Senin, 20 Oktober 2014

PULANG; Ada yang Pergi ada yang Kembali

Resensi Buku
 
“I’m nearer to God,” ucap lirih seorang jurnalis kawakan sebelum ia berpulang kepada Sang Khalik. Penyakit kanker paru-paru telah merengggut nyawanya beberapa waktu lalu.
 
Dalam ziarah panjang kehidupan, akhirnya kita akan merindukan pulang. Entah untuk sejenak atau sedikit lebih lama. Kadang-kadang sangat lama, dan banyak yang pulang untuk tidak kembali.
 
Tema ‘Pulang” banyak diangkat oleh para penulis karya sastra. Salah satu diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Fidelis R. Situmorang (FRS) dalam novel pendek terbarunya. Saya sebut novel pendek, karena buku ini hanya berisi 106 halaman, bukan (minimal) 200 halaman sebagaimana lazimnya sebuah novel.
 
Dalam PULANG, ia mengangkat kisah-kisah kehidupan yang dekat dengan keseharian. Ada cerita tentang istri yang menanggung rindu pulang saat dirawat di rumah sakit, ada pula kisah anak lelaki yang tak mau pulang-pulang karena marah pada ayahnya, dan ada ibu tua yang setelah berjuang untuk tetap hidup akhirnya menyerah pada takdir untuk pulang ke keabadian.
 
Fidelis memberi ruang yang luas kepada pembaca untuk menentukan sendiri makna dari masing-masing cerita. Ia menyusun membuat kumpulan ceritanya dalam struktur yang khas, mirip dengan ‘novel-novel’ sebelumnya. Ada tokoh utama, selebihnya tokoh-tokoh pendamping. Yang menarik, tokoh-tokoh pendamping itu bercerita sendiri mengenai kehidupannya dalam porsi yang maksimal. Jadi, FRS menulis bukan hanya mewakili tokoh utama yaitu Nathan, juga tokoh-tokoh lain seperti Martha istrinya, Patar dan ayahnya, bahkan adik iparnya (Ruben). Semuanya ditulis memakai kata ganti orang pertama tunggal (Aku).
 
Kita harus membaca sampai selesai baru memahami bahwa cerita dengan judul “Rahasia” misanya, ditulis mewakili tokoh Ruben. Ia tidak mengikuti pola mainstream, dimana nama tokoh ditulis di awal tulisan.
 
***
 
Kisah PULANG diawali dengan lamunan Martha saat diopname di RS. Martha sedang menjalani biopsi untuk melihat apakah jaringan yang tumbuh di payudaranya berbahaya atau tidak. Dalam penantian yang mendebarkan itu –Martha harus menunggu hasil laboratorium yang menentukan nasib penyakitnya— ia mengenang rumah masa kecil dan adiknya yang telah tiada (hal. 1-3).
 
Penyakit, apapun itu, tampaknya selalu mengundang rasa takut akan sebuah peristiwa yang bernama kematian. Apalagi saat mengetahui pasien teman sekamarnya menderita penyakit parah yang mengancam nyawa. FRS  menetralisir keadaan itu dengan menghadirkan Nathan yang menghibur istrinya (hal. 6).
 
Kisah-kisah berikutnya dijalin oleh FRS melalui cerita dari Ruben semasa hidupnya (Rahasia), keharmonisan keluarga Nathan dan masa lalu keluarga ayahya (Kakek), kisah cinta romantis antara Nathan dan Martha, hingga pergumulan sahabatnya Patar, yang masih enggan pulang ke rumah ayahnya. Setting cerita yang dihadirkan semuanya bernuansa keluarga. Bisa jadi, tema keluarga adalah ‘trade mark’ FRS dalam menuangkan berbagai cerita.
 
***
 
Pulang mungkin hanyalah perjalanan akhir. Ibu tua itu akhirnya berpulang. Ayah Patar juga demikian (hal 83). Yang satu tak kuat menahan komplikai penyakit yang dideritanya, yang satu tak sanggup menahan rindu dan rasa bersalah karena mengabaikan anak. Nathan juga pulang, setidaknya dari perjalanan mendaki gunung Ciremai yang memberinya pelajaran berharga tentang kehidupan. Namun yang melegakan, penyakit Martha ternyata tidak berbahaya. Ia bisa pulang ke rumah. Namun ia memberikan empatinya kepada sesama penyandang kanker dengan memotong pendek rambutnya.
 
Meski benang merah buku ini cukup jelas, namun di beberapa bagian FRS menyelipkan satu-dua tulisan yang saya pikir tadinya hanya tempelan belaka. Misalnya ulasan tentang riwayat hidup Amir Syarifuddin di halaman 86. Atau kisah perjuangan HR Rasuna Said di halaman 54. Rupanya, itu semacam pengantar untuk membawa pembaca melihat kisah buku doa yang dipakai oleh keluarga sang ibu tua. Tampaknya ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi penulis terhadap kedua tokoh/pejuang tersebut.
 
Dalam PULANG, FRS menyusun kumpulan cerita yang bisa berdiri sendiri maupun bersambungan (saling terhubung). Barangkali tidak mudah membuat cerita dengan struktur demikian. Dibutuhkan kejelian dan persiapan yang matang.
 
Kita patut mengapresiasi terbitnya buku ini. PULANG bisa menyegarkan hati yang haus akan kehangatan keluarga. Hanya saja, ada satu bagian yang menurut saya tidak terlalu relevan dengan tema besar PULANG, yaitu pada cerita “Sepasang Mata” (hal. 95). Apabila bagian ini dilepaskan, tidak akan berpengaruh terhadap konsistensi keseluruhan cerita.
 
Sampulnya cukup unik dengan kesan tiga dimensi. Menurut saya gambarnya cukup mewakili tema kesedihan (sisi kelam di bagian dalam) dan tema kebahagiaan (sisi terang di bagian luar). Apresiasi dari saya untuk Ran Vanray yang merancang gambar sampulnya. 
 
(Erna Manurung, Pendidik, Pemerhati Sosial)
 
Dimuat di Tabloid Solafide Edisi IV/2014