Jumat, 22 September 2017

Herbeth

Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Sudah lebih dari sebulan adik saya pergi. Saya kangen adik saya, kengen melihat dia dan ingin ngobrol-ngobrol dengannya.

"Beli kembangnya, Pak," kata saya kepada penjual kembang di depan gerbang komplek kediamannya yang baru.

"Sekalian air mawarnya, Mas?" tanya penjual kembang.

"Nggak usah, Pak," kata saya. Saya hanya ingin menaburkan kembang dan bicara-bicara sedikit dengan adik saya. Penjual kembang itu memberikan sekantung kelopak bunga kepada saya.

Ya, saya hanya ingin menaburkan kembang, lalu bicara-bicara sedikit dengan adik saya. Mungkin tak baik menurut agama, tapi saya sedang kangen adik saya.

Saya masuki komplek makam dengan perih kehilangan yang kembali menyergap, yang membuat kedua mata saya tiba-tiba jadi basah di setiap ayunan langkah yang membawa saya menuju tempat peristirahatan terakhirnya.

Bebarapa anak berseragam sekolah tampak sedang duduk-duduk santai, merokok di bawah pohon rindang di dekat satu makam yang berkeramik bersih. Angin berembus pelan. Sehelai daun jatuh di dekat mereka.

Langkah saya terhenti di depan makam adik saya yang masih berupa gundukan tanah. Saya teringat ketika pertama kali berdiri di depan makam itu, saat peti tempat adik saya tertidur abadi akan diturunkan ke dalam ruang peristirahatannya yang terakhir. Ayah saya ikut memegang tali tambang yang menahan bagian bawah peti itu, menurunkannya pelan-pelan sampai ke dasar peristirahatan terakhir adik saya.

Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Ayah saya yang baik itu, yang pada waktu-waktu lalu memegang tali dan kain gendongan, membuat ayunan bayi, supaya anaknya tersayang nyaman dalam lelap tidurnya di setiap malam, sore hari itu kembali memegang tali untuk mengantarkan adik saya, anaknya tersayang, tertidur. Tidur yang selamanya.

"Nggak usah, Pak," kata petugas pemakaman dan saudara-saudara kami meminta tali tambang itu dari tangan ayah, melihat tubuhnya limbung.

"Tidak apa-apa," kata ayah saya membetulkan posisi berdirinya. "Saya ingin mengantarkan anak saya," kata ayah saya lagi. Ia menangis, lalu mengulur tali tambang di tangannya perlahan sambil memandangi peti di mana adik saya berada itu sampai ke dasar makam.


Saya kangen adik saya dan sedang ingin berdua saja. Jadi saya datang seorang diri menjenguknya. Saya duduk di sebelah kiri makamnya. Membaca namanya, tanggal lahir dan tanggal kepergiannya di nisan salib itu. Adikku sayang, kata saya dalam hati, lalu menaburkan kelopak-kelopak bunga ke atas gundukan tanah yang kini menyelimuti tidur tenangnya.

"Kemarin sakit banget ya, No," kata saya sambil menaburkan kembang. Kelopak-kelopak bunga jatuh, begitu juga air dari kedua mata saya.

"Nggak ada yang sakit, cuma lemes doang," jawab adik saya itu, ketika ayah menanyakan bagian mana tubuhnya yang sakit. Makannya juga lahap waktu itu. Ia masih sempat memisahkan dan merapikan makanan-makanan kecil yang disukainya. Lalu ketika ayah saya ingin membantunya ke kamar mandi, ia menolak. "Bisa kok," katanya lalu melangkah ke kamar mandi.

Saya taburkan lagi kelopak-kelopak bunga di atas makamnya.

"Gua baru bikin buku lagi," kata saya, kembali menaburkan kembang. Ucapan dari mulut saya terhenti lagi, digantikan air yang keluar dari mata saya, mendahului kata-kata saya untuknya. "Sayang, lo nggak sempet liat ya..."

Saya sering melihatnya menulis dan menggambar di sebuah buku kosong. Puisi dan gambar-gambar orang. Tulisannya bagus. Kadang ia menulis dalam bahasa inggris. Saya ingin sekali dia menerbitkan tulisan-tulisannya yang selalu tercecer itu.

Di salah satu hari ulang tahunnya, saya pernah menghadiahkan satu buku untuknya. Buku kecil berwarna merah berjudul Mafia Manager. Buku bisnis dan kepemimpinan yang tidak dipenuhi dengan istilah-istilah yang rumit. Enak dibaca. Setiap laki-laki pasti suka membacanya, karena buku itu ditulis berdasarkan pengalaman seorang tokoh mafia. Dan suatu tulisan tentang kejantanan dan trik-trik menyelesaikan masalah ala mafia selalu menarik minat setiap lelaki. Adikku pasti suka, pikir saya ketika membeli buku itu untuknya. Saya tulis satu ucapan selamat ulang tahun untuknya di halaman depan buku itu. Beberapa hari ini saya cari buku itu, tapi belum juga ketemu.

Saya lihat lagi namanya di nisan salib itu. Saya usap pelan namanya, seakan sedang mengusap kepalanya, mengusap pundaknya. Tak ada satu kata pun yang bisa terucap. Saya biarkan air mata saya saja yang bicara. Saya merasa seperti orang cengeng, tapi biar saja, saya sedang kangen adik saya.
"Kangen gua lo ya, No?" tanya saya terisak.

Dulu, saya sering jengkel dan memarahinya karena ia sering tanpa memberi tahu terlebih dahulu, memakai pakaian dan barang-barang kesukaan saya yang memang satu ukuran dengannya. Ketika saya ingin mengenakan pakaian atau sendal atau sepatu yang cocok dan sudah saya siapkan untuk dipakai keluar, ternyata sudah tidak ada di tempatnya, melainkan berada di tempat pakaian kotor. Dia tertawa ketika saya marah. Tentu saja saya tambah jengkel. Dan dia pergi meninggalkan saya.
Tetapi, dia tahu bahwa saya tak bisa terlalu lama marah kepadanya. Lalu ia menawari saya nasi goreng.

Dia memang pintar memasak nasi goreng. Dia adalah andalan kami di rumah ketika ingin menikmati nasi goreng sambil nonton televisi. Lucu sekali rasanya waktu pertama kali memakan nasi goreng buatannya.
"Asinnn..." kata saya. Dia tertawa.

Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Tak akan pernah kembali. Saya sering tak terlalu memperhatikan waktu, sebagaimana juga tak memperhatikan daun-daun jatuh, yang berpisah dari rantingnya. Perpisahan datang seperti pencuri. Datang tanpa disangka-sangka. Saya baca lagi namanya pada salib putih di atas makamnya. Hati saya remuk. Mimpi-mimpi saya tentang dan bersamanya musnah sudah. Mimpi saya membaca buku karangannya dan bangga melihatnya berdiri membaca puisi atau mengantarkan sebuah kotbah di atas mimbar harus berhenti sampai di sini.

"Cepet banget lo pergi..." kata saya perih.

Mentari jatuh perlahan di barat. Saya taburkan lagi kelopak-kelopak bunga terakhir yang berada di tangan saya ke tubuh makamnya. Terbayang kembali saat-saat bersama dirinya.

Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Waktu yang tak akan pernah kembali, waktu yang merekam begitu banyak kenangan.

"Gua pulang ya, No..." kata saya pamit, mengusap salib putih yang bertuliskan namanya.

Waktu berjatuhan seperti daun-daun. Tawamu kekal dalam ingatan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar