Senin, 04 Desember 2017

Terima Kasih

Namanya siapa? tanya seorang guru menghampiri saya. Fidelis, Bu, kata saya membungkuk meraih tangannya. Wajahnya yang tua memandangi wajah saya. Ya, ampun, Fidelis, kamu berubah banget. Saya membalasnya dengan senyuman. Mungkin yang diingatnya adalah Fidelis yang mungil dan manis di SMP dulu. Main ke rumah ya, katanya. Iya, Bu, kata saya.

Percakapan kami terhenti oleh instruksi dari panitia yang meminta setiap yang hadir melambaikan tangan pada drone yang akan mengabadikan kami. Kami melambai ke atas, berteriak seperti anak kecil. Puisi GM seketika hadir di benak saya. Sesuatu yang kelak retak dan kita membikinnya abadi.

Selesai drone mengabadikan kami, kembali ia menawari untuk main ke rumahnya. Saya mengangguk. Masih di Ceger kan, Bu? tanya Oma, seorang teman di samping saya. Masih, jawabnya. Siap, Bu, kata teman saya, nanti kita main ke sana. Bu guru kami tersenyum, lalu kembali ke tempat yang disediakan panitia untuk para guru.

Gua lupa, Ma, kata saya kepada Oma. Namanya bu siapa ya? tanya saya. Bu Rosmawinil, jawabnya. Oh iya, kata saya. Namanya terasa dekat, sesuatu yang akrab di telinga saya, tapi saya lupa.

Ngajar apa dulu? tanya saya. Dia berpikir sejenak. Ngajar bahasa inggris kayaknya, jawabnya. Bahasa inggris bukannya Bu Mira? tanya saya lagi. Oma berusaha mengingat-ingat lagi. Matematika, kali ya? katanya. Saya nyengir. Saya berusaha keras untuk mengingatnya. Dan saya masih tetap tidak ingat.

27 tahun memang bukanlah waktu yang singkat. Ingatan telah tertimbun oleh banyak hal dan peristiwa. Saya pandangi wajah teman-teman saya. Wajah dan tubuh mereka berubah. Beberapa teman perempuan kini mengenakan jilbab. Tubuhnya mekar. Teman-teman lelaki juga demikian. Banyak yang perutnya berubah seperti galon Aqua. beberapa masih dapat saya kenali, sebagian lagi lupa-lupa ingat. Sebagian lagi benar-benar lupa. Kita memang tak selalu bisa mengandalkan ingatan ya?

Du, elo masih inget guru-guru kita itu? tanya saya kepada Edward teman saya. Sebagian, jawabnya. Guru-guru kita masih ada gak yang inget sama elo? tanya saya lagi. Kagak! jawabnya. Tawa kami lantas berderai-derai.

Kemudian kami masuk pada acara pemberian bunga dan kenang-kenangan kepada para guru. Guru-guru kami berdiri di bagian ruangan yang dijadikan panggung. Kami, para murid berbaris, maju satu per satu menyalami para guru.

Neneng, seorang teman kami, membacakan puisi dan menyanyikan lagu ungkapan terima kasih kepada para guru. Saya membungkuk meraih tangan guru-guru saya, mengucapkan kata-kata terima kasih. Tiba di hadapan Bu Rosmawinil, saya tak dapat menahan diri untuk tidak memeluknya. Saya mendekapnya erat seperti memeluk ibu saya sendiri. Saya menangis sugugukan di pundaknya. Air mata saya jatuh di jilbabnya. Saya biarkan perasaan saya mengalir. Untuk hal-hal yang sempat terlupakan, untuk hal-hal yang belum mampu lagi saya ingat, dan untuk apa yang telah didedikasikannya bagi kami.

Terima kasih, Bu, telah hadir dan memberi di hidup kami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar