XMYw4TKulsZGHM7dyON9qp4a3L93NaB9ZhMttryCTtVyFVbvjBoxUvcfGzZubp_qFe_CCc/s400/Waktu+Berjatuhan+Seperti+Daun-Daun++KUNING_1.jpg" width="262" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Waktu Berjatuhan Seperti Daun-Daun</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Dieditori oleh Agnes Bemoe, dan diberi pengantar oleh Tengsoe Tjahjono, pendidik yang juga adalah seorang penyair. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Tebal 130 halaman.</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
ISBN: 978-602-98618-7-7</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
Tahun terbit 2017</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<br /></div>
Fidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-3994667931135299952017-06-13T04:08:00.000-07:002017-10-24T04:28:40.601-07:00Haiku/1/<br />
diguyur hujan<br />
gedung-gedung berbunga<br />
cahaya lampu<br />
<br />
/2/<br />
secangkir kopi<br />
pramusaji jelita<br />
matanya bulan<br />
<br />
/3/<br />
ada yang manis<br />
memenuhi udara<br />
harum rambutmu<br />
<br />
/4/<br />
jalanan basah<br />
lampu-lampu menyala<br />
bayang wajahmu<br />
<br />
/5/<br />
hujan gerimis<br />
rindu sendat di dada<br />
kepingin kamuFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2245257849941804295.post-5069170945771349842017-06-06T23:50:00.000-07:002017-06-06T23:52:30.677-07:00Tak Ada Hujan di Bulan JuniHujan tak datang di Bulan Juni<br />
Cuma daun-daun jatuh<br />
<br />
"Aku ingin mencium bibirmu..."<br />
"Jangan..." katamu<br />
<br />
Aku diam<br />
Kau juga diam<br />
<br />
Aku benci bibirku yang selalu menginginkan bibirmu<br />
Apa memang selalu begitu bibir orang-orang yang sedang jatuh cinta?<br />
Tapi kenapa bibirmu tak menginginkan bibirku?<br />
<br />
Langit Juni terang dipenuhi bintang<br />
Angin berembus pelan di sela-sela rambutmu<br />
Jari-jariku menyelinap masuk ke jemarimu<br />
Kucium pipimu<br />
<br />
Tak ada hujan di bulan juni<br />
Hanya daun-daun yang dijatuhkan angin<br />
Kauremas lembut jemariku<br />
Dan kulihat matamu terpejamFidelis R. Situmoranghttp://www.blogger.com/profile/07659515180486523940noreply@blogger.com1