Minggu, 30 Januari 2011

Salemba

Di tempat ini biasanya aku bermain bola basket bersama teman-teman
tapi sekarang telah berubah menjadi tempat parkir
Sepertinya masih terdengar suara bola basket yang memantul di lantainya
Sekolahku telah hilang. Tidak ada jejaknya sama sekali. Berganti menjadi universitas yang terlihat mewah seperti mall.

Kususuri trotoar yang sering kulalui dulu bersama teman-teman
Pelan-pelan mencoba menyatukan pecahan-pecahan kenangan di sini
Putih abu-abu. Sungguh masa yang menyenangkan.
Saat itu aku jatuh cinta pada kakak kelasku.
Tukang mie ayam dan tukang gorengan menjadi saksi  cinta kami waktu itu

Hari terasa sangat panas. Mungkin karena lebih banyak gedung daripada pepohonan di sini
"Berikan aku hujan." Pintaku kepada Tuhan.
Tiba-tiba terdengar merdu suara seruling
Seorang lelaki tua telihat sedang memainkannya diantara mobil-mobil yang berhenti di lampu merah
beberapa pengendara melambaikan tangan, beberapa lainnya memberikan koin berwarna perak dan emas dari balik kaca mobil.

Saat lampu pengatur jalan berubah hijau, kulihat lelaki tua itu menghampiri seorang wanita tua yang sedang duduk di trotoar.
Menyerahkan keping-kepingan uang yang diterimanya tadi kepada perempuan itu, kemudian membetulkan payung yang dipakai istrinya untuk berlindung dari panas matahari.

Ketika lampu kembali merah, lelaki tua itu terlihat gagah berjalan diantara kendaraan yang berhenti di lampu merah.
Lalu terdengar kembali alunan merdu suara serulingnya.
Mungkinkah ini yang disebut cinta yang selamanya, seperti yang pernah dibicarakan oleh teman-temanku pencinta film korea?
Lalu kepada Tuhan kembali aku berseru,
"Tuhan aku nggak jadi minta hujan...
Aku minta seruling seperti kepunyaannya aja."
Dan hujan tidak jadi turun, matahari tidak lagi menyengat.

Diantara merdu suara seruling lelaki tua itu, terdengar nyanyian dari dua orang mahasiswa yang berjalan pulang, "Ut Omnes unum sint, itulah amsal kita..."

Jumat, 14 Januari 2011

Mencari Masa Kecil

Seorang teman terlihat begitu senang saat bertemu denganku

"Ayo, temani aku." Ajaknya dengan penuh semangat

"Kemana?" tanyaku

"Mencari masa kecilku!" Jawabnya cepat

"Masa kecil? Ada apa dengannya?" Tanyaku heran

"Aku ingin memintanya mengembalikan kegembiraanku bermain hujan dulu." Katanya dengan mata berbinar-binar.

Senin, 10 Januari 2011

Rapat Umum

Dengan semangat yang menyala-nyala, seorang pembicara menjabarkan segala penyebab berbagai penderitaan rakyat. Semua dijalaskan satu per satu, mulai dari Sabang sampai ke Merauke.

Dari perilaku para wakil rakyat yang katanya memiliki lidah bercabang, sampai pada kebijakan tidak becus dari pemerintah yang hanya menguntungkan para tauke.

"Kita harus bangkit melawan!" teriaknya dengan berapi-api.

Tiba-tiba dari arah belakangnya terdengar interupsi. "Maaf, Pak, warungnya sudah mau tutup."

Lalu satu-satunya pendengar di situ berdiri. "Saya teh manis satu sama pisang goreng dua." Katanya kepada ibu pemilik warung sambil mengeluarkan beberapa lembar  uang ribuan.

"Saya kopi satu, sama rokok separoh," kata si pembicara yang tiba-tiba kehilangan semangatnya. "Besok ya, Mak... Sewa lagi sepi, nih..." lanjut si pembicara dengan suara lemas.

Warung ditutup, dan rapat umum pun berakhir

Kamis, 06 Januari 2011

Januari

Hujan. Januari memang selalu datang membawa hujan. Rinainya melantunkan harmoni saat menyentuh dedaunan, tanah, dan atap rumah.

Duduk di beranda rumah, seorang lelaki tua menikmati kopi dan rokok kreteknya. Kabut kecil dari mulut dan kedua lubang hidungnya seperti membentuk lambaian tangan dari orang-orang yang dicintainya

"Pak, berhenti merokok, dong... Itu kan nggak bagus bagi kesehatan Bapak..." Begitu kata putrinya kemarin.

"Iya, Nak, besok Bapak berhenti merokok. Ah, kau semakin mirip saja dengan ibumu..." Jawabnya lembut.

Sambil menikmati hangatnya kopi, ia meresapi sisa-sisa kehangatan yang tertinggal saat merayakan tahun baru bersama anak-anak dan cucu-cucunya kemarin.

Memeluk cucu baginya seperti mengembalikan masa mudanya. Masa-masa dimana ia bersama dengan istrinya tercinta, memanjakan anak-anaknya yang sekarang telah menjadi orang tua dari malaikat-malaikat mungil itu. Ia seperti mendapatkan kembali keceriaan anak-anaknya dulu di rumah masa kecil mereka. Sungguh dia tidak ingin kehilangan saat-saat itu.

Dan sebagaimana kehidupan telah mengajarinya, di mana ada pertemuan selalu akan ada perpisahan, siang tadi, anak-anak dan cucu-cucu harus kembali pulang ke kota. Mereka memilik dunianya sendiri. Dan kota mempunyai kesibukannya sendiri. Ia mengantar mereka yang dicintainya sampai ke persimpangan jalan besar. Satu persatu mendapatkan pelukan yang hangat dan kuat darinya.

"Dadaaa, Opunggg...!!!" Teriak cucu-cucunya sambil melambaikan tangan. Dibalasnya lambaian tangan para malaikat kecilnya dengan sepenuh senyuman.


Kopi hangat sudah habis, begitu juga rokok kreteknya. Malam datang membawa sepi, ia masuk ke dalam rumah, memandang photo istrinya, lalu bernyanyi :

Na sonang do hita nadua
Saleleng ahu rap dohot ho
Nang ro di na sari matua
Sai tong ingotonhu do ho

Mungkin Januari memang sengaja datang membawa hujan untuk menemaninya bernyanyi.

Hupeop sude denggan ni basam
Huboto tu ahu do roham
Nang ro di na sari matua
Sai tong ingotonhu do ho






***Catatan : Terjemahan lagu Na sonang do hita nadua :

Bahagianya kita berdua
Selama aku ada bersama dirimu
Hingga tiba pada masa tua

Yang kuingat hanyalah dirimu

Kurasakan semua keindahan cintamu
Ku tahu hatimu hanya untukku

Hingga tiba pada masa tua 
Yang kuingat hanyalah dirimu




Minggu, 02 Januari 2011

Pada Langit Januari

Baru saja selesai ribuan kembang api berpesta di langit malam,
Sebuah pesan di ponselku berkata : "Happy new year! Miss you so much."

Dan sepi langit malam yang telah ditinggal pergi oleh eloknya keramaian kembang api, perlahan mulai membentuk garis-garis wajahmu.

Seketika jantung ini berdetak tak menentu.
Ah, please... Jangan bawa aku kembali pada kesedihan masa lalu.

Serupa pedihkukah rindu yang kau rasakan?
Bertanya jantungku pada wajahmu di langit malam itu

Perlahan garis-garis yang membentuk wajahmu memudar
Lalu langit Januari menurunkan embun serupa air mata yang mengalir membasahi pipi dedaunan.