Sabtu, 28 Januari 2012

Rumah

Aku tak terlalu ingat lagi di mana letak persisnya  rumah masa kecilku dulu. Yang kuingat ada beberapa pohon rambutan di bagian depan dan belakang rumah. Kalau musim buahnya tiba, maka rumah itu terlihat lebih indah karena warna buah-buah rambutan yang kuning dan kemerahan meramaikan pekarangan rumah kami.


Waktu itu daerah ini masih sangat sepi. Walaupun listrik sudah masuk, masih banyak rumah yang belum memasangnya termasuk rumah kami. Ibu menyalakan lampu petromak setiap malam akan datang. Suara pompa lampu petromak kemudian disambut oleh nyanyian serangga yang terdengar berbahagia memasuki malam.


Tempat ini akan tiba-tiba berubah menjadi sangat ramai kalau ada tetangga mengadakan pesta pernikahan atau sunatan anaknya dengan menghadirkan layar tancap, untuk menghibur para tamu dan warga lainnya. Film yang dibintangi Barry Prima dan Eva Arnazlah yang sering diputar waktu itu, palling sering film berjudul Jaka Sembung. Diputar juga film-film perjuangan dan silat Cina. Layar tancap adalah hiburan masa kecil yang sangat menyenangkan.


Aku rasa di pintu gerbang utama taman itulah kira- kira rumah itu dulu pernah berdiri. Kami harus keluar dari rumah itu, ketika pemerintah meminta kami pergi dari tanah itu, karena ternyata Ayah dan beberapa warga lainnya hanyalah penggarap lahan yang waktu itu kosong dan terbengkalai. Lalu rumah kami diratakan dengan tanah yang sekarang menjadi tempat wisata dan hiburan bagi banyak orang. Ibu menangis menyaksikan rumahnya diruntuhkan. Aku juga.


Salah satu kejadian yang kuingat dan selalu kusesali di rumah itu adalah ketika ibu memarahiku karena terlalu sering membantah setiap perkataan dan perintahnya. "Kalau ibu sudah mati, nanti kamu tidak akan bisa lagi seenaknya seperti ini. Apa lagi kalau tinggal di rumah orang. Ingat itu!" katanya sambil menangis. Beberapa bulan kemudian, settelah rumah kami dirubuhkan, ibu mati dibunuh kanker. Ternyata ibu telah cukup lama menyimpan penyakitnya seorang diri. Kalau saja aku selalu menuruti kata-kata ibu dan selalu bisa menyenangkan hatinya, mungkin aku bisa lebih lama lagi melihat senyum manis ibu.


Sepeninggal ibu, Ayah menitipkan aku ke rumah salah satu saudaranya. Kemesraan sebagai penghuni baru di rumah saudara hanya berlangsung sebentar saja. Setelah itu omelan dan makian menjadi makanan sehari-hari. Ada saja kelakuan dan tindakanku di rumah itu yang sepertinya tidak benar di mata mereka. Setiap kena marah, aku selalu kangen ibu. Pernah suatu kali aku berlari mengadu ke kuburan ibu. Menceritakan semuanya sampai puas di sana.


Kemudian aku diperlakukan seperti seorang pembantu di sana. Tanpa bayaran tentunya. Mungkin benar apa kata orang, setiap anak diterima dan diperlakukan oleh orang lain atau saudara-saudaranya tergantung dari keadaan sosial ekonomi orang tuanya. Siapa menghormati ayahnya, tentu akan menghormati anaknya juga kan? Ayahku? Ia adalah seorang yang sangat asyik dengan dirinya sendiri. Menghabiskan waktunya minum mabuk dan bermain judi di warung remang-remang ujung jalan. Pernah satu kali, karena di rumah tidak ada lagi makanan, ibu mengajakku memanggil ayah ke sana. Ayah kaget dan terlihat sangat malu. Sesampai di rumah, terjadilah keributan besar. Aku hanya bisa menangis memegangi pinggang ibu.


Akhirnya, karena sudah tidak kuat lagi tinggal dari rumah saudaraku itu, kuputuskan untuk minggat dari sana. Kemudian aku terdampar di kehidupan jalanan dan menjadi penjual ganja. Dengan begitu, aku memiliki cukup uang untuk mencukupi segala kebutuhan hidup, termasuk menyewa dua kamar kost. Satu untuk aku tempati, yang berisi televisi, vcd dan kipas angin, apa yang tak pernah aku miliki semasa kecil, serta poster besar Bob Marley dan Iwan Fals di dinding kamar. Walau pun cuma kamar kost, tapi sungguh merupakan rumah yang sangat menyenangkan bagiku. Lalu satu kamar kost yang lain aku gunakan untuk menyimpan barang daganganku. Di akhir pekan, aku menghabiskan waktu menikmati keindahan alam di kaki Gunung salak sambil menikmati ganja.


Rumah selalu menjadi bagian perbincangan dalam kehidupan sehari-hari. "Tinggal di mana?" Begitu biasanya teman baru bertanya. "Sekarang tinggal di mana?" Sudah pasti pertanyaan kawan lama. "Kangen rumah..." kata kawanku pada sekali waktu. "Home sweet home," begitu kata kawan lainnya meniru salah satu lagu Rock. Ya, pada akhirnya, rumah adalah tempat kita selalu kembali pulang, walau pun hanya sekedar mandi dan mengganti pakaian seperti kamar kost.


Sebenarnya aku lebih suka memutar video musik dari pada menonton televisi jika sedang berada di rumah. Tapi mungkin karena mabuk semalam, aku lupa meletakkan remote control di mana. Akhirnya dengan terpaksa aku menonton televisi. Kebetulan juga acara musik yaitu Indonesian Idol, yang saat itu sedang menayangkan sesi audisi yang diikuti oleh banyak orang muda dari berbagai kota.


Anak-anak muda itu berusaha menunjukkan kemampuan terbaik mereka dalam bernyanyi. Banyak yang tak dapat menahan diri menangis karena bahagia dan kecewa begitu menerima keputusan juri dari hasil penampilan mereka. Yang terasa menggetarkan hatiku adalah ada ibu dan keluarga tercinta yang menanti mereka di luar ruangan audisi. Apa pun hasilnya akhir dari penampilan mereka, lolos atau tidak, ada keluarga yang siap menerima mereka dengan hangat pelukan. Ada rumah yang menantikan mereka pulang dengan segala kehangatan. Air mata yang jatuh bersama-sama itu... Ah, aku sungguh ingin memilikinya. "Acara sialan!" kataku dalam hati sambil mengusap airmataku.


Kutenggak bir lebih banyak lagi untuk mengusir rasa haru itu. Tiba-tiba aku terkejut melihat keadaanku yang sekarang. Ternyata aku telah hidup menjadi seorang pemabuk sama seperti Ayah. Ini harus dihentikan, kataku dalam hati, teringat kembali wajah Ibu.


"Pak, selamat ya... Anaknya sehat. Laki-laki..." kata seorang perawat yang tiba-tiba membuyarkan seluruh lamunanku. Aku segera masuk ke ruang bersalin. Kemudian perawat memberikan makhluk kecil itu ke dalam pelukanku.


"Aku akan menjadi Ayah dan rumah yang indah bagimu..." bisikku di telinganya.

Jumat, 20 Januari 2012

Segelas Kopi dan Teh Manis

"Tak sehelai rambut pun akan jatuh tanpa seijin Dia..." kata segelas kopi kepada teh manis.
Tiba-tiba berjatuhan butiran-butiran berwarna putih ke dalam gelas kopi.

"Sejak kapan ada hujan salju di Indonesia?" tanya segelas kopi heran.
"Bukan, Pi... Itu ketombe ibu penjaga warung!" jawab teh manis pelan.

"Oh, itu pun jatuh atas seijin Dia..." lanjut segelas kopi.
Teh manis mendengarkan dengan tekun, lalu berkata, "Ya, kita hanya perlu menjalani bagian kita masing-masing dengan ikhlas, kan?" Lalu tetes terakhirnya lenyap dalam tegukan pencintanya.

Rabu, 11 Januari 2012

Lagu Cinta

Kedua pengamen itu nampak bingung ketika aku meminta mereka berhenti bernyanyi, meminjam gitar mereka, kemudian mengambil tempat tepat di hadapanmu dan menyanyikan satu lagu cinta untukmu.
Look at this face
I know the years are showing
Look at this life
I still don't know where it's going*


Raut wajahmu yang semula sama bingungnya seperti kedua pengamen itu segera berganti menjadi wajah senang dan turut bernyanyi bersamaku.

Kedua biduan jalanan itu, sambil cengar cengir, kemudian bergerak sedikit menjauh memberi ruang, seperti tak ingin mengganggu acara kita.

"Ayo, kembaliin gitarnya, mereka kan lagi cari uang," katamu setelah kita selesai menyanyikan beberapa lagu.
"Satu lagu lagi..." kataku.
Kau tertawa dan kembali ikut menyanyikan lagu cinta bersamaku.
"Lihat, betapa cantiknya dirimu saat bernyanyi." ujarku menggodamu.


"Makasih, Om..." kata Kedua pengamen itu saat gitarnya kukembalikan sambil memberi beberapa lembar uang ribuan dan satu kaleng bir.
"Oh, saya dong yang berterima kasih. Besok lagi yaa..." kataku kepada mereka.
"Hahaha... Oke, Om... "Mereka tertawa meninggalkan kami dan melanjutkan pekerjaan mereka bernyanyi di hadapan pasangan-pasangan yang sedang memadu rindu di taman ini.

"Hahaha... Dipanggil Om, ni yeee..." katamu menggodaku
"Tau, tuh... Padahal tampangnya juga lebih tua mereka daripada aku."
Kau tersenyum.
"Mungkin kerasnya kehidupan jalanan membuat tampang mereka terlihat lebih tua ya?" kataku
"Kau juga keras..." jawabmu.
"Aku?"
"Iya. Punyamu keras kalau ada di dekatku..."
"Hahaha... Gokil, dasar!"
Kita tertawa keras sampai beberapa orang di taman itu menengok ke arah kita. Tak mempedulikan mereka, kupeluk tubuhmu erat.


"Benarkah kau sayang aku?" kau berbisik pelan.
Diam sebentar, kemudian kujawab dengan pertanyaan juga, "Mengapa kau tanya begitu?"
"Apakah kau menyayangiku?" kembali kau ulangi pertanyaan itu.
"Dengan sikap dan perlakuan aku selama ini, menurutmu aku ini bagaimana kepadamu?"
Kau diam. Aku diam.
"Ayo, habiskan birnya. Kita pulang." katamu
Aku menurutimu, lalu kita pulang dengan hati kesal.


Entah kenapa, percakapan-percakapan tentang cinta di antara kita terasa begitu rumit. Tak semudah lagu-lagu cinta yang sering kita nyanyikan bersama. Seringkali malam-malam indah yang awalnya menyenangkan harus berakhir dengan hati yang kesal.


"Apa yang membuatmu menyayangiku?" tanyamu pada malam yang lain.
Terdiam sejenak, lalu kujawab, "karena kau sayang aku..."
"Jadi kalau aku tak lebih dulu sayang sama kamu, kamu tak akan pernah sayang sama aku?"
Aku diam. Bingung. Kau diam.
Kita saling diam beberapa waktu lamanya.
"Ayo, habiskan birnya. Kita pulang." kataku.
"Kau saja yang habiskan." jawabmu.
Aku menurutimu, lalu kita pulang dengan hati kesal.



Sudah cukup lama kita tak lagi pernah bertemu. Mungkin butuh beberapa waktu lagi bagi kita untuk bisa lebih saling mengerti.

Malam ini aku sendiri. kedua biduan kita itu tak pernah lagi terlihat. Mungkin sudah dapat pekerjaan.
Aku di sini ditemani bir. Mabuk. Merindukan kamu.

Bernyanyi sendiri seperti orang tolol, seakan ada kamu di sampingku.
I don't know much
But I know I love you
And that may be all I need to know




*Lagu I Dont Know Much, Aaron Naville & Linda Rondstadt