Aku selalu tak bisa menahan diri tersenyum-senyum sendiri setiap
melewati kantor pegadaian di ujung jalan itu. Terbayang kembali cemberut
di wajahmu karena aku enggan menemanimu masuk kedalamnya. Aku memilih
menunggu di warung kopi seberang jalan, karena merasa malu jika
sekiranya ada orang yang kukenal melihatku masuk ke dalam kantor itu.
Sebelumnya
aku selalu merasa mampu untuk mencukupi segala kebutuhan kita dengan
kekuatanku sendiri, sampai akhirnya hari itu aku menyerah dan kita
sepakat menitipkan semua perhiasanmu beserta cincin pernikahan kita
untuk beberapa waktu lamanya di sana, supaya kita bisa menutupi biaya
perobatan dan membawa Deasy, putri kita pulang dari rumah sakit.
Lalu
sisanya masih bisa untuk membelikan hadiah ulang tahunnya yang ke-2
sekaligus baju natalnya. Oh iya, waktu itu kau belikan juga buku gambar
beserta alat tulisnya untuk putri cantik kita.
"Pintar...!" katamu setiap Deasy membuat coretan di bukunya gambarnya. "Bagus...
Bagus banget, sayang...!" katamu lagi memujinya. Lalu kulihat gambar
yang dibuat Deasy. Semua coretan itu memiliki pola yang sama.
"Ini
lebih tepat disebut tandatangan daripada sebuah gambar!" kataku sambil
tertawa. Lalu kau menyambut tawaku dengan cubitan di lengan, supaya aku
tidak meneruskan ucapanku. Kemudian gambar-gambar yang menyerupai tanda
tangan itu kau letakkan di kaki pohon Natal bersama kartu-kartu ucapan
Natal yang kita terima. Dan kita bertiga menghabiskan malam Natal tahun
itu di depan televisi.
Hari-hari berikutnya Deasy mulai
bosan dengan buku gambarnya. Ia mulai bereksperimen dengan
menandatangani setiap tempat yang ia mau. Lantai, dinding, seprai,
gorden, juga wajah cantikmu tak luput dari tanda tangannya sewaktu kau
tertidur. Oh iya, wajahku juga.
Dan baru saja selesai
bulan Desember, seluruh dinding rumah kita sudah penuh dengan tanda
tangannya. "Luar biasa..." katamu sambil memandang seluruh tembok rumah
kita. "Ia menuruni bakat Ayahnya yang penulis, suka sekali membubuhkan
tanda tangan."
Tak terasa sudah Desember lagi,
sayang. Seperti biasa, ia datang bersama gerimis yang mendesah manis
menciumi ranting-ranting dan dedaunan. Mal-mal berdandan cantik dan
memutar lagu-lagu Natal lebih awal dari Gereja-gereja. Menyenangkan juga
ya, merayakan natal di mal, seperti waktu itu, menyaksikan Deasy
tertawa bahagia bermain
ice skeating di Taman Anggrek dengan topi sinterklasnya. Tak terasa ia telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Secantik dirimu.
Sayang,
Natal ini mungkin Deasy tak lagi merayakannya bersamaku. Dia harus
mengikuti suaminya yang sedang ditugaskan oleh Negara ke wilayah Maluku.
Ya, mungkin dia hanya akan menghubungiku lewat telepon untuk
mengucapkan selamat Natal. Pasti aku akan selalu merindukan mata
indahnya yang diwarisinya darimu.
Tentu saja kau juga
bahagia melihat kebahagiaan putrimu, bukan? Oh ya, sayang, tentu enak
sekali di surga sana ya? Pohon Natalnya pasti besar sekali ya?
Ngomong-ngomong, apakah petugas pegadaian yang dulu melayanimu ada juga
bersamamu di sana?
Sayang, kadang kala hujan yang
dibawa Desember terasa lebih sendu dari kata-kata rindu yang ditulis
para penyair. Tentu saja bukan karena sebentar lagi Natal maka aku
merindukanmu, tapi memang setiap hari aku merindukanmu. Dan kenangan
tentang dirimulah yang selalu membuatku bahagia.
Desember
ini aku sama bahagianya seperti saat-saat ada bersama kamu. Tidak benar
jika ada orang yang bilang bahwa aku kesepian dan tidak bahagia.
Seperti kata Bonhoeffer, kebahagiaan itu bukan bergantung pada keadaan
di sekitar kita, melainkan bergantung pada apa yang sedang terjadi dalam
diri kita. Dan aku bahagia mengingatmu dan Deasy sekarang. Lagi pula
aku tidak akan kesepian, karena aku akan merayakan Natal bersama
televisi.