Kamis, 21 Desember 2017

Untuk Bastian

Bastian sayang, sudah lama sekali aku ingin menulis satu puisi untukmu, tapi selalu saja aku gagal menuliskannya.

Lebih dari setahun sejak kehadiranmu ke dunia ini, belum juga terangkai kata-kata terbaik untuk dirimu. Ternyata menulis puisi itu bukanlah hal gampang seperti yang sering dikatakan tukik-tukik itu. Hahaha…

Kutulis catatan ini, Bastian, setelah baru saja kau tertidur di pundakku. Ketika badanmu hangat karena gigimu akan bertambah lagi.

Kepalamu yang mungil kaubenamkan di pundakku, seakan ingin meletakkan semua rasa sakitmu di situ. Air mata dan liurmu menyatu, membentuk sungai kecil yang mengalir di punggungku, mengadu kepada daging dari mana kau berasal. Kunyanyikan lagu Madekdek ma Gambiri da Bastian untukmu.

Bastian, minggu terakhir di bulan Juni itu, tangisan pertamamu begitu kuat menembus dinding dan kaca-kaca ruang persalinan. Jam sembilan malam waktu itu. Aku tertawa mendengar tangisanmu yang keras itu. Kau pasti keras kepala, pikirku. Hahaha… apakah tangisan pertama seorang bayi bisa memberi kesan tentang sifatnya kelak? Aku tak tahu. Tapi, Bastian, pikiran orang dewasa memang suka sekali menilai sesuatu dari kesan pertama.

Tubuhmu yang begitu mungil kemudian dibawa oleh perawat ke dekap susu ibumu. Wajah Ibuku, opung borumu, terlihat bahagia menyambut kehadiranmu.

Aku mempersiapkan nama Rain untuk dirimu. Tapi di hari engkau lahir di bulan Juni itu tak ada hujan. Hanya ada daun-daun jatuh dipetik angin. Nama itu tak jadi untukmu.

Lalu setelah kau dan ibumu dipindahkan ke kamar perawatan, kuletakkan ponselku di dekatmu. Mp3 di ponsel menyanyikan musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni, walau pun tak ada hujan di bulan Juni itu. Harapanku kau tabah, arif dan bijak seperti puisi itu. Bukankah begitu hidup harus dihadapi supaya kita mengerti arti kata suka dan duka?

Dan Bastian, ibukulah, opung borumulah, yang kemudian memberimu nama yang sekarang melekat di dirimu. Keren ya, nama yang sama dengan seorang seorang dokter dan etnolog Jerman, Adolf Bastian, yang mempopulerkan nama Indonesia ke seluruh dunia lewat laporan perjalanan dan penelitiannya. Ibuku senang, karena namamu senada dengan namanya. Basaria-Bastian.

Bastian, anakku sayang, hari ini, 22 Desember, adalah hari lahir opung borumu. Bertepatan dengan Hari Ibu yang dirayakan di negeri kita ini. Terasa sekali bahwa hari ibu itu menjadi miliknya, dan menjadi milik kami anak-anaknya.

Kau tahu, Bastian, di setiap Hari Ibu, banyak sekali ucapan dan tulisan tentang kebaikan-kebaikan seorang ibu disampaikan. Kebaikan yang salah satunya kusaksikan pada ibuku, pada opung borumu; bagaimana tangannya yang begitu cekatan memandikanmu, membersihkan dirimu dan memakaikanmu popok setelah kita pulang dari rumah bersalin.

Apa yang ia perbuat kepada diriku dulu seperti terulang kembali; bernyanyi memberikan kenyamanan, memberi kehangatan dalam dekapan dan membersihkan tokai bapakmu ini, itu juga yang dilakukannya untukmu. Bagaimana seorang anak bisa membalas kebaikan seorang ibu kalau begitu?

Bastian, dalam sebuah percakapan, seorang teman berkata kepadaku, bahwa ia sangat menyukai puisi-puisiku tentang ibu. Tetapi kemudian dia berkata bahwa dia tak tahu rasanya punya ibu.

Aku terkejut mendengar perkataannya. Agak lama aku seperti orang bisu, tak tahu bagaimana harus menanggapi ucapannya. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menghentikan percakapan kami. Mungkin itu kesedihan, tetapi kesedihan yang saat itu belum begitu kumengerti.

Bastian sayang, biasanya setiap tanggal 22 Desember, aku selalu mencium kepala dan kedua pipi opung borumu dan mengucapkan selamat ulang tahun untuknya. Tak ada perayaan besar, hanya ngobrol-ngobrol kecil antara ibu dan anak lelakinya, sambil minum Coca cola atau Sprite. Tak ada lilin dan tak ada bunga untuknya.

Bastian, seperti kebanyakan anak kepada orangtuanya, aku punya mimpi memberangkatkan ibuku ke tanah terjanji, melihat tempat di mana Kristus lahir. Ke Betlehem, lalu Yerusalem, Sungai Yordan, dan tempat-tempat penuh makna lainnya yang tertulis di dalam alkitab.

Tapi ternyata tahun ini mimpi itu harus pupus. Opung borumu sudah tak ada lagi bersama dengan kita. Di saat terakhirnya di rumah sakit, aku meminta kepada Tuhan untuk memberikan kesembuhan kepada opung borumu. Tetapi Tuhan memberikan yang lain. Dia menunjukkan kuasaNya. Bukan kehendak kita yang jadi, tetapi kehendakNyalah yang jadi. Opung borumu harus pergi sebelum semua itu terwujud. Kadang aku merasa bahwa sebagai seorang anak, aku terlalu lambat mewujudkannya.

Dan begitulah, Bastian, opung borumu, perempuan yang selalu kucium kepalanya itu tak sempat menjejakkan kakinya di tempat di mana Kristus dilahirkan, tapi ia berjumpa langsung denganNya. Bertemu muka dengan muka.

Opung borumu pergi menyisakan kesedihan untukku. Aku bersedih bukan karena tak tahu kemana opung borumu pergi. Tetapi karena aku tak bisa lagi ngobrol ini itu dengannya. Pertanyaan-pertanyaan kecil bersamanya seperti “lagi ngapain?”, “banyak yang beli buku?”, atau “udah makan belom?”, sekarang terasa begitu berarti. sebuah lagu penghiburan kemudian menguatkanku, bahwa suka dan duka dipakaiNya untuk kebaikanku.

Bastian, hari ini aku baru tersadar, bahwa aku tak pernah memberikan bunga kepadanya. Juga di setiap hari ulang tahunnya. Tetapi sekarang aku selalu membawakan bunga untuknya, setiap aku berkunjung ke kediamannya yang baru, setiap kali aku kangen ngobrol-ngobrol dengannya. Olehnya kini aku tahu, Bastian, bahwa apa yang gagal diucapkan lewat kata bisa disampaikan lewat bunga.

Dan Bastian, sekarang aku juga mulai mengerti apa yang dikatakan temanku itu tentang tak memiliki ibu. Sekarang aku tahu bagaimana rasanya tak punya ibu. Sepi sekali rasanya… Benar-benar sepi.

Cepatlah besar anakku sayang. Jadilah lelaki yang lembut. Jangan keras kepala sebagaimana aku sering dikatakan orang-orang terbaik di dekatku. Nikmatilah waktu-waktu yang indah dan berharga bersama ibumu. Semoga cepat hilang rasa sakit yang menyertai bartambahnya gigimu.

Selamat tidur, Bastian, semoga di hari yang lain aku bisa menuliskan satu puisi yang bagus untukmu. I love you.



December 22, 2015 at 9:59pm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar