"Kenapa kau murung?" tanyaku pada seorang kawan yang berwajah mendung.
"Sudah seharian aku mencarinya, tapi tak juga ketemu..." jawabnya sedih.
"Siapa? Kekasihmukah?"
"Bukan, tapi masa kecilku."
"Coba kau temui dia di album foto lamamu."
"Sudah tidak ada lagi, album itu sudah dibawa pergi oleh banjir tahun lalu."
"Nanti,
kalau kau bertemu dia, tolong sampaikan padanya, aku ingin mengajaknya
bermain hujan..." katanya dengan mata penuh harap.
Lalu di
senja matanya, kulihat waktu berjalan tergesa setengah berlari, dan
seorang anak kecil sedang asyik mengumpulkan gerimis di kedua telapak
tangannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
ok punya nih mas
BalasHapusMakasih, Mas Tilarso :)
BalasHapusAhhhh, ketika ku genggam masa kecil itu, jemariku pun tak cukup karena begitu banyak dan berserakan. Ketika main lumpur, terlupakan masa itu karena hujan itu tanpa permisi larutkan lumpur tergantikan air bah, ketika main layang-layang, tak kuasa tuk kendalikan benang merahku karena sang bayu bawa pergi ke angkasa, ketika main gundu pun, menggelinding kisah itu ke dalam got dan hilang, masih banyak lagi dan lagi, hingga tak cukup jemariku tuk menggenggamnya.....sungguh masa kecil itu polos dan menjadi kenangan manis.
BalasHapus@ Anonim: Hehehe... Lucu banget kalau inget pengalaman waktu kecil ya...
Hapusternyata waktu nggak punya perasaan ya... :)
Ah gerimis itu serupa air mataku...salam hormat bang...aku suka tulisan Bang Fidel...
BalasHapusMakasih, Mbak Imelia... Seneng banget blog ini disinggahi. Salam hormat juga yaaa... :)
Hapus