Senin, 27 Desember 2010

Pohon Natal

Setelah sekian lama tiada berguna dan menjadi penghuni tetap di gudang yang pengap dan berdebu, pohon pisang pajangan dari plastik itu akhirnya memperoleh tempat terbaik di tengah-tengah ruang keluarga. Bak ratu sejagat dengan selendangnya, pohon pisang itu tersenyum manis diselendangi rangkaian lampu natal.

"Cantik pohon natalmu. Kontekstual!" puji seorang sahabat yang membantu menyulap pohon pisang pajangan itu menjadi pohon natal.
"Apa itu kontekstual?" tanya si pemilik pohon Natal
"Mana aku tahu. Teman satu kostku sering mengucapkan kata itu. Dia mahasiswa teologi. Pasti maknanya bagus"
"Oh... Gitu ya... Mungkin maksudnya keren?"
"Mungkin..."

"Padahal, tadinya, pohon pisang pajangan ini sudah mau aku tukar dengan abu gosok, lho..." kata si pemilik pohon natal

"Coba nyalakan lampunya!" pinta sang sahabat.

Lampu natal dinyalakan. Lalu rangkaian lampu natal berkerlap-kerlip dengan gembira, secara silih berganti mengucapkan selamat natal.

"Wah... Kontekstual banget...!" kata sang sahabat dengan decak kagum
"Keren banget maksudmu?"
"Iya... Maksudku begitu!"

Kedua sahabat itu saling berpandangan, tersenyum, lalu saling mengucapkan selamat Natal.

Selasa, 21 Desember 2010

Televisi Ibu

Di rumah kontrakan yang ruang keluarga, kamar dan dapurnya menjadi satu,
seorang ibu sedang asyik menonton televisi.
Hiburan terbaik satu-satunya yang dimilikinya,
setelah seharian bergelut dengan busa sabun dan pakaian-pakaian kotor milik tetangganya.
Pekerjaan yang menjadi tumpuan hidupnya.

Saat televisi kesayangannya menayangkan iklan,
ia menghampiri puterinya yang sedang bermain sendiri dengan boneka kertas bergambar puteri raja.

"Nak, nanti kalau sudah besar mau jadi apa?" tanya ibunya
"Aku mau jadi tivi aja, bu," jawab putrinya menatap mata ibunya
Tersenyum geli ia mendengar jawaban putrinya, "Kok, jadi tivi sih, nak?"
"Iya, Bu. Biar aku bisa selalu dekat di mata ibu," jawab putrinya lagi dengan manja sambil meletakkan kepalanya ke pangkuan ibunya.

Terkejut mendengar jawaban putrinya, dibelainya rambut putrinya dengan lembut.
Menit demi menit berlalu tanpa ada suara kecuali suara televisi.

"Tapi ibu nggak pernah membelai tivi seperti ibu membelai kamu, lho..." goda ibunya. "Masih mau jadi tivi?"
Tidak ada jawaban.
Dipeluknya buah hatinya, lalu dipindahkan puteri tercintanya
ke matras tipis yang menjadi tempat tidur mereka.
Dimatikannya televisi, lalu menemani putrinya tidur.







Jumat, 17 Desember 2010

Pangkalan Ojek Sayang Istri

PANGKALAN OJEK SAYANG ISTRI. Lucu sekali nama pangkalan ojek itu.
"Ojek, Bang...!" kataku sambil melambaikan tangan.
Segera salah satu tukang ojek di barisan paling pinggir menyalakan motornya dan menghampiriku.
"Ke pasar gembrong, berapa?"
"20 ribu, pak"
"Mahal banget! 15 ribu aja ya?"
"17 deh, Pak..."
"15 aja deh..."
"Ayo, deh, naik..."
Sepakat dengan harga, akhirnya aku jadi menggunakan jasanya.

"Nama pangkalan ojeknya lucu ya, Bang"
"Hahaha... Iya, Pak. Si Kardi yang ngasih nama. Dia kepala ojek di situ. Saya wakilnya"
Wah, ada juga jabatan kepala ojek dan wakilnya. kayak di kantor aja. Kataku dalam hati.
"Dia sayang banget sama istrinya ya?"
"Halah... Boro-boro... dia mah paling galak sama istri. Kadang-kadang dia mau bentak-bentak istrinya di depan orang."

Tiba-tiba motor oleng. "Kenapa Bang?" tanyaku kuatir.
"Sialan! Kena paku!" jawabnya dengan nada dongkol
Kami berdua turun dari motor. Dia memeriksa roda belakang motornya.
"Bener kena paku. Apes dah. Maaf ya, Pak, harus tambel dulu, nih... Mau cari ojek lain, Pak?" tanyanya dengan wajah memelas.
"Nggak. Saya ga buru-buru," jawabku tak tega melihat wajahnya.
Beruntung tak jauh dari situ ada tukang tambal ban. Sudah ada 3 motor yang mengantri untuk ditambal.

Sambil menunggu bannya ditambal, aku mengajaknya ngobrol lagi tentang pangkalan ojek mereka.
"Ada berapa orang yang ngojek di sana, Bang?"
"Ada 6 orang"
"Ga banyak ya. Kenapa teman abang tadi sering bentak-bentak istri di depan orang?"
"Wah, namanya juga tukang mabok, Pak... kalau sewa lagi sepi, darah tingginya kumat. Tapi kalau sewa lagi rame, malemnya dia pasti mabok atau main judi. Nah, kalau istrinya nyamperin ke tempat judi atau ke pangkalan, pasti deh kena semprot. Saya kasihan ngelihat istrinya itu"

"Sebenernya yang paling sayang sama istri cuma si Nardi. Dia tuh, Kadang-kadang ga makan siang.
Kalo makan juga paling cuma sama kerupuk atau tempe doang. Ngojek dari subuh sampe jam 10 malem.
Supaya bisa bawa pulang uang banyak untuk istrnya katanya. Makanya dia kurus kering gitu kayak orang kena TBC.
Tapi istrinya gembrot banget, kayak gentong. Sering mintain duit ke pangkalan. Saya mah ogah, punya istri kayak gitu.
Si Nardi itu ga pernah jajan. Ngopi sama rokok juga mintanya sama kita-kita.
Makanya temen-temen di pangkalan agak sebel sama dia." lanjutnya

"Oh, gitu ya. Abang udah nikah juga?"

"Udah. Istri saya di kampung sama anak-anak. Ga kuat saya kalo bawa istri sama anak-anak ke Jakarta. Biayanya tinggi!
Saya 6 bulan sekali pulang kampung. Di sini ngontrak bareng sama temen-temen, patungan"

"Abang sayang banget sama istri Abang ya?" tanyaku sedikit bercanda
"Hahaha... Ga tau, ya... Kayaknya ga ada sayang-sayangan lagi deh," jawabnya sambil mengaruk kepalanya. "Sekarang mah saya ngojek gini cuma mikirin anak-anak aja. Ga tau ya, apa saya sayang sama istri saya. Ga kepikiran lagi yang kayak gitu."

Bapak udah nikah? Dia balik bertanya.
"Sudah," jawabku. Segera saja wajah istriku tergambar jelas dalam benakku. Sudah hampir satu tahun aku tak mendengar kabarnya sejak dia memutuskan untuk menjadi TKI di timur tengah.
Besok hari ulang tahun pernikahan kami. Biasanya kami merayakannya di warung pecel lele dekat pasar.

"Ayo, Pak, lanjut lagi. Udah beres nih, bannya," kata tukang ojek membuyarkan lamunanku.
Sepanjang perjalanan dia bercerita terus tentang pangkalan ojek "sayang istri" dan teman-temannya. Tapi aku sudah tak konsentrasi lagi mendengar ceritanya. Pikiranku hanya tertuju pada wajah cantik istriku yang berada jauh di sana, yang tetap bekerja melayani majikannya, bahkan di hari ulang tahun pernikahan kami, besok.

Minggu, 12 Desember 2010

Lampu Natal

Malam semakin larut.
Lelaki itu mematikan lampu ruangan keluarga.
lampu natal di pohon terang dibiarkannya tetap menyala.
Lalu duduk bersandar memandangi kecantikan pohon natal dengan kerlap-kerlipnya

Kerlip lampu natal membawanya kembali ke masa lalu
saat puteranya berumur 1 sampai 2 tahun.
 Ia sering mencium hidung puteranya,
terutama ketika sedang menangis.
Semakin keras tangisannya,
semakin banyak hidungnya menerima ciuman.
Tentu saja istrinya sering marah demi membela hidung anaknya

Lalu kerlip lampu natal membawanya ke masa yang lain.
Masa di mana puteranya beranjak remaja.
Ia mulai sering merasakan kehilangan waktu-waktu bersama puteranya
Waktu-waktu mancing bersama, mengunjungi toko buku,
membicarakan tim sepak bola favorit mereka,
dan merangkai pohon natal ketika Desember tiba. Selalu putranya tercinta yang memasang hiasan bintang di puncak pohon natal.
Perlahan ia menyadari, bahwa putranya bukan lagi semata-mata miliknya
tapi juga menjadi milik teman-temannya


"Aku telah gagal menjadi seorang ayah." katanya dalam hati
Ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Seminggu kemarin, ia harus memasukkan puteranya
ke pusat rehabilitasi ketergantungan obat
Tak pernah menyangka bahwa puteranya tercinta telah begitu lama
berjalan sendiri menuju petaka


Tenggelam dalam sesal, seorang wanita telah berada tepat disampingnya.
Merapatkan tubuh dan menggenggam tangannya.

"Aku tahu apa yang kau pikirkan" Ucapnya pelan

Berusaha tersenyum memandang istrinya, ia menjawab,
"Aku tidak sedang memikirkan sesuatu,
hanya menikmati warna-warni cahaya lampu natal.
Tak terasa sebentar lagi natal ya?

Lelaki itu berusaha menyembunyikan kegelisahannya


"Sayang, aku ini isterimu, 20 tahun aku selalu ada bersamamu.
Aku mengenali semua kegelisahanmu..."
Kata perempuan itu sambil mengusap lembut kepala suaminya


Tak tahan menahan kepedihannya,
lelaki itu masuk kedalam pelukan isterinya,
menangis sesegukkan seperti seorang bayi di dada ibunya.
"Aku telah membelikan jaket kesukaannya sebagai hadiah natal..." Katanya terbata-bata
Menemaninya menangis, perempuan itu membelai lembut kepala suaminya.
"Maafkan aku, Pa..." Bisiknya lirih


Dari sebelah rumah terdengar lembut suara nyanyian natal:

O holy night the stars are brightly shining
It is the night of our dear Savior's birth
Long lay the world in sin and error pining
Till He appeared and the soul felt its worth

A thrill of hope, the weary world rejoices
For yonder breaks a new glorious morn
Fall on your knees
O hear the angels' voices

O night divine
O night when Christ was born
O night divine, O night
O night divine

Dan malam berjalan sangat pelan.Teramat pelan.
Kerlap kerlip lampu natal dengan setia menemani malam hening mereka.

Rabu, 08 Desember 2010

Bukan Penyair

Penyair?
Bukan! Saya bukan penyair!
saya hanya membuat cerita jadi puisi
dan membuat puisi jadi cerita.

Bingung?
Apalagi saya,
saya kan bukan penyair!




Selasa, 30 November 2010

Televisi

Minggu sore, aku diajak mampir ke kontrakan seorang kawan.
Ngobrol ngalor-ngidul sambil minum kopi.

"Sepi ya, ga ada tv. Ga bisa nonton bola dan film."
Ia berhenti sebentar dan menghirup kopinya.
"Sebenarnya minggu lalu uangku sudah cukup uang untuk beli tv, tapi dapet kabar dari kampung, keponakanku jatuh sakit. Jadi uang untuk beli tv aku kirim ke kampung," lanjutnya.

Ya, lebih baik tak punya televisi daripada tak punya hati, kataku dalam hati.
"Sekarang bagaimana keadaan keponakanmu?"

"Sudah sehat. Kemarin dapet kabar lagi dari kampung, katanya dia minta dibelikan televisi," jawab temanku sambil mengaruk-garuk kepalanya.


Sabtu, 06 November 2010

Di Jalan Pulang

Di jalan pulang, kulihat seorang nenek dalam kebaya lusuh 

Berjongkok di tiang lampu merah, menatap sepi pada keramaian 

Membuka tangannya, berharap belas kasihan para pengendara yang lewat. 


Seketika pandanganku menjadi buram oleh titik-titik air. 

Bertanya dalam hati, kemana gerangan anak-anaknya tercinta?


Kurogoh sakuku, memberi apa yang diinginkannya

Tapi entah kenapa, rintik air di mataku tak juga mau berhenti  


Setiba di rumah, kucium pipi ibuku yang juga mulai keriput. 

Dalam heran ia tersenyum. 

Makin cantik kulihat

Lalu kucium pipinya sekali lagi.

Rabu, 03 November 2010

Suatu Pagi di Mentawai

Mentari pagi, katakan padaku,
kemana ombak membawa membawa ibuku pergi?

Jumat, 22 Oktober 2010

Kenangan Masa Kecil

Kenangan masa kecil seperti senja cantik dengan senyuman manis 

yang berlari-lari kecil menyambut malam.

 

 

Rabu, 06 Oktober 2010

Oktober

                                

                                Tak lagi kunanti pelangi.

                                Kuwarnai saja hujan! 
 

Senin, 13 September 2010

Autumn

Sepi berada di sini. Pepohonan ini seakan sedang bersedih melepaskan daun-daunnya. Ah, aku tak suka suasana sepi sedih seperti ini.
Setiap menit selalu kupalingkan pandangan ke arah ujung jalan, berharap mendapati sosok indah dirimu berjalan dengan senyuman sambil melambaikan tangan ke arahku.

Hembusan sejuk angin kotamu bagaikan suatu keramahan yang menghibur aku setiap kali tak kudapati sosok dirimu di ujung jalan, kecuali hanya hamparan dedaunan kuning kemerahan yang berguguran di sepanjang jalan.

Oh, aku mengenali hembusan lembut angin ini. Ia juga yang selalu bermain-main riang dengan indah rambutmu dan membawa keharumannya sampai memenuhi jantungku.


"Aku tahu cinta ini akan selamanya," ucapmu waktu itu dengan pipi yang merona kemerahan. Aku mengangguk dipenuhi kebahagiaan, walaupun tak tahu seperti apa rupa cinta yang selamanya itu.

"Kamu pasti tak mengerti," katamu sambil tertawa mengodaku.
"Laki-laki tidak akan pernah mengerti arti kata cinta."

Aku hanya tersenyum dan kemudian mencium keningmu. "Apakah cinta harus dimengerti?" aku balas menggodamu. Kau hanya menggelengkan kepala, kemudian memelukku dengan erat dan berkata, "Aku bersyukur ada kamu dalam hidupku."


Sepi berada di sini. Kucoba mereka rupa cinta yang selamanya itu sambil mengingat kembali segala tentang dirimu. Indah matamu, manis senyummu dan harum rambutmu. Lalu sehelai daun menyentuh bahuku dengan lembut, sebelum akhirnya ia terjatuh ke tanah.

Entah kenapa aku menjadi sangat takut. Apakah nanti waktu bisa membuat orang akan melepaskan cintanya, seperti pepohonan ini yang melepaskan daun-daunnya dan membiarkannya mengering? Apakah cinta yang selamanya itu benar-benar ada?


Sepi berada di sini. Terngiang kembali ucapan indahmu dulu, "aku tahu cinta ini akan selamanya."
Di taman ini tak ada suara lain yang terdengar, kecuali suara detak jantungku yang selalu hanya menyebut namamu.

Rabu, 09 Juni 2010

Dua Belas Tahun Sudah

"Seperti biasa, dia selalu mencium tanganku apabila pamit meninggalkan rumah. Juga pada hari itu. Lucu sekali anakku itu, waktu kecil, sepuluh bulan sudah bisa melangkahkan kaki. Matanya bagus... Matanya bisa tersenyum," ucapnya pelan. Aku melihat rindu mulai menggenang di sudut matanya.

"Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar bagi seorang ibu untuk menantikan anaknya pulang, bukan?" katanya kepadaku dengan bibir bergetar. Aku terdiam, tak tahu harus berkata apa. Dibelainya bingkai foto yang berisi wajah anaknya dengan lembut, dan dipeluknya gambar itu seperti sedang memberikan kehangatan pada anak bayi yang lucu.

Aku melihat genangan rindu di pelupuk matanya telah berubah menjadi telaga. Lalu aliran air matanya melanjutkan cerita yang tak bisa diselesaikan oleh kata-kata.

Letih bercerita, perempuan itu pun tertidur sambil mendekap foto anaknya. Di luar hujan turun dengan lirih, seakan tidak ingin mengganggu tidur seorang ibu yang sedang merindukan anaknya. Terlihat sedikit senyum di sudut bibir perempuan itu. Mungkin ia bermimpi bertemu dengan anaknya yang sekian lama tak kembali. Bercanda bahagia. Berdua. Ibu dan anaknya tercinta.

Kamis, 22 April 2010

Boleh Aku Memanggilmu dengan Kata Sayang?

Semoga kita selalu dalam perlindungan Tuhan.



Hai, Pemuda yang baik. Apa kabar? Mungkin kamu terkejut menerima surat ini. Iya, ini aku, putrinya Yefta. Aku mengumpulkan seluruh keberanianku untuk bisa menulis surat yang sekarang ini ada di tanganmu.


Seperti yang juga kamu ketahui, hidupku tidak akan lama lagi. Semakin dekat akhir hidupku, semakin aku merasakan ketakutan dan kesedihan yang teramat sangat. Sering aku tak percaya bahwa hal ini akan terjadi kepada diriku. Setiap hari aku berharap semoga semuanya ini hanya mimpi belaka.



Selama hampir dua bulan di pegunungan ini, sahabat-sahabatku mencoba untuk menghiburku dengan berbagai cara. Mereka bernyanyi, memainkan rebana dan menari, juga menceritakan banyak hal-hal yang lucu untuk bisa membuat aku tertawa. Tapi setiap aku melihat ke dalam mata mereka, terlihat jelas pandangan iba mereka terhadapku. Mereka berusaha untuk menyembunyikannya di balik senyum mereka. Tapi aku tetap dapat melihat dan merasakan bahwa mereka jatuh kasihan kepadaku. Ya, mungkin karena mereka sangat menyanyangiku. Sungguh beruntung aku memiliki sahabat-sahabat seperti mereka.


Dari semua yang mereka lakukan untukku dan dari semua yang mereka ceritakan kepadaku, yang paling aku sukai adalah ketika mereka bercerita tentang kamu. Aku senang mendengar cerita tentang kamu dan segala hal tentang dirimu. Sering aku meminta mereka untuk menceritakannya kembali. Ada suatu perasaan yang sangat aneh tapi begitu menyenangkan kalau aku mendengar cerita tentang kamu.



Aku teringat kembali ketika pertama kali aku bertemu kamu. Kamu begitu sopan, memiliki tatapan mata yang lembut dan senyum yang sangat ramah. Aku sungguh menyukainya. Itu semua membuat aku sering berharap supaya setiap hari bisa bertemu denganmu. Apakah waktu itu kamu juga memiliki perasaan yang sama seperti apa yang aku rasakan...?



Dan ketika salah seorang temanku meyampaikan salam darimu untukku, Sungguh aku merasakan kesenangan yang luar biasa, sesuatu perasaan dan gairah aneh yang tidak pernah kurasakan namun sungguh sangat menyukakan hatiku.



Kamu tahu...? Sejak saat itu aku mulai sering berhayal seandainya engkau adalah kekasihku. Sungguh sangat menyenangkan menjadi kekasih dari seorang yang baik dan tampan seperti kamu. Setiap pulang berlatih rebana aku memilih jalan pulang yang melewati rumahmu, walaupun sebenarnya itu lebih jauh untuk sampai ke rumahku. Atau aku pura-pura tertinggal sesuatu di tempat latihan, supaya bisa sekali lagi melewati rumahmu. berharap bisa melihat kamu dan mendengar suaramu memanggil namaku.


Entah kenapa aku menceritakan semua ini kepadamu. Mungkin karena hidupku tidak akan lama lagi. Rasanya ingin memiliki seorang kekasih sebelum hidupku ini berakhir. Walaupun aku nantinya akan dikenang sebagai gadis yang tidak pernah "kenal" laki-laki.

Oh, ya... Boleh aku memanggilmu dengan sebutan Sayang...? Boleh ya...



Sayang,

Akhir dari kehidupan adalah misteri bagi setiap orang. Mereka tidak tahu kapan dan bagaimana hidupnya akan berakhir. Tapi itu tidak berlaku bagiku. Aku tahu kapan hidupku akan berakhir, dan bagaimana hidupku akan berakhir. Bagiku ini terasa sangat menyedihkan sekaligus menakutkan. Aku tidak tahu harus mengatakan apa tentang hal ini. Aku juga tak tahu apakah aku harus membenci ayahku yang menyebabkan aku harus mengalami hal ini, padahal aku sangat menyanyanginya. Atau mungkin Tuhan sangat menyanyangiku hingga ia ingin aku segera tinggal di dalam rumahnya. Tapi yang jelas aku sangat takut menghadapi ini semua. Jantungku sering berdebar kencang dan perutku sering terasa mual karenanya.


Sayang,

Berdoalah untukku supaya aku diberi kekuatan untuk menghadapi ini semua. Sungguh akhir-akhir ini aku ingin kamu ada di sini untuk menemaniku. Menemaniku sebagai seorang kekasih yang memberikan pelukan perlindungan yang hangat ketika rasa takut itu datang. Agar aku bisa membenamkan wajahku di dadamu sampai aku dapat tertidur dengan tenang.


Sayang,

Bukankah Allah yang memiliki hidup? Jika sekiranya Ia mengijinkan aku hidup lebih lama lagi, aku ingin hanya dirimulah yang menemaniku di seluruh masa hidupku. Tapi jika tidak, aku ingin wajahmu ada dekat di mataku supaya aku bisa membawa gambar wajahmu saat memasuki rumah Tuhan.



Sudah dulu ya, sayang. Aku bersyukur mampu menuliskan surat ini kepadamu. Sungguh suatu anugerah kalau aku ternyata bisa merasakan jatuh cinta kepadamu di saat seperti ini.




NB : Aku titip ayah ya... Anggaplah dia sebagai orang tuamu sendiri.




Catatan :

* Yefta adalah orang Gilead yang memerintah sebagai hakim atas orang Israel. Ketika Menjadi Panglima perang, ia bernazar kepada Tuhan, jika ia memenangkan peperangan melawan Bani Amon, maka apa yang keluar dari pintu rumahnya ketika ia pulang berperang akan diserahkan kepada Tuhan sebagai korban bakaran.

** Ketika Yefta pulang ke rumahnya, putri tunggalnyanya keluar menyambut dia dengan memukul rebana dan tarian. (Hakim-Hakim 11 : 34)

*** Yefta melakukan apa yang dinazarkannya.