Malam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan. Tak juga ada di atas PGC. Langit hitam. Mungkin dia sedang sembunyi di balik langit. Atau mungkin sedang asyik bersinar di sajak Sitor Situmorang.
Pukul 10 malam. Di lampu merah Cililitan saya terhenti. Tampak lampu-lampu di lantai atas PGC sudah padam. Tak ada bulan di atas PGC.
Jalanan macet. Pedagang kaki lima dan orang-orang tumpah ke jalan. Para pedagang berteriak-teriak memanggil pembeli. Murah dan obral menjadi mantra. Orang-orang merubung para pedagang, melihat-lihat dan memilih barang yang ditawarkan.
Lampu merah berganti hijau. Saya lanjutkan perjalanan yang tersendat-sendat oleh ramainya orang. Di pertigaan jalan menuju rumah, di dekat kuburan, jalan mulai lengang. Anak-anak dan remaja berkumpul di pinggir-pinggir jalan, di dekat mulut gang, membunyikan beduk dan drum, melantunkan takbir. Malam yang indah, malam kemenangan. Saya lambaikan tangan kepada orang-orang yang saya kenal. Mereka balas melambaikan tangan.
Tiba di rumah, saya nyalakan televisi. Saya biarkan televisi bicara sendiri sementara saya membuat kopi.
Malam Lebaran. Televisi bicara sendiri dan saya dengan pikiran saya sendiri. Saya nikmati kopi pelan-pelan. Di atas meja, buku kumpulan cerpen Umar Kayam memanggil-manggil minta dibaca. Lebaran di Karet, di Karet...
Malam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan, tak juga ada di atas pohon alpukat di depan rumah. Mungkin dia sedang asyik bersinar di sajak Sitor Situmorang. Televisi masih bicara sendiri dan saya menikmati Malam Lebaran di sekumpulan cerpen.
Is, seorang ayah di dalam cerpen, akan berlebaran seorang diri. Anak-anaknya merayakan di luar negeri. Mengucapkan Selamat Lebaran lewat kartu pos. Rani, istri tercinta, sudah tiada. Monumennya ada di Jeruk Purut walau pun Rani inginkan Karet, seperti bunyi sajak Chairil Anwar: Di Karet, di Karet tempat kita yang akan datang...
Malam Lebaran. Tak ada bulan di atas kuburan, tak juga ada di atas pohon alpukat. Mungkin sedang asyik bersinar di sajaknya Sitor Situmorang. Televisi masih bicara sendiri dan saya tertidur di dalam sebuah cerpen.
Esoknya, di Hari Lebaran, saya ucapkan Selamat Lebaran kepada Is. Lalu kami berpisah. Dengan mobil dinas Toyota tua, ia pergi berlebaran ke Karet, ke tempat Rani ingin dimakamkan, dan saya pergi menengok Ibu. Ke TPU Kebon Pala.
Senin, 26 Juni 2017
Minggu, 18 Juni 2017
Juni
"Hari ini bukuku laku tiga, lumayan bisa buat beli pisang untuk anakku," kata temanku penyair. "Tuhan itu baik ya..." sambungnya lagi.
Aku menganggukkan kepala mengamini ucapannya dalam hati.
"Apa kau akan terus menggantungkan hidupmu sebagai penyair?" tanyaku kepadanya.
Dia diam menarik nafas. "Ini hujannya Sapardi ya?" ucapnya, tak menjawab pertanyaanku, tapi malah mengajak mataku memandang pada hujan.
Hujan yang tipis dan manis, yang berjatuhan lembut di pohon-pohon pisang di hadapan kami, membentuk sungai-sungai kecil yang merambat di daun-daun, batang, hingga ke akarnya.
Hujan yang lembut tapi sepertinya keras kepala karena sudah hampir seharian tak juga mau berhenti.
Sekali lagi aku mengangguk. Dia tersenyum menjawab anggukkanku. Lalu kami berdua terdiam memandangi hujan, membiarkan apa yang tak terucapkan diserap akar pohon pisang itu.
Aku menganggukkan kepala mengamini ucapannya dalam hati.
"Apa kau akan terus menggantungkan hidupmu sebagai penyair?" tanyaku kepadanya.
Dia diam menarik nafas. "Ini hujannya Sapardi ya?" ucapnya, tak menjawab pertanyaanku, tapi malah mengajak mataku memandang pada hujan.
Hujan yang tipis dan manis, yang berjatuhan lembut di pohon-pohon pisang di hadapan kami, membentuk sungai-sungai kecil yang merambat di daun-daun, batang, hingga ke akarnya.
Hujan yang lembut tapi sepertinya keras kepala karena sudah hampir seharian tak juga mau berhenti.
Sekali lagi aku mengangguk. Dia tersenyum menjawab anggukkanku. Lalu kami berdua terdiam memandangi hujan, membiarkan apa yang tak terucapkan diserap akar pohon pisang itu.
Jumat, 16 Juni 2017
Ikhtiar
Temaram senja
Entah kenapa terlihat sendu
Ramai jalan dipenuhi bunga
Inginkan hari esok yang lebih baik
Marah, menangis, patah
Anak manusia meletakkan kepala di ubin
Kerja telah dijalani
Apa yang terbaik sudah ditanam
Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya
Ikhtiar
Hidup melayani sesama
Ada luka yang ikut tumbuh
Hati semoga tetaplah lembut
Olehnya kita tetap kukuh
Karena mulialah hidup yang bersedia melayani
Rabu, 14 Juni 2017
Selasa, 13 Juni 2017
Haiku
/1/
diguyur hujan
gedung-gedung berbunga
cahaya lampu
/2/
secangkir kopi
pramusaji jelita
matanya bulan
/3/
ada yang manis
memenuhi udara
harum rambutmu
/4/
jalanan basah
lampu-lampu menyala
bayang wajahmu
/5/
hujan gerimis
rindu sendat di dada
kepingin kamu
diguyur hujan
gedung-gedung berbunga
cahaya lampu
/2/
secangkir kopi
pramusaji jelita
matanya bulan
/3/
ada yang manis
memenuhi udara
harum rambutmu
/4/
jalanan basah
lampu-lampu menyala
bayang wajahmu
/5/
hujan gerimis
rindu sendat di dada
kepingin kamu
Selasa, 06 Juni 2017
Tak Ada Hujan di Bulan Juni
Hujan tak datang di Bulan Juni
Cuma daun-daun jatuh
"Aku ingin mencium bibirmu..."
"Jangan..." katamu
Aku diam
Kau juga diam
Aku benci bibirku yang selalu menginginkan bibirmu
Apa memang selalu begitu bibir orang-orang yang sedang jatuh cinta?
Tapi kenapa bibirmu tak menginginkan bibirku?
Langit Juni terang dipenuhi bintang
Angin berembus pelan di sela-sela rambutmu
Jari-jariku menyelinap masuk ke jemarimu
Kucium pipimu
Tak ada hujan di bulan juni
Hanya daun-daun yang dijatuhkan angin
Kauremas lembut jemariku
Dan kulihat matamu terpejam
Cuma daun-daun jatuh
"Aku ingin mencium bibirmu..."
"Jangan..." katamu
Aku diam
Kau juga diam
Aku benci bibirku yang selalu menginginkan bibirmu
Apa memang selalu begitu bibir orang-orang yang sedang jatuh cinta?
Tapi kenapa bibirmu tak menginginkan bibirku?
Langit Juni terang dipenuhi bintang
Angin berembus pelan di sela-sela rambutmu
Jari-jariku menyelinap masuk ke jemarimu
Kucium pipimu
Tak ada hujan di bulan juni
Hanya daun-daun yang dijatuhkan angin
Kauremas lembut jemariku
Dan kulihat matamu terpejam
Langganan:
Postingan (Atom)