Mungkin Fidelis sedang ingin berendah hati ketika ia menamai kumpulan puisinya dengan “Remah-Remah Kehidupan”. Kalau diandaikan “remah-remah” adalah sesuatu yang terbuang, sisa, alias tidak berharga maka tidak demikian dengan kumpulan puisinya ini. Ketika membacanya saya merasakan kenikmatan yang lebih dari sekedar makan remah-remah roti.
Namun demikian, saya mencoba memahami makna remah-remah di sini seperti makan remah-remah sungguhan. Rasanya kita belum lupa enaknya menjumput remah-remah roti atau nasi dan memakannya ketika kita masih kecil. Entah kenapa yang sudah tercecer itu kok terasa begitu nikmat. Dalam konteks itulah saya mencoba memahami puisi-puisi Fidelis ini.
Kumpulan puisi “Remah-Remah Kehidupan” sendiri berisi 57 puisi yang terbagi dalam tiga bagian dan memiliki tema besar sama: cinta.
Puisi-puisi cinta Fidelis khususnya di bagian pertama membuat saya mabuk kepayang. Bagaimana tidak, puisi-puisinya begitu manis dan mengalir romantis. Sulit saya ungkapkan, tetapi begitu membacanya, saya bisa merasakan kehalusan cinta dari puisi-puisi ini. Puisi-puisi ini begitu menyentuh seolah-olah dituliskan khusus untuk saya yang sedang membacanya.
Yang membuat saya betah mengunyah puisi-puisi itu ialah karena mereka jauh dari kesan nge-gombal. Fidelis dengan sangat pas menggunakan kata-kata sehari-hari yang langsung terasa dan tertangkap. Fidelis mengisinya dengan kehalusan rasa dan ketulusan. Saya rasa kejeniusannya terletak pada kemampuan untuk menggunakan kata-kata yang “biasa” menjadi dalam bermakna serta menjaga agar puisi cinta ini tidak jatuh pada barisan rayuan gombal semata. Perhatikan yang satu ini:
Ubud
Di tepi sungai Petanu
Kuselipkan setangkai puisi di rambutmu
Dan alam semesta hening terpukau
Karena indahmu
Remah-remah Fidelis ternyata tidak hanya manis dan romantis, tetapi juga humoris. Perhatikan cuplikan dari puisi “Aku Mencintaimu Sampai Terngantuk-ngantuk”:
…
Orang bilang setelah memiliki anak, cinta pasangan akan
Lebih besar kepada anak
Tapi bagiku Tidak!!!
Walaupun tubuhmu sekarang makin dihiasi lemak
Cintaku padamu bertambah banyak
Mungkin juga remah-remah Fidelis adalah keberserakan bentuk puisinya. Perhatikan bahwa ada puisi yang begitu pendeknya yang hanya berisi dua baris (“Oktober” atau “Kenangan Masa Kecil”), namun ada juga yang panjang, seolah-olah bercerita (“Kepada Batsyeba, Istriku” atau “Mati”, misalnya). Mengenai beberapa puisi yang panjang ini terkadang saya merasa sedang membaca sebuah cerpen atau cermin dan bukannya sebuah puisi.
Remah-remahnya Fidelis juga bermakna keberserakan arti cinta di dalamnya. Cinta tidak melulu milik dua insan yang sedang mabuk kepayang. Remah cinta itu menjangkau sampai kepada cinta dalam keluarga dan cinta dalam kehidupan sosial di masyarakat. Ambil contoh “Les Photos de Papa” yang begitu menyentuh, mengingatkan kita akan cinta seorang ayah. Puisi ini mewakili cinta dalam keluarga –orang tua pada anak dan sebaliknya-. Sementara puisi “Gadis Kecil di Lampu Merah” menyentil rasa cinta kita pada mereka yang terpinggirkan dan hanya jadi mainan politik para penguasa.
Dan walaupun tidak banyak, remah-remahnya Fidelis menyentuh juga hubungan intimnya dengan Tuhannya. Lihat saja di puisi “Terima Kasih, Tuhan” yang diletakkan di bagian paling akhir:
Terima Kasih, Tuhan
Tuhan, Semalam aku diam-diam membuka dompetMu,
Aku senang,
Ada fotoku di situ
Terima kasih, Tuhan…
I love You
Sayangnya jumlah antara puisi-puisi cinta untuk keluarga atau masyarakat atau Tuhan tidak sebanyak puisi cinta untuk kekasih. Tetapi, mungkin di situlah maksudnya “remah-remah”. Apa asyiknya mencomoti remah-remah bila mereka teratur dan tersusun rapi? Semakin berserak mungkin semakin asyik kita memburunya.
Akhirnya, menikmati remah-remah puisi Fidelis sungguh membuat saya “kenyang”. Terkadang saya berhenti dan mengulangi lagi membaca puisi yang sama. Saya ingin merasakan kembali sensasi dari kehalusan puisi tersebut. Bila dilihat dari efeknya terhadap saya sebagai pembaca, remah-remah Fidelis adalah setara dengan makan nasi padang dari RM “Pak Datuk”. (db)
Pekanbaru, 30 Juli 2011
Agnes Bemoe, Penulis.
Waah, terima kasih ito hasian na burju, tulisan marsamburetanku ini dipajang di blog-nya... heuheuheu... jadi teringat sama puisi-puisi manis di RRK.
BalasHapusSukses terus ya, ito hasian na burju... :)
Hahaha... kok tahu marsamburetan sih :D
HapusAku dong yang terima kasih.
Sukses selalu juga untuk Bu Agnes yang baik yaaa....
GBU.