Minggu, 24 Desember 2017

Sepatu

Lelaki itu merasa geli sendiri memandangi sepatu kesayangannya yang terlihat seperti sedang tersenyum.

"Malam Natal akan tiba dalam beberapa jam lagi. Tidak baik sepatu ini nanti senyum-senyum sendiri di dalam gereja. Apa lagi kalau sampai mangap. Tidak boleh!" katanya dalam hati.

Juru selamat sepatu adalah tukang reparasi sepatu. Segera ia berangkat dengan misi penyelamatan.

"Wah, banyak pasiennya ya, Pak?" sapanya kepada bapak tua tukang sol sepatu sambil menyerahkan sepatunya.

"Lumayan, Mas... Rejeki mah ada aja."

"Tolong yang rapi ya, Pak, saya mau pakai untuk natalan."

Bapak tua tukang sol sepatu itu menganggukkan kepala sambil memperhatikan senyum pada sepatu yang kini ada di tangannya.

"Tak ada yang lebih tabah daripada sepatu," kata Bapak tua itu sambil menjahit sepatu yang berserah penuh kepadanya.

"Lho... Itu mirip sajaknya Sapardi... Bapak suka puisi juga?"

"Iya, Mas. Kadang-kadang saya juga bikin puisi. Tapi mana ada yang mau mendengar atau membaca puisi tukang sol sepatu seperti saya."

"Kirim ke koran aja, Pak..."

"Malu ah, Mas... Nanti dikira orang saya ini penyair. Padahal cuma tukang sol sepatu."

Lelaki pemilik sepatu hanya tersenyum mendengar jawaban bapak tua itu.

"Beres!" kata bapak tua itu setelah menyelesaikan tugasnya. "Semoga awet ya... Oh, iya, selamat Natal ya, Mas..."

"Terima kasih. Bapak Natalan juga?"

"Nggak, Mas. Saya agnostik."

"Busyet..." kata Si Pemilik sepatu dalam hati sambil tersenyum. Kali ini sambil menggaruk kepalanya.

"Semoga Natalannya meriah ya, Mas Penyair," kata bapak tua itu sekali lagi

"Makasih ya, Pak... Tapi saya bukan penyair, lho... Saya penginjil."

"Iya, saya kira juga begitu. Tampak jelas dari bentuk sepatunya."

"Hahaha..." Si pemilik sepatu hanya tertawa sambil memandangi hak sepatunya yang telah menipis pada sisi luarnya.

Mengucapkan terima kasih sekali lagi, lelaki itu mohon diri kepada bapak tua tukang sol sepatu.

Malam Natal tiba dengan segala kelembutannya serupa wajah bayi. Bintang-bintang berkerlap-kerlip gembira dalam rangkaian indah menyerupai gambar sepasang sepatu.

Lelaki itu memasuki gereja dengan senyum riang. Seperti senyum seorang anak kecil yang bahagia mendapatkan sepatu baru di Hari Natal.

Kamis, 21 Desember 2017

Untuk Bastian

Bastian sayang, sudah lama sekali aku ingin menulis satu puisi untukmu, tapi selalu saja aku gagal menuliskannya.

Lebih dari setahun sejak kehadiranmu ke dunia ini, belum juga terangkai kata-kata terbaik untuk dirimu. Ternyata menulis puisi itu bukanlah hal gampang seperti yang sering dikatakan tukik-tukik itu. Hahaha…

Kutulis catatan ini, Bastian, setelah baru saja kau tertidur di pundakku. Ketika badanmu hangat karena gigimu akan bertambah lagi.

Kepalamu yang mungil kaubenamkan di pundakku, seakan ingin meletakkan semua rasa sakitmu di situ. Air mata dan liurmu menyatu, membentuk sungai kecil yang mengalir di punggungku, mengadu kepada daging dari mana kau berasal. Kunyanyikan lagu Madekdek ma Gambiri da Bastian untukmu.

Bastian, minggu terakhir di bulan Juni itu, tangisan pertamamu begitu kuat menembus dinding dan kaca-kaca ruang persalinan. Jam sembilan malam waktu itu. Aku tertawa mendengar tangisanmu yang keras itu. Kau pasti keras kepala, pikirku. Hahaha… apakah tangisan pertama seorang bayi bisa memberi kesan tentang sifatnya kelak? Aku tak tahu. Tapi, Bastian, pikiran orang dewasa memang suka sekali menilai sesuatu dari kesan pertama.

Tubuhmu yang begitu mungil kemudian dibawa oleh perawat ke dekap susu ibumu. Wajah Ibuku, opung borumu, terlihat bahagia menyambut kehadiranmu.

Aku mempersiapkan nama Rain untuk dirimu. Tapi di hari engkau lahir di bulan Juni itu tak ada hujan. Hanya ada daun-daun jatuh dipetik angin. Nama itu tak jadi untukmu.

Lalu setelah kau dan ibumu dipindahkan ke kamar perawatan, kuletakkan ponselku di dekatmu. Mp3 di ponsel menyanyikan musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni, walau pun tak ada hujan di bulan Juni itu. Harapanku kau tabah, arif dan bijak seperti puisi itu. Bukankah begitu hidup harus dihadapi supaya kita mengerti arti kata suka dan duka?

Dan Bastian, ibukulah, opung borumulah, yang kemudian memberimu nama yang sekarang melekat di dirimu. Keren ya, nama yang sama dengan seorang seorang dokter dan etnolog Jerman, Adolf Bastian, yang mempopulerkan nama Indonesia ke seluruh dunia lewat laporan perjalanan dan penelitiannya. Ibuku senang, karena namamu senada dengan namanya. Basaria-Bastian.

Bastian, anakku sayang, hari ini, 22 Desember, adalah hari lahir opung borumu. Bertepatan dengan Hari Ibu yang dirayakan di negeri kita ini. Terasa sekali bahwa hari ibu itu menjadi miliknya, dan menjadi milik kami anak-anaknya.

Kau tahu, Bastian, di setiap Hari Ibu, banyak sekali ucapan dan tulisan tentang kebaikan-kebaikan seorang ibu disampaikan. Kebaikan yang salah satunya kusaksikan pada ibuku, pada opung borumu; bagaimana tangannya yang begitu cekatan memandikanmu, membersihkan dirimu dan memakaikanmu popok setelah kita pulang dari rumah bersalin.

Apa yang ia perbuat kepada diriku dulu seperti terulang kembali; bernyanyi memberikan kenyamanan, memberi kehangatan dalam dekapan dan membersihkan tokai bapakmu ini, itu juga yang dilakukannya untukmu. Bagaimana seorang anak bisa membalas kebaikan seorang ibu kalau begitu?

Bastian, dalam sebuah percakapan, seorang teman berkata kepadaku, bahwa ia sangat menyukai puisi-puisiku tentang ibu. Tetapi kemudian dia berkata bahwa dia tak tahu rasanya punya ibu.

Aku terkejut mendengar perkataannya. Agak lama aku seperti orang bisu, tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapannya. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menghentikan percakapan kami. Mungkin itu kesedihan, tetapi kesedihan yang saat itu belum begitu kumengerti.

Bastian sayang, biasanya setiap tanggal 22 Desember, aku selalu mencium kepala dan kedua pipi opung borumu dan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Tak ada perayaan besar, hanya ngobrol-ngobrol kecil antara ibu dan anak lelakinya, sambil minum Coca cola atau Sprite. Tak ada lilin dan tak ada bunga untuknya.

Bastian, seperti kebanyakan anak kepada orangtuanya, aku punya mimpi memberangkatkan ibuku ke tanah terjanji, melihat tempat di mana Kristus lahir. Ke Betlehem, lalu Yerusalem, Sungai Yordan, dan tempat-tempat penuh makna lainnya yang tertulis di dalam alkitab.

Tapi ternyata tahun ini mimpi itu harus pupus. Opung borumu sudah tak ada lagi bersama dengan kita. Di saat terakhirnya di rumah sakit, aku meminta kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepada opung borumu. Tetapi Tuhan memberikan yang lain. Dia menunjukkan kuasaNya. Bukan kehendak kita yang jadi, tetapi kehendakNyalah yang jadi. Opung borumu harus pergi sebelum semua itu terwujud. Kadang aku merasa bahwa sebagai seorang anak, aku terlalu lambat mewujudkannya.

Dan begitulah, Bastian, opung borumu, perempuan yang selalu kucium kepalanya itu tak sempat menjejakkan kakinya di tempat di mana Kristus dilahirkan, tapi ia berjumpa langsung denganNya. Bertemu muka dengan muka.

Opung borumu pergi menyisakan kesedihan untukku. Aku bersedih bukan karena tak tahu kemana opung borumu pergi. Tetapi karena aku tak bisa lagi ngobrol ini itu dengannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil bersamanya seperti “lagi ngapain?”, “banyak yang beli buku?”, atau “udah makan belom?”, sekarang terasa begitu berarti. sebuah lagu penghiburan kemudian menguatkanku, bahwa suka dan duka dipakaiNya untuk kebaikanku.

Bastian, hari ini aku baru tersadar, bahwa aku tak pernah memberikan bunga kepadanya. Juga di setiap hari ulang tahunnya. Tetapi sekarang aku selalu membawakan bunga untuknya, setiap aku berkunjung ke kediamannya yang baru, setiap kali aku kangen ngobrol-ngobrol dengannya. Olehnya kini aku tahu, Bastian, bahwa apa yang gagal diucapkan lewat kata bisa disampaikan lewat bunga.

Dan Bastian, sekarang aku juga mulai mengerti apa yang dikatakan temanku itu tentang tak memiliki ibu. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya tak punya ibu. Sepi sekali rasanya… Benar-benar sepi.

Cepatlah besar anakku sayang. Jadilah lelaki yang lembut. Jangan keras kepala sebagaimana aku sering dikatakan orang-orang terbaik di dekatku. Nikmatilah waktu-waktu yang indah dan berharga bersama ibumu. Semoga cepat hilang rasa sakit yang menyertai bartambahnya gigimu.

Selamat tidur, Bastian, semoga di hari yang lain aku bisa menuliskan satu puisi yang bagus untukmu. I love you.



December 22, 2015 at 9:59pm

Rabu, 20 Desember 2017

Doa

"The first duty of love is to listen." - Paul Tillich.

                               *****

Seorang perempuan cantik berjalan mendekat ke arah di mana saya duduk. Matanya sipit seperti mata saya. Senyumnya manis seperti senyum saya. Lalu dia duduk di sebelah saya. Harum parfumnya yang manis mengepung saya. Pintu Bus kota kembali ditutup dan  melanjutkan perjalanan. Suasana tiba-tiba terasa hening. Suatu kehening yang harum.

Perempuan cantik ini sepertinya pendiam, sama seperti saya yang juga pendiam. Dalam hening yang harum, saya berdoa kepada Tuhan supaya saya dijadikannya orang yang pandai bicara.

                                 *****

Setelah sekian waktu hening, saya memberanikan diri menoleh ke arah wajahnya. Saya ingin mengajaknya bicara, mencoba berkenalan, ingin tahu namanya. Dia menoleh ke arah saya dan memberikan satu senyuman manis. Saya balas senyumnya, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut saya.

Dia menundukkan kepala, membuka tas yang ada di pangkuannya, lalu mengeluarkan kotak berwarna hitam yang berisi banyak gantungan kunci dan gelang-gelang tangan yang terbuat dari benang.

Kembali ia memberikan senyumnya yang manis itu sembari menyodorkan kotak hitam itu kepada saya. Saya bingung dan menatap wajahnya. Dia kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala, menunjuk ke arah kotak itu dengan wajahnya.

Di bagian depan kotak terdapat kertas laminating yang bertuliskan: "Saya bisu dan tuli. Ini buah karya saya. Belilah beberapa dan bayarlah seikhlasnya. Terima kasih."

Saya kembali menatap wajahnya. Dan lagi-lagi dia memberikan senyumnya kepada saya. Saya mengangguk. Lalu saya ambil dua buah gantungan kunci dan memberikan selembar uang kepadanya.

"Dua," kata saya kepadanya tanpa mengeluarkan suara, memberikan simbol victory dengan jari-jari saya ke arahnya. Dia mengangguk.

Saat saya memasukkan gantungan kunci itu ke saku saya, ia menyentuh lembut bahu saya dan memberikan dua buah gelang cantik kepada saya. Dia tersenyum menganggukkan kepala, supaya saya mau menerima kedua gelang itu.

Saya terima gelang itu sembari menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Ucapan yang juga tanpa suara. Dia tersenyum senang.

Lalu dia bangkit berdiri. Mengucapkan sesuatu yang tak bisa saya dengar sambil telapak tangannya bergerak dari sisi pipi kanannya mengayun ke arah depan wajahnya, ke arah saya, seperti sedang mengucapkan terima kasih, saya kira. Saya menganggukkan kepala.

Dia kemudian membalikkan tubuhnya, berjalan menuju pintu keluar, berbaris dengan beberapa penumpang yang juga ingin turun, meninggalkan saya dengan harumnya yang manis itu. Saya pandangi ujung rambutnya yang jatuh indah di punggungnya, sampai kemudian hilang di keramaian.

Pintu bis kembali ditutup dan melanjukan perjalanan. Hening kembali datang menyerbu. Tuhanku, kata saya kepadaNya, jadikankah juga aku ini seorang yang pandai mendengar.

Senin, 04 Desember 2017

Terima Kasih

Namanya siapa? tanya seorang guru menghampiri saya. Fidelis, Bu, kata saya membungkuk meraih tangannya. Wajahnya yang tua memandangi wajah saya. Ya, ampun, Fidelis, kamu berubah banget. Saya membalasnya dengan senyuman. Mungkin yang diingatnya adalah Fidelis yang mungil dan manis di SMP dulu. Main ke rumah ya, katanya. Iya, Bu, kata saya.

Percakapan kami terhenti oleh instruksi dari panitia yang meminta setiap yang hadir melambaikan tangan pada drone yang akan mengabadikan kami. Kami melambai ke atas, berteriak seperti anak kecil. Puisi GM seketika hadir di benak saya. Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.

Selesai drone mengabadikan kami, kembali ia menawari untuk main ke rumahnya. Saya mengangguk. Masih di Ceger kan, Bu? tanya Oma, seorang teman di samping saya. Masih, jawabnya. Siap, Bu, kata teman saya, nanti kita main ke sana. Bu guru kami tersenyum, lalu kembali ke tempat yang disediakan panitia untuk para guru.

Gua lupa, Ma, kata saya kepada Oma. Namanya bu siapa ya? tanya saya. Bu Rosmawinil, jawabnya. Oh iya, kata saya. Namanya terasa dekat, sesuatu yang akrab di telinga saya, tapi saya lupa.

Ngajar apa dulu? tanya saya. Dia berpikir sejenak. Ngajar bahasa inggris kayaknya, jawabnya. Bahasa inggris bukannya Bu Mira? tanya saya lagi. Oma berusaha mengingat-ingat lagi. Matematika, kali ya? katanya. Saya nyengir. Saya berusaha keras untuk mengingatnya. Dan saya masih tetap tidak ingat.

27 tahun memang bukanlah waktu yang singkat. Ingatan telah tertimbun oleh banyak hal dan peristiwa. Saya pandangi wajah teman-teman saya. Wajah dan tubuh mereka berubah. Beberapa teman perempuan kini mengenakan jilbab. Tubuhnya mekar. Teman-teman lelaki juga demikian. Banyak yang perutnya berubah seperti galon Aqua. beberapa masih dapat saya kenali, sebagian lagi lupa-lupa ingat. Sebagian lagi benar-benar lupa. Kita memang tak selalu bisa mengandalkan ingatan ya?

Du, elo masih inget guru-guru kita itu? tanya saya kepada Edward teman saya. Sebagian, jawabnya. Guru-guru kita masih ada gak yang inget sama elo? tanya saya lagi. Kagak! jawabnya. Tawa kami lantas berderai-derai.

Kemudian kami masuk pada acara pemberian bunga dan kenang-kenangan kepada para guru. Guru-guru kami berdiri di bagian ruangan yang dijadikan panggung. Kami, para murid berbaris, maju satu per satu menyalami para guru.

Neneng, seorang teman kami, membacakan puisi dan menyanyikan lagu ungkapan terima kasih kepada para guru. Saya membungkuk meraih tangan guru-guru saya, mengucapkan kata-kata terima kasih. Tiba di hadapan Bu Rosmawinil, saya tak dapat menahan diri untuk tidak memeluknya. Saya mendekapnya erat seperti memeluk ibu saya sendiri. Saya menangis sugugukan di pundaknya. Air mata saya jatuh di jilbabnya. Saya biarkan perasaan saya mengalir. Untuk hal-hal yang sempat terlupakan, untuk hal-hal yang belum mampu lagi saya ingat, dan untuk apa yang telah didedikasikannya bagi kami.

Terima kasih, Bu, telah hadir dan memberi di hidup kami.