Selasa, 24 Juni 2014

Batu di Saku Ayah

Jurnal Sastratuhan Hudan



fidelis r. situmorang
Ayah yang Mengantungi Batu
13 Februari 2014 pukul 20:26

tak ada uang dalam sakuku, nak
ini cuma batu-batu
kupunguti dari jalan
supaya kantongku tak kosong-kosong amat
ambilah barang satu atau dua
mungkin bisa kau pakai untuk bermain

kau tahu aku sangat menyayangimu, nak
tapi hari ini hanya batu-batu yang kudapatkan
Barangkali bisa kubuat jadi mobil-mobilan atau untukmu bermain dampu
ambilah barang satu atau dua
semoga bisa kau pakai bermain



Batu di saku ayah, terbetik begitu saja saat membaca puisi fidelis r. situmorang, bahasa yang membawakan perasaan romantik atas hidup. apakah puisi mesti berbahasa samar sehingga kita pembaca seakan menebak-nebak apa yang ada di balik dinding hidup? segalanya adalah relatif: puisi samar sama berharganya dengan puisi terang. atau baiklah kita katakan: masa depan itu, seakan puisi yang wajahnya remang-remang.

orang boleh menyentuhnya dengan memainkan bentuk keremangan pula, seperti saat kita menyentuhnya dengan kejelasan, bisa juga berharga, apa yang jelas itu. tapi bahasa yang terang segera mengantarkan kita ke balik isinya: keremangan hidup yang bernama nasib itu. jadi terbukti bahwa bukan soal samar atau terangnya ucapan dalam puisi, tapi bagaimana ia sebagai sebuah bentuk bahasa, sampai kepada kita pembaca puisi.

Telah lama kita tahu bahwa bahasa itu juga adalah bagian dari nasib. kehadirannya penuh misteri: kapan kita menulis itu atau mengapa kita menulis ini. upaya, itu bagian dari misteri bahasa. upaya yang mengandung banyak wajahnya, seperti upaya politik yang sedang kita hidupi saat ini, atau yang sedang menghidupi kita sebagai sebuah komunitas manusia yang disebut bangsa. apakah kita di masa depan, kelak akan mengalami nasib seperti puisi batu di saku ayah fidelis r situmorang? bahwa masing masing kita menjadi ayah atau ibu yang mengantungi batu di sakunya.

Orang boleh menebak-nebak lewat jiwa dan pikirannya, tapi nasib itu belum sampai. puisi fidelis ini bisa menjadi cara kita merenungi hidup bersama di/ke masa depan. bahwa di masa depan orang akan terus juga menggantungkan harapan kepada manusia yang akan menghela tiap hari hidup kita ini.

Kita menyebut mereka sebagai pemimpin dan memang, mereka yang akan memimpin hidup kita, agar terhindar dari gejala bahasa yang menjadi isyarat, sebuah tanda, yang dilepas oleh penyair - : agar hidup kita tak mengantungi batu, atau agar, seperti cerita lama yang pernah kita dengar: ibu tak menanak batu semata sebuah gerak pilu, agar anaknya diam, tak lagi menangis oleh ada kegiatannya, walau hanya gerak dari menanak batu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar