Jumat, 09 Desember 2011

Desember

Aku selalu tak bisa menahan diri tersenyum-senyum sendiri setiap melewati kantor pegadaian di ujung jalan itu. Terbayang kembali cemberut di wajahmu karena aku enggan menemanimu masuk kedalamnya. Aku memilih menunggu di warung kopi seberang jalan, karena merasa malu jika sekiranya ada orang yang kukenal melihatku masuk ke dalam kantor itu.

Sebelumnya aku selalu merasa mampu untuk mencukupi segala kebutuhan kita dengan kekuatanku sendiri, sampai akhirnya hari itu aku menyerah dan kita sepakat menitipkan semua perhiasanmu beserta cincin pernikahan kita untuk beberapa waktu lamanya di sana, supaya kita bisa menutupi biaya perobatan dan membawa Deasy, putri kita pulang dari rumah sakit.

Lalu sisanya masih bisa untuk membelikan hadiah ulang tahunnya yang ke-2 sekaligus baju natalnya. Oh iya, waktu itu kau belikan juga buku gambar beserta alat tulisnya untuk putri cantik kita.

"Pintar...!" katamu setiap Deasy membuat coretan di bukunya gambarnya. "Bagus... Bagus banget, sayang...!" katamu lagi memujinya. Lalu kulihat gambar yang dibuat Deasy. Semua coretan itu memiliki pola yang sama.

"Ini lebih tepat disebut tandatangan daripada sebuah gambar!" kataku sambil tertawa. Lalu kau menyambut tawaku dengan cubitan di lengan, supaya aku tidak meneruskan ucapanku. Kemudian gambar-gambar yang menyerupai tanda tangan itu kau letakkan di kaki pohon Natal bersama kartu-kartu ucapan Natal yang kita terima. Dan kita bertiga menghabiskan malam Natal tahun itu di depan televisi.

Hari-hari berikutnya Deasy mulai bosan dengan buku gambarnya. Ia mulai bereksperimen dengan menandatangani setiap tempat yang ia mau. Lantai, dinding, seprai, gorden, juga wajah cantikmu tak luput dari tanda tangannya sewaktu kau tertidur. Oh iya, wajahku juga.

Dan baru saja selesai bulan Desember, seluruh dinding rumah kita sudah penuh dengan tanda tangannya. "Luar biasa..." katamu sambil memandang seluruh tembok rumah kita. "Ia menuruni bakat Ayahnya yang penulis, suka sekali membubuhkan tanda tangan."


Tak terasa sudah Desember lagi, sayang. Seperti biasa, ia datang bersama gerimis yang mendesah manis menciumi ranting-ranting dan dedaunan. Mal-mal berdandan cantik dan memutar lagu-lagu Natal lebih awal dari Gereja-gereja. Menyenangkan juga ya, merayakan natal di mal, seperti waktu itu, menyaksikan Deasy tertawa bahagia bermain ice skeating  di Taman Anggrek dengan topi sinterklasnya. Tak terasa ia telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Secantik dirimu.


Sayang, Natal ini mungkin Deasy tak lagi merayakannya bersamaku. Dia harus mengikuti suaminya yang sedang ditugaskan oleh Negara ke wilayah Maluku. Ya, mungkin dia hanya akan menghubungiku lewat telepon untuk mengucapkan selamat Natal. Pasti aku akan selalu merindukan mata indahnya yang diwarisinya darimu.

Tentu saja kau juga bahagia melihat kebahagiaan putrimu, bukan? Oh ya, sayang, tentu enak sekali di surga sana ya? Pohon Natalnya pasti besar sekali ya? Ngomong-ngomong, apakah petugas pegadaian yang dulu melayanimu ada juga bersamamu di sana?


Sayang, kadang kala hujan yang dibawa Desember terasa lebih sendu dari kata-kata rindu yang ditulis para penyair. Tentu saja bukan karena sebentar lagi Natal maka aku merindukanmu, tapi memang setiap hari aku merindukanmu. Dan kenangan tentang dirimulah yang selalu membuatku bahagia.


Desember ini aku sama bahagianya seperti saat-saat ada bersama kamu. Tidak benar jika ada orang yang bilang bahwa aku kesepian dan tidak bahagia. Seperti kata Bonhoeffer, kebahagiaan itu bukan bergantung pada keadaan di sekitar kita, melainkan bergantung pada apa yang sedang terjadi dalam diri kita. Dan aku bahagia mengingatmu dan Deasy sekarang. Lagi pula aku tidak akan kesepian, karena aku akan merayakan Natal bersama televisi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar