Aku tak terlalu ingat lagi di mana letak persisnya rumah masa
kecilku dulu. Yang kuingat ada beberapa pohon rambutan di bagian depan
dan belakang rumah. Kalau musim buahnya tiba, maka rumah itu terlihat
lebih indah karena warna buah-buah rambutan yang kuning dan kemerahan
meramaikan pekarangan rumah kami.
Waktu itu daerah
ini masih sangat sepi. Walaupun listrik sudah masuk, masih banyak rumah
yang belum memasangnya termasuk rumah kami. Ibu menyalakan lampu
petromak setiap malam akan datang. Suara pompa lampu petromak kemudian
disambut oleh nyanyian serangga yang terdengar berbahagia memasuki
malam.
Tempat ini akan tiba-tiba berubah menjadi
sangat ramai kalau ada tetangga mengadakan pesta pernikahan atau sunatan
anaknya dengan menghadirkan layar tancap, untuk menghibur para tamu dan
warga lainnya. Film yang dibintangi Barry Prima dan Eva Arnazlah yang
sering diputar waktu itu, palling sering film berjudul Jaka Sembung.
Diputar juga film-film perjuangan dan silat Cina. Layar tancap adalah
hiburan masa kecil yang sangat menyenangkan.
Aku
rasa di pintu gerbang utama taman itulah kira- kira rumah itu dulu
pernah berdiri. Kami harus keluar dari rumah itu, ketika pemerintah
meminta kami pergi dari tanah itu, karena ternyata Ayah dan beberapa
warga lainnya hanyalah penggarap lahan yang waktu itu kosong dan
terbengkalai. Lalu rumah kami diratakan dengan tanah yang sekarang
menjadi tempat wisata dan hiburan bagi banyak orang. Ibu menangis
menyaksikan rumahnya diruntuhkan. Aku juga.
Salah
satu kejadian yang kuingat dan selalu kusesali di rumah itu adalah
ketika ibu memarahiku karena terlalu sering membantah setiap perkataan
dan perintahnya. "Kalau ibu sudah mati, nanti kamu tidak akan bisa lagi
seenaknya seperti ini. Apa lagi kalau tinggal di rumah orang. Ingat
itu!" katanya sambil menangis. Beberapa bulan kemudian, settelah rumah
kami dirubuhkan, ibu mati dibunuh kanker. Ternyata ibu telah cukup lama
menyimpan penyakitnya seorang diri. Kalau saja aku selalu menuruti
kata-kata ibu dan selalu bisa menyenangkan hatinya, mungkin aku bisa
lebih lama lagi melihat senyum manis ibu.
Sepeninggal
ibu, Ayah menitipkan aku ke rumah salah satu saudaranya. Kemesraan
sebagai penghuni baru di rumah saudara hanya berlangsung sebentar saja.
Setelah itu omelan dan makian menjadi makanan sehari-hari. Ada saja
kelakuan dan tindakanku di rumah itu yang sepertinya tidak benar di mata
mereka. Setiap kena marah, aku selalu kangen ibu. Pernah suatu kali
aku berlari mengadu ke kuburan ibu. Menceritakan semuanya sampai puas
di sana.
Kemudian aku diperlakukan seperti
seorang pembantu di sana. Tanpa bayaran tentunya. Mungkin benar apa
kata orang, setiap anak diterima dan diperlakukan oleh orang lain atau
saudara-saudaranya tergantung dari keadaan sosial ekonomi orang tuanya.
Siapa menghormati ayahnya, tentu akan menghormati anaknya juga kan?
Ayahku? Ia adalah seorang yang sangat asyik dengan dirinya sendiri.
Menghabiskan waktunya minum mabuk dan bermain judi di warung
remang-remang ujung jalan. Pernah satu kali, karena di rumah tidak ada
lagi makanan, ibu mengajakku memanggil ayah ke sana. Ayah kaget dan
terlihat sangat malu. Sesampai di rumah, terjadilah keributan besar. Aku
hanya bisa menangis memegangi pinggang ibu.
Akhirnya,
karena sudah tidak kuat lagi tinggal dari rumah saudaraku itu,
kuputuskan untuk minggat dari sana. Kemudian aku terdampar di kehidupan
jalanan dan menjadi penjual ganja. Dengan begitu, aku memiliki cukup
uang untuk mencukupi segala kebutuhan hidup, termasuk menyewa dua kamar
kost. Satu untuk aku tempati, yang berisi televisi, vcd dan kipas angin,
apa yang tak pernah aku miliki semasa kecil, serta poster besar Bob
Marley dan Iwan Fals di dinding kamar. Walau pun cuma kamar kost, tapi sungguh
merupakan rumah yang sangat menyenangkan bagiku. Lalu satu kamar kost
yang lain aku gunakan untuk menyimpan barang daganganku. Di akhir pekan,
aku menghabiskan waktu menikmati keindahan alam di kaki Gunung salak
sambil menikmati ganja.
Rumah selalu menjadi
bagian perbincangan dalam kehidupan sehari-hari. "Tinggal di mana?"
Begitu biasanya teman baru bertanya. "Sekarang tinggal di mana?" Sudah
pasti pertanyaan kawan lama. "Kangen rumah..." kata kawanku pada sekali
waktu. "Home sweet home," begitu kata kawan lainnya meniru salah satu
lagu Rock. Ya, pada akhirnya, rumah adalah tempat kita selalu kembali
pulang, walau pun hanya sekedar mandi dan mengganti pakaian seperti
kamar kost.
Sebenarnya aku lebih suka memutar
video musik dari pada menonton televisi jika sedang berada di rumah.
Tapi mungkin karena mabuk semalam, aku lupa meletakkan remote control di
mana. Akhirnya dengan terpaksa aku menonton televisi. Kebetulan juga
acara musik yaitu Indonesian Idol, yang saat itu sedang menayangkan sesi
audisi yang diikuti oleh banyak orang muda dari berbagai kota.
Anak-anak
muda itu berusaha menunjukkan kemampuan terbaik mereka dalam bernyanyi.
Banyak yang tak dapat menahan diri menangis karena bahagia dan kecewa
begitu menerima keputusan juri dari hasil penampilan mereka. Yang terasa
menggetarkan hatiku adalah ada ibu dan keluarga tercinta yang menanti
mereka di luar ruangan audisi. Apa pun hasilnya akhir dari penampilan
mereka, lolos atau tidak, ada keluarga yang siap menerima mereka dengan
hangat pelukan. Ada rumah yang menantikan mereka pulang dengan segala
kehangatan. Air mata yang jatuh bersama-sama itu... Ah, aku sungguh
ingin memilikinya. "Acara sialan!" kataku dalam hati sambil mengusap
airmataku.
Kutenggak bir lebih banyak lagi untuk
mengusir rasa haru itu. Tiba-tiba aku terkejut melihat keadaanku yang
sekarang. Ternyata aku telah hidup menjadi seorang pemabuk sama seperti
Ayah. Ini harus dihentikan, kataku dalam hati, teringat kembali wajah
Ibu.
"Pak, selamat ya... Anaknya sehat.
Laki-laki..." kata seorang perawat yang tiba-tiba membuyarkan seluruh
lamunanku. Aku segera masuk ke ruang bersalin. Kemudian perawat
memberikan makhluk kecil itu ke dalam pelukanku.
"Aku akan menjadi Ayah dan rumah yang indah bagimu..." bisikku di telinganya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar