Sabtu, 21 November 2009

Tanpa Dirimu

Semua berjalan seperti biasa, Sang Surya masih menampakan diri dari timur dan pergi beristirahat ke ufuk barat. Lalu senja datang membukakan pintu bagi sang malam, yang kemudian menaburi langit dengan ribuan bintang-bintang mungil nan elok yang mengerling menggemaskan.

Ya, Semua berjalan seperti biasa kecuali hidupku. Ada yang hilang dari diriku yaitu dirimu. Bidadari cantik yang biasanya menemani hari-hariku dengan belaian lembut penuh sayang dan kata-kata mesra penuh cinta.

Bagai lumpuh tak berdaya menjalani hidup tanpa dirimu. Namun aku berusaha untuk tetap tenang. Sekuat tenaga menahan butiran air yang mengembun di kedua mataku. Mengusapnya dengan cepat, agar tidak jatuh mengalir ke pipiku, tempat yang sering kau sentuh dan kau cium.

Kuhibur hatiku, berharap semoga sakit sepi ini hanya sementara. Berharap nanti akan terbiasa dan kuat menjalani hidup tanpa dirimu. Dan kuhabiskan waktu bermanja-manja dengan puisi, untuk sekedar melupakan kenangan indah bersama dirimu yang justru membuat hatiku makin sepi.

Ya... Aku berusaha untuk tetap tenang. Mencoba menjalani hidup seperti sebelum adanya dirmu. Tapi entah mengapa, hingga kini, masih saja hatiku menggigil dalam sepi. Tanpa dirimu.

Senin, 16 November 2009

Les Photos de Papa

"Mon Pere est un professeur de Francois," ujar kawanku sambil memandang foto ayahnya. Ucapannya membawa pikiranku melayang kembali kepada seorang lelaki mengagumkan yang biasa aku panggil Bapak. Bukan seorang guru atau orang terpelajar seperti ayah dari kawanku itu, melainkan hanyalah seorang nelayan di danau Toba.

Di Paris yang kemilau dengan jutaan warna-warni cahaya lampu ini, aku merindukan indahnya kemilau cahaya bulan yang dengan segala kelembutan mencium wajah cantik danau toba di desa kami tercinta, Paropo. Desa indah di mana Bapak tanpa kenal lelah membesarkan dan mendidik kami anak-anaknya dengan segenap kekuatan yang di milikinya.

"Nak, aku berharap kamu tetap di sini, karena kamu anak lelakiku satu-satunya. Tapi kalau kau ingin pergi untuk mengejar cita-citamu, pergilah... Tuhan akan menjaga engkau." Demikian Bapak berkata waktu aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halaman.

Bapak memelukku dengan sangat erat, seakan kami tak akan pernah bertemu kembali. Lalu aku pun pergi dengan meninggalkan kecemasan dan harapan yang tergambar jelas di mata orang tua itu.

Aku rindu berjumpa dengan Bapak, walaupun nanti hanya dapat kutemui di dalam bingkai kayu yang terpampang di dinding papan rumah kami. Di tepi danau toba.

Kamis, 12 November 2009

Turun mesin puisiku

Turun mesin puisiku
Setelah sekian lama setia bersamaku
Mungkin telah letih didera sang waktu

Sekarang puisiku berada di bengkel puisi nomor satu
Beristirahat untuk waktu seminggu
Agar kembali memiliki kekuatan baru.

Puisiku bukanlah puisi keluaran baru
Telah berumur lebih dari Sewindu
Kini hanya kuat menderu
Tapi lemah melaju
Puisi yang selalu menemaniku
Di jalan penuh debu.

Aku datangi mekanik puisiku
Yang terlihat memiliki tampang lugu
Tapi mungkin saja menipuku tanpa ragu
Mana aku tahu ...?
Mungkin saja ia memasangkan titik, koma dan tanda tanya palsu di puisiku
Atau mungkin juga suatu tanda seru palsu!

Tak sabar lagi aku menunggu
Kembali berada di dalam puisiku
Lalu melaju tanpa ragu
Menyusuri negeri-negeri baru
Di kerajaan buku

Jumat, 06 November 2009

Beautiful moments

Dalam rindu, kuusap lembut indah namamu yang terukir manis di kalung grafis ini.
Seakan mampu menyentuh indah bibirmu dengan ujung jariku.


Dalam rindu, kuramaikan hati ini dengan kenangan indah saat bersamamu
tentang malam-malam indah penuh bintang yang pernah kita lewati.


Dalam setiap rindu, kutersadar penuh takjub, bahwa saat-saat terindah dalam hidupku,
adalah saat berada dalam hangat cintamu.