Rabu, 20 Desember 2017

Doa

"The first duty of love is to listen." - Paul Tillich.

                               *****

Seorang perempuan cantik berjalan mendekat ke arah di mana saya duduk. Matanya sipit seperti mata saya. Senyumnya manis seperti senyum saya. Lalu dia duduk di sebelah saya. Harum parfumnya yang manis mengepung saya. Pintu Bus kota kembali ditutup dan  melanjutkan perjalanan. Suasana tiba-tiba terasa hening. Suatu kehening yang harum.

Perempuan cantik ini sepertinya pendiam, sama seperti saya yang juga pendiam. Dalam hening yang harum, saya berdoa kepada Tuhan supaya saya dijadikannya orang yang pandai bicara.

                                 *****

Setelah sekian waktu hening, saya memberanikan diri menoleh ke arah wajahnya. Saya ingin mengajaknya bicara, mencoba berkenalan, ingin tahu namanya. Dia menoleh ke arah saya dan memberikan satu senyuman manis. Saya balas senyumnya, tetapi tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut saya.

Dia menundukkan kepala, membuka tas yang ada di pangkuannya, lalu mengeluarkan kotak berwarna hitam yang berisi banyak gantungan kunci dan gelang-gelang tangan yang terbuat dari benang.

Kembali ia memberikan senyumnya yang manis itu sembari menyodorkan kotak hitam itu kepada saya. Saya bingung dan menatap wajahnya. Dia kembali tersenyum lalu menganggukkan kepala, menunjuk ke arah kotak itu dengan wajahnya.

Di bagian depan kotak terdapat kertas laminating yang bertuliskan: "Saya bisu dan tuli. Ini buah karya saya. Belilah beberapa dan bayarlah seikhlasnya. Terima kasih."

Saya kembali menatap wajahnya. Dan lagi-lagi dia memberikan senyumnya kepada saya. Saya mengangguk. Lalu saya ambil dua buah gantungan kunci dan memberikan selembar uang kepadanya.

"Dua," kata saya kepadanya tanpa mengeluarkan suara, memberikan simbol victory dengan jari-jari saya ke arahnya. Dia mengangguk.

Saat saya memasukkan gantungan kunci itu ke saku saya, ia menyentuh lembut bahu saya dan memberikan dua buah gelang cantik kepada saya. Dia tersenyum menganggukkan kepala, supaya saya mau menerima kedua gelang itu.

Saya terima gelang itu sembari menganggukkan kepala dan mengucapkan terima kasih. Ucapan yang juga tanpa suara. Dia tersenyum senang.

Lalu dia bangkit berdiri. Mengucapkan sesuatu yang tak bisa saya dengar sambil telapak tangannya bergerak dari sisi pipi kanannya mengayun ke arah depan wajahnya, ke arah saya, seperti sedang mengucapkan terima kasih, saya kira. Saya menganggukkan kepala.

Dia kemudian membalikkan tubuhnya, berjalan menuju pintu keluar, berbaris dengan beberapa penumpang yang juga ingin turun, meninggalkan saya dengan harumnya yang manis itu. Saya pandangi ujung rambutnya yang jatuh indah di punggungnya, sampai kemudian hilang di keramaian.

Pintu bis kembali ditutup dan melanjukan perjalanan. Hening kembali datang menyerbu. Tuhanku, kata saya kepadaNya, jadikankah juga aku ini seorang yang pandai mendengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar